Sunday, 24 August 2014

Kleine-Levine



Monoton. Mungkin tidak untuk hari ini, hari di mana guru kelas menulis telah menjanjikan untuk mendatangkan alumni wanita untuk menyampaikan sedikit presentasi untuk adik kelasnya. Levine Roosevelt memainkan jemarinya dengan ketukan berirama dari kelingking hingga ibu jari pada mejanya sembari menunggu janji gurunya. Tubuhnya tersentak setelah mendengar bel masuk berbunyi. Bersamaan akhir bunyi bel, suara ketukan hak sepatu gurunya terdengar. Ah, ini dia.

Wanita paruh baya hadir seperti biasa, membawa kamus tebal dan peralatan menulis lainnya. Wajah Nyonya Rosemary terlihat kusam hari ini, mungkin itu sebuah alasan. Yang membuat curiga, ia tak langsung duduk pada kursinya, melainkan langsung berdiri dan terlihat akan mengucapkan sesuatu. Itu aneh, tak biasa. Levine berharap itu bagian dari janjinya.

“Selamat pagi, selamat menagih janji,” ucap Nyonya Rosemary tiba-tiba, wajar saja peserta kelas menulis bergumam tak jelas. Mereka sibuk dengan ucapan gurunya yang aneh, masing-masing mulut mereka bergumam dengan inti yang sama, ‘janji apa?’

Berbeda dengan Levine yang hanya tersenyum tenang setelah mendengar ucapan gurunya, ia paham dan masih menikmati kerutan pada kening teman-temannya. Saat tersadar Nyonya Rosemary sedang memperhatikan senyumnya, Levine terkesiap. “Janji mendatangkan alumni untuk presentasi, bukan?” tanyanya kemudian. Seketika gumaman teman-temannya terhenti, kini berbalik lagi dengan gumaman lain, ‘oh itu…’

Nyonya Rosemary tersenyum. “Ternyata penyakit pikun sudah tak berbanding lurus dengan umur, ya?” tanyanya kemudian, menyindir. Sebelum ada satu pun yang menjawab, Nyonya Rosemary mengalihkan sindiran itu dengan berjalan keluar dan terlihat menjemput seseorang. “Mari masuk, Nak!”

Terlihat wanita dengan gaya pakaian ‘vintage elegan’ mengekor Nyonya Rosemary. Levine tertegun melihat kulit putih segar, bibir dengan polesan merah muda dan mata yang tak begitu lebar serta bulu matanya yang lentik. Terlihat sederhana dengan pesona yang mengagumkan.

“Mari perkenalkan, ini dia alumni yang saya janjikan. Namamu siapa?”

“Ehm… panggil saja Kleine. Salam kenal,” ucap wanita itu sambil membungkukan badan hingga kembali semula. “Di sini saya hanya akan mempresentasikan tentang tata cara penulisan karakter.”

“Okay, kalau begitu saya pamit ada urusan, saya serahkan semuanya pada Kleine,” sela Nyonya Rosemary sembari menepuk pundak Kleine dan berjalan meninggalkan kelas.

Ah, benar wajahnya yang kusam itu beralasan, berhubungan dengan janjinya, mungkin dia kelelahan hari ini. Ya sudah, yang terpenting janjinya telah ditepati. Tak hanya itu, alumni yang dihadirkannya pun menjadi bonus cuci mata.

Cuci mata?

Apa yang ia pikirkan? Bukan untuk itu! Kleine tak pantas dikatakan seperti itu. Lah, kenapa? Biasanya juga setiap ada wanita cantik, Levine langsung memiliki pemikiran itu. Aneh. Tapi memang ini kenyataan, rasanya Kleine memang tak seperti wanita-wanita lainnya. Entahlah, Levine bisa sangat yakin itu.

Pemikirannya terbuyarkan setelah wajah elok di depan kelas menyadarkannya dengan memenuhi bayangan dirinya pada bola mata Levine. Presentasi dimulai. Semua teman-teman sibuk dengan materi yang diberikan oleh Kleine, sedangkan Levine malah sibuk memandangi mata serta bibir yang bergerak hingga mengabaikan hasil gerakan bibir itu. Kleine, kau seperti bunga melati yang baru mekar, pikirnya antah berantah.

“Ada yang ingin ditanyakan?”

Gary Wijaya―sahabat Levine sejak kecil yang memiliki darah Indonesia - Spanyol―mengacungkan telunjuknya. “Kau alumni, sudah berapa buku yang kau tulis?” tanyanya kemudian, seperti biasa, pertanyaan tak bermutu. Ia memang kadang menjengkelkan.

“Tiga buku…,”

“Cuma tiga? Alumni cuma punya tiga buku? Harusnya kau tak mengajar di sini. Lihat, temanku Levine sudah menulis lima buku, kau tak pantas mengajar!” sahut pedas Gary sembari menunjuk Levine, terdengar gila ucapannya itu. Ada apa dengannya?

Levine tersentak untuk kedua kalinya hari ini, ia merasa tak enak hati dengan Kleine. Keningnya berkerut setelah melihat telunjuk Gary yang mengarahnya. “Apa-apaan kau? Aneh sekali hari ini…”

“Dia tak pantas mengajar penulis seperti kita, Lev!”

“Siapa yang mengajar? Bukannya dia hanya memberikan presentasi?”

“Tidak, aku dengar dari Nyonya Rosemary bahwa Kleine akan mengajar kita satu minggu ini, kita dirugikan!”

Apa? Kleine mengajarnya selama seminggu? Gary sialan, dia bisa membuat Kleine memandang buruk kelas ini. Ini harus dihentikan, ia harus melakukan sesuatu. Ah iya…

“Okay, okay… Kita taruhan! Kita tantang Kleine untuk menulis dua novel dalam enam bulan, berani?” tantang Levine pada Gary, ia masih merasa tak enak hati dengan Kleine dan juga tak yakin dengan jangan keluarnya ini.

Gary tertawa dengan angkuh. “Aku yakin, tak akan selesai, kalau pun selesai juga tak bermutu hasilnya,” cibirnya kemudian. “How, Kleine?”

Sontak Levine mengalihkan pandangannya pada Gary menuju Kleine, ia mendapati wanita itu terlihat ragu-ragu dan masih malu. Seperti ingin mengucapkan sesuatu kemudian mengurungkan niatnya kembali. Dengan cekatan, Levine berjalan menuju Kleine. Terlihat dari belakang, Levine mengucapkan sesuatu lirih pada wanita itu yang tak terdengar oleh teman-temannya. “Bilang saja kau setuju.”

“Tapi…,” sahut Kleine lirih ragu-ragu.

“Aku kenal Gary dari kecil, dia memang menjengkelkan, butuh waktu lama untuk memahami karakternya. Sudah, lakukanlah… Yakin saja kau bisa, aku akan membantumu…,” sela Levine, ia berusaha menenangkan Kleine dan memberikan kepercayaan padanya.

Dari belakang, tiba-tiba Gary menepukkan tangannya tiga kali, mereka berdua tersentak. “Sudah diskusinya? Jadi, berani atau tidak?” tanyanya sembari tersenyum angkuh.

Saat Levine hendak menatap wanita itu kembali, nada sedikit tinggi wanita itu berhasil membuatnya tercengang. “Berani!” Akhirnya Kleine percaya padanya, cukup lega. Pertemuan dengan wanita ini sederhana, namun memiliki kisah berharga untuknya. Berharga? Ah, terlalu berlebihan.

***

Selama satu minggu Kleine mengajarnya, Levine merasakan kenyamanan untuk terus belajar menulis. Ini hari terakhirnya Kleine untuk masuk pada kelas itu dan Levine baru menyadarinya. Senyuman yang terus mengembang selama pelajaran yang diterangkan oleh Kleine, kini berubah menjadi kecut atas kesadarannya. Ia merasa Kleine terlalu cepat untuk mengajarnya di sini. Ia harus melakukan sesuatu, memutar otaknya kembali hingga bel tanda berakhirnya pelajaran pun berbunyi. Terlihat dan terdengar dari depan, Kleine berpamitan dan memohon maaf atas apa saja darinya untuk kelas selama ini. Anehnya, Gary tak menyinggung janjinya. Mungkin dia sedang malas berbicara, Levine tetap harus membantu Kleine menepati janjinya.

Levine berlari kecil menghampiri wanita itu yang sedang berjalan meninggalkan kelasnya. Ia menghentikan langkah Kleine dengan menepuk pundaknya. “Hei,” sapanya. “Terima kasih untuk wawasannya selama ini,” ucapnya canggung, memaksakan senyum.

“Tak perlu, itu sudah tugasku,” ucap Kleine sembari tersenyum ramah. Ah, gila senyum ini hadir di depan mata Levine. Melayang. Errrr… Gila kau, sadar! Memalukan.

Setelah berhasil mengontrol pikirannya, Levine kembali angkat bicara. “Masih berani, kan?” tanyanya, berniat mengingatkan tantangan itu.

“Mm? Oh…,” Terdengar secuil ucapan Kleine, sepertinya ia sendiri hampir lupa dan seketika mengingatnya kembali dan meneruskannya dengan anggukan kepala, menandakan bahwa Kleine masih mengingatnya.

Tanpa sadar Levine mengelus dada, lega. “Baguslah. Kau ada waktu malam ini?” tanyanya kemudian, Kleine hanya memandanginya ragu. “Ehm, maksudku… Aku ingin mengajakmu makan malam di restoran pamanku sekaligus membahas novel itu. Kau mau?” jelasnya kemudian, tentu saja Levine mengharapkan jawaban ‘iya’ dari Kleine.

“Di mana?”

“Oh, kemari…,” Levine menarik pelan lengan wanita itu hingga berjalan ke luar dari tempat kursus menulisnya. Langkahnya terhenti, tangannya yang masih menggengam lengan Kleine mulai melepaskannya dan menunjukkan suatu gerakan. “Di sana,” ucapnya sembari menunjuk restoran di sebrang tempatnya berdiri. Ia masih menunggu jawaban dari Kleine.

Tak ada jawaban iya, namun tetap membuat Levine seperti mendapatkan jawaban itu. Ternyata ia mendapati Kleine menganggukan kepalanya, terlihat penuh ambisi, namun entahlah jika hanya perasaan Levine saja.  Seketika Levine membayangkan apa yang akan terjadi nanti malam sembari mengantar Kleine mencarikan taksi.

“Serius tak mau kuantar pulang?”

“Terima kasih, itu sudah ada taksi,” tolak halus Kleine, masih dengan senyum ramahnya.
Peristiwa sopir membuka pintu taksi dan Kleine masuk sebagai penumpang hingga membuka sedikit jendela pada taksi itu sembari mengucapkan selamat tinggal dan sampai berjumpa nanti malam menjadi pertemuan terakhir pada siang itu. Sungguh tak menyangka, Levine bisa sedekat itu dengan wanita sederhana seperti Kleine. Sederhana di mata, sempurna di hati lebih tepatnya.

*

“Di mana Kleine? Apa ia melupakan janjinya?” gerutu Levine sembari mengaduk-aduk kopinya. Tak lama, ia meraih sesuatu dalam saku. “Astaga, aku lupa minta nomornya, bodoh!” sadar Levine, mengutuk dirinya sendiri.

Saat hendak mengaduk-aduk kopinya kembali, wanita yang membuatnya uring-uringan hadir di depannya. Astaga, sejak kapan Kleine berada di depannya? Kenapa seperti hantu begini? Gila, kalau dia tahu Levine sedang uring-uringan menunggu kedatangannya.

“Ehm… Hei, sudah datang sejak kapan?” ucapnya memperbaiki keadaan.

Sebentar, Kleine terlihat berbeda malam itu. Biasanya, ia selalu berpenampilan vintage, kali ini ia tampil beda dengan kacamata-nya. Ia terlihat seperti kutu buku, sejak kapan Kleine memakai kacamata? Baru kali ini terlihat seperti itu. Ah, penampilan saja pakai dipikirkan, memang dasar ribetnya dirimu, Levine.
“Hai…,” sapa Kleine, canggung. Aneh. “Oh, baru saja. Boleh aku duduk?”

Levine terlihat bodoh setelah sadar ia belum mempersilakan wanita itu untuk duduk, salah tingkah hasilnya. “Eh… eh… iya, duh lupa… Silakan duduk, Kleine…,” ucapnya sembari melayani Kleine untuk menghadapkan kursinya hingga mempersilakan duduk.

“Mau minum apa?”

“Avocado Float.”

Tangan Levine melambai, memanggil pelayan, kemudian memesankan minuman itu untuk Levine. Ia masih terlihat seperti budak malam ini. Tak apalah.

“Jadi bagaimana?”

“Apanya?”

“Lah, novel itu…”

“Mm, ohh…”

Mereka telah menemukan topik untu perbincangan sekarang. Sebagai penulis, mereka tak akan pernah bosan apabila membahas tentang tulis menulis. Hingga mulutnya kering pun tak terasa mungkin. Wajar saja, jika membahas suatu cerita, penulis seperti memasuki semesta yang ia ciptakan sendiri. Bagaimana tidak betah? Nyatanya, sudah berjam-jam mereka mengoceh hingga lupa waktu. Akhirnya, tepat dua jam berlalu, Levine menemukan kesimpulan. Hingga mereka mendapatkan apa yang dicarinya. Sebuah alur novel lengkap dengan ending sudah menancap pada otak mereka sekarang.

Di sisi lain, Levine mendapatkan suatu perbedaan selama dua jam itu. Ia merasa seperti tak berbicara dengan penulis melainkan pendengar. Malam ini, Kleine cukup pendiam. Wanita itu hanya mengomentari sedikit alur yang Levine jelaskan. Tak seharusnya alumni kelas menulis seperti itu. Mungkin Kleine sedang tak enak badan, terlihat semenjak pertama datang hingga sekarang ia terlihat tak nyaman duduk bersama Levine.

“Kau kosong lagi kapan?”

Kleine terkesiap mendengar pertanyaan itu. “Ehm… tak tau,” ucapnya. “Levine…,” panggilnya secara tiba-tiba. “Aku akan pergi ke Jerman besok pagi,” ucapnya kembali.

Tercengang. Itulah yang dirasakan Levine sekarang. Jantungnya seperti berhenti berdetak. “Kau bercanda, kan?”

“Tidak, aku pergi ke sana enam bulan karena ada project mendadak dengan teman-temanku, aku tak bisa menolaknya, semoga kau paham itu…,”

Mulutnya masih kaku, hingga akhirnya Levine membiarkan Kleine pergi, walaupun wanita sempat mengucapkan janjinya untuk menyelesaikan novel itu dan menemuinya di tempat ini. Selesai sudah pertemuan bahagia yang dengan akhir sesal.

*

Enam bulan berlalu, pertemuan itu menyimpan rasa haru yang terpaksa untuk disembunyikan. Levine terlihat sangat berambisi, ia juga mengatakan pada Kleine bahwa Gary sudah melupakan hal janji itu. Ia tahu, karena Gary sudah pindah rumah dan sudah tak berhubungan lagi dengannya. Namun, Levine yang akan menagihnya, ia malah merasa itu menjadi janji Kleine padanya. Seketika, Kleine terdiam, ia menyuruh Levine mengantarnya pulang, pasti ada sesuatu.

Benar, tepat di depan rumah wanita itu, Levine mendapati air mata yang jatuh dari mata Kleine. Ia kebingungan, sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi padanya? Kenapa ia kikuk seperti ini, hanya bisa menepuk-epuk kecil punggung Kleine dan memeluknya.

“Levine…,” ucap Kleine dalam tangisnya.

Levine sontak melepaskan pelukan itu perlahan, kemudian menatap mata Kleine yang terus bercucuran air mata. Tak jarang ia menghapus air mata itu.

“Kau tahu, wanita penulis yang menjadi gurumu saat itu sebenarnya bukan aku,” ucap Kleine kembali masih dalam tangisnya.

“Apa maksudmu?”

“Kleine itu benar-benar namaku, namun aku bukan wanita yang menyebut diriku dengan nama itu pertama kali di depan kelasmu,” jelas Kleine, masih ambigu.

“Hah? Lantas?”

“Aku punya kembaran, ia mengidap penyakit Sindrom Kleine-Levin, kau tau?”

Kening Levine mengerut, ia tak memiliki wawasan luas tentang jenis-jenis penyakit, apalagi namanya bisa kebetulan seperti itu, seperti penyakit rekayasa baginya. “Tak tau, bisa kau jelaskan?”

Penyakit syaraf langka dimana penderita tidak bisa mengontrol rasa kantuknya. Penderita bisa tertidur selama berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bisa berbulan-bulan, tergantung pada berapa lama penyakit itu muncul atau kambuh. Satu penjelasan itu masuk dalam otak Levine, wawasan bertambah bersamaan rasa sakit hatinya yang hadir saat itu juga.

“Nama aslinya Cleo, dia masih dirawat di Jerman saat ini, bersama temanmu yang mungkin kau tak akan percaya bila dia kekasihnya,” ucap Kleine kembali, kali ini membuat Levine penasaran.

“Siapa?”

“Gary Wijaya.”

Terkutuk. Otaknya semakin gila, berbagai perasaan bercampur aduk saat itu juga. Ia tak paham dengan dirinya sendiri. Ya Tuhan, ia mengharapkan ini hanya mimpi atau skenario film. Ah, Levine belum bisa menerima kenyataan begitu saja. Semua butuh proses.

“Dan kau tahu, mengapa Gary menantang Cleo saat itu? Cleo yang menyuruhnya. Sebenarnya Cleo tak ingin mengajar kelas itu, ia takut penyakit itu datang secara tiba-tiba. Akhirnya, kau malah menghambat, untungnya semua berjalan bersih hingga penyakit itu datang kembali tepat waktu.”

Baru kali ini Levine selemah itu. Ia mendapati air matanya yang tak tertahankan, jatuh melinangi pipinya perlahan. Memalukan, kutuknya. “Andaikan dia tak tertutup dan andaikan aku tahu dari awal, aku tak akan menyentuhnya. Mungkin saat ini aku terlanjur mencintainya…,” ucapnya secara tiba-tiba dan tanpa sadar.

Dan tiba-tiba…

“Andaikan tak berakhir dengan kata ‘andaikan’, aku juga mencintaimu, Levine…,” suara lirih itu muncul dari belakang Levine, wanita yang sama persis dengan wanita di depannya. Hampir tak ada yang membedakan.

“Cleo…” ucap Kleine dan Levine secara bersamaan, matanya terbelalak melihat seseorang yang sedang dibicarakan.

“Aku sudah di sini sekarang, maaf telah berbohong kepadamu, aku hanya tak ingin orang lain mengetahui tentang penyakit ini,” ucap Cleo. “Dan tentang nama itu, aku suka jika dipanggil seperti nama kakakku, hal itu yang bisa membuatku tak takut menghadapi penyakitku yang bernama sama juga.”

Serontak, Levine memeluk erat Cleo. “Aku paham itu, aku merindukanmu…,” bisiknya. “Dimana Gary?” tanyanya kemudian.

“Aku sudah memutuskan untuk tak berhubungan kembali dengan orang lain, penyakit ini tak akan membuat kekasihku bahagia…,” jelas Kleine sembari melepaskan pelukan itu perlahan. Terlihat ia sibuk mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Buku tebal digenggamnya sekarang. “Maaf aku hanya bisa menepati satu janjiku,” ucapnya kemudian sembari menunjukkan buku itu pada Levine.

“Enam ratus halaman lebih? Ini sudah termasuk total halaman dua buku biasa. Lantas, kapan kau bisa menulis semua ini?”

Cleo hanya tersenyum. “Sudah kutulis sejak dulu, tapi aku tahu penutupnya, hingga kau hadir menjadi sebuah penutup dalam buku ini. Butuh waktu sebulan saja untuk menuliskannya kembali dengan rapi.”

Levine hanya bisa terkagum-kagum dengan penulis di depannya. Beberapa detik ia memandangi buku dengan judul ‘Kleine-Levine’ pada genggamannya. Hingga kembali lagi menatap mata yang selalu membuatnya rindu pada sosok Kleine di kelasnya waktu itu. Serontak, wajahnya mendekat pada wanita itu, hingga Cleo membiarkan Levine mengecup hangat bibirnya. Selamat telah sembuh dari penyakit aneh itu, Cleo!


   THE END
-----------------------------------
-baws-

No comments:

Post a Comment


Black Moustache