Thursday, 28 August 2014

Fireflies



"Hei, kau mau ke mana?"

"Oh, keluar mencari angin."

"Tak mungkin, kau bersama Nathan. Pasti mencari itu lagi, kan?"

Elsa Amora kembali mengerutkan keningnyamungkin sudah ribuan kaliketika mendapati kekasihnya lebih perhatian dengan adiknya sendiri. Sudah tiga tahun lebih, Elsa menjalin hubungan dengan Karl Griswold. Dan selama tiga tahun itu pula, Elsa merasakan kenyamanan tanpa henti dengan pria itu. Hanya ada satu yang mengganjal dalam hubungan mereka, bagi Elsa. Ia selalu merasa Nathan menjadi batu kerikil di dalamnya. Adiknya itu seperti merebut perhatian Karl darinya, walaupun ia tahu Nathan sendiri yang membuat Elsa bisa bertemu dengan seorang Karl Griswold.

Pasti mencari itu lagi, kan?

Itu. Elsa sudah malas menyebut nama yang berkali-kali membuat keningnya berkerut. Nama hewan yang sungguh menyebalkan. Walaupun terlihat unik bagi orang pada normalnya, kunang-kunang menjadi hewan yang paling Elsa benci semenjak ia berhubungan dengan Karl. Bukan, tak keseluruhan berhubungan dengan Karl, melainkan dengan adiknyaNathan. Apa hubungannya dengan Nathan? Banyak, banyak sekali hingga selalu membuatnya mual. 

Kunang-kunang dalam toples, membuat matanya pedas setiap harinya. Bagaimana tidak? Nathan selalu membawa hewan di dalam benda itu kemana-mana, sepertinya adiknya itu mengalami gangguan jiwa, pikirnya. Imbasnya pada hubungan Elsa dengan Karl yang mendukung kelakuan adiknya itu. Gila sekali, bukan? Seakan-akan Nathan adalah malaikat kecil yang harus menjadi tanggung jawab Karl dan jika barang kesukaannya itu hilang, Karl akan seperti orang yang terkena hukuman. Begitu menyebalkannya.

Karl tersenyum. "Kau mau ikut?"

"Udah berapa kali aku menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sama?" ucap Elsa ketus.

Karl masih tersenyum, kemudian berjalan mendekati Elsa. "Ingat janji kita, dulu?" bisiknya kemudian.

"Terserah."

Ingat, berkat siapa kita dipertemukan selain Tuhan? Bocah kecil yang lahir satu rahim denganmu ini memiliki memori tersendiri untuk masa depan kita. Kau tak akan pernah menyentuhku dan aku tak akan mungkin diizinkan memandangmu, tanpanya. Berlian itu indah, anggap saja Nathan sebagai berlian bernyawa dalam hubungan kita. Kita akan merasakan kekayaan itu. Mungkin terdengar bodoh, namun suatu saat nanti kau akan merasakan kehilangan satu berlian ketika sibuk mengumpulkan batu. Izinkanku untuk berjanji menyayangi adikmu seperti menyayangimu. Semoga kau tak pernah kebertan, Elsa.

Begitu janji yang telah terucap. Kini, Elsa merasa bersalah telah menyetujui janji gila itu. Terlalu dramatis, pikirnya. Harus menyalahkan siapa lagi, gerutunya berkali-kali. Menyalahkan Nathan akan mengingkari janji itu, sedangkan Elsa tak akan pernah bisa menyalahkan orang yang ia cintai. Lantas, menyalahkan kunang-kunang? Hanya akan seperti menyalahkan batu, tak akan pernah ada jawaban.

Karl meninggalkannya, acuh tak acuh dengan jawaban ketus Elsa. Siapa pacarnya? Nathan? Ah, kenapa ia bisa mencintai pria aneh seperti itu? Ah, kenapa ia juga selalu menanyakan hal ini? Padahal, ia tak pernah memiliki alasan untuk mencintai Karl. Hatinya seperti magnet yang sudah melekat pada logam pada hati Karl. Memikirkan untuk meninggalkan orang itu pun, akhirnya juga kembali mencintainya. Memang terkadang cinta itu terpisah dari otak kita. Cinta membentuk bagian baru dengan hati sebagai alat pembantunya. Menutup mata hati hingga membuatnya terseok-seok untuk mencari alasan. Cinta itu egois.

Elsa memandangi Karl dengan Nathan yang sedang sibuk bersenang-senang dari kejauhan. Anehnya, sesekali bibirnya mengembang membentuk senyuman. Ia selalu mengaku dirinya kesal dengan hal itu, namun setelah melihat kebahagiaan mereka seakan-akan dirinya ikut terhibur. Mungkin, itulah salah satu alasan mengapa Elsa tak bisa meninggalkan Karl. Pria itu memiliki sesuatu yang berbeda dengan pria lain. 

Senyumnya berubah kecut ketika menyadari bahwa toples yang Nathan genggam itu sudah berkelipan kunang-kunang di dalamnya. Itu berarti waktunya mereka kembali. Dan saat itu juga, suatu ide menghampiri otaknya. Elsa manggut-manggut sendiri setelah menelisik suatu cara untuk menjauhkan Nathan dari kunang-kunang. Apa salahnya mencoba?

Saat Nathan hendak kembali ke dalam rumahnya, Elsa sudah mengambil alih dirinya dari Karl. Elsa sedikit menarik lengan adiknya itu sembari menatap sinis Karl. Ia mendapati kerutan kening kekasihnya itu muncul, sepertinya Karl sedang kebingungan.

"Pinjam sebentar!"

Karl terkekeh. "Silahkan," ucapnya, seakan-akan ia baru saja mendengar lelucon dalam ucapan ketus kekasihnya itu.

Sembari menarik lebih jauh dari Karl, "Nathan, kakak ingin sekali mengajakmu pergi ke Disneyland California. Kau mau?"

Apa yang diucapkan Elsa pada Nathan? Karl curiga. Ia mendapati raut wajah gembira dari Nathan. Anehnya, tak lama kemudian kebahagian itu pudar. Wajah Nathan terlihat takut sembari memeluk toples berisi kunang-kunangnya itu erat sekali. Sepertinya, dugaan Karl benar. Tiba-tiba, ia mendapati Nathan berlari ke arahnya, kemudian memeluknya erat sekali. Ketakutan, bocah itu ketakutan hingga air matanya tak tertahankan lagi. Perlahan-lahan, Karl menurunkun tubuhnya untuk melihat lebih jelas wajah takut Nathan.

"Apa yang terjadi padamu? Apa yang kakakmu lakukan?" ucapnya sembari mengusap air mata Nathan, kemudian menatap Elsa yang juga masih memandanginya dengan sinis.

Nathan melepaskan pelukannya perlahan. "Dia ingin mengajakku ke Disneyland," jawabnya tersedu-sedu ketakutan.

"Bukankah itu taman bermain impianmu? Harusnya kau senang, bukan? Lantas....."

"Aku harus membuang kunang-kunang ini, begitu syarat darinya."

"Hah? Oh, tunggu."

Karl menaikkan tubuhnya kembali, kemudian berjalan mendekati kekasihnya yang masih menatapnya dengan sinis. Ketika hendak angkat bicara, notifikasi pesan masuk ponselnya berbunyi. Ia membuka flap ponselnya, raut wajahnya terlihat terkejut, namun ia kembali menutup flap ponsel itu dan kembali pada tujuannya sekarang.

Kedua tangan Karl meremas pelan kedua pundak Elsa, tatapannya tajam. "Kau benar-benar lupa janji kita?" ucapnya lirih namun terkesan tegas.

Wajah Elsa terlihat risih. "Janji apa? Janji dramatis bodohmu itu?!!! Aku tak ingin lagi mengingatnya! Apa yang kau inginkan dengan janji itu, siapa pacarmu? Perhatianmu kepadanya terlalu berlebihan, Karl!" ucapnya sembari melepaskan remasan pundak dari Karl, kemudian menunjuk adiknya yang masih terlihat ketakutan.

PLAAAKKKK!!!!!

Tamparan Karl tak segan-segan melayang pada pipi Elsa. Apa maksudnya? Keterlaluan sekali pria ini, ia menganggap Elsa sebagai apa sekarang?

"Aku akan pergi ke Jerman besok pagi untuk mendampingi ayahku meeting selama satu bulan. Aku sudah malas mengingatkanmu tentang janji itu. Satu saja permintaanku, dalam satu bulan ini, kau rawat adikmu, bayangkan itu aku dan aku akan mencintaimu selamanya. Jika tidak, kau akan menyesal!"

Tamparan dan ucapan ambigu itu menjadi akhir peristiwa sebelum Karl meninggalkan Elsa dengan adiknya pergi ke Jerman. Ia juga berniat tak akan membalas semua hubungannya dengan Elsa. Tujuannya, untuk melihat Elsa agar lebih dewasa. Ia berharap wanita itu bisa introspeksi diri sendiri.

Pergi. Selamat datang, Jerman.

***

Sudah berminggu-minggu ia menahan untuk berhubungan dengan Elsa, walaupun ia tahu kekasihnya itu sering menelepon atau mengirimnya pesan, namun hanya ia biarkan dan baca saja. Ia masih berharap dengan tujuannya. Sebenarnya, ia sangat mencintai Elsa Amora. Sangat. Karl tak ingin pernah sekalipun kehilangannya. Namun, di sisi lain ia memiliki hubungan khusus dengan adiknya. Hubungan yang memang selayaknya dicurigai. Karl memiliki alasannya tersendiri, hingga akhir-akhir ini ia rela dingin dengan Elsa demi bocah itu.

Janji yang terucap dulu, tak akan terlihat bodoh bagi Karl. Ia yakin betul itu. Namun, hal bodoh itu terasakan pada hal lain dalam keputusannya. Ia meninggalkan Elsa yang keras kepala dengan keadaan dingin. Itu... Bodoh sekali! Karl baru menyadarinya sekarang bahwa Elsa tak akan pernah mengacuhkan ucapannya apabila terdengar ambigu. Masa bodoh, itulah yang mungkin dirasakan Elsa sekarang.

Hingga sesuatu pun terjadi. Sesuatu yang membuatnya tak berharga saat itu. Tubuhnya melemah setelah menerima pesan dari Elsa. Air matanya pun berjatuhan.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------
From: Elsa
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Karl, semoga kau membacanya kali ini, aku sangat berharap itu.
Aku membutuhkanmu sekarang!!!
NATHAN BARU SAJA KECELAKAAN HINGGA KRITIS :'(
Ya Tuhan! :'''(
Bantu aku menghubungi, Karl :'(

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanpa memikirkan apapun dan bagaimana pun caranya, kini otaknya sudah mengarah dalam satu tujuan: Pulang, menemui Elsa dan Nathan. Sangat panik. 

*

Kini, harapannya untuk pulang sudah lebih besar. Baru saja ia menaiki pesawatnya. Bayangan-bayangan otaknya hanya tertuju pada Elsa dan Nathan, semakin gelisah. Berjam-jam ia tak bisa menenangkan tubuhnya sendiri. Ia terus berharap dan berdoa kepada Tuhan untuk kebaikan Nathan. Hingga akhirnya ia kembali dan langsung menemui mereka pada rumah sakit di dekat rumah Elsa tanpa memikirkan rasa lelahnya setelah seharian tak istirahat. Lupa semuanya.

Dan ketika hendak menemukan ruangan yang ditujunya, ia mendapati seseorang wanita yang menangis histeris mengiring perjalanan gesa empat orang suster yang membawa kasur roda dengan manusia terbungkus kain putih di atasnya. Itu Elsa dan manusia di dalam kain putih itu....

Rasa lelahnya, rasa bodohnya, rasa tak berharganya, hingga seluruh keburukannya tertumpahkan malam itu juga. Lemah, semua tubuhnya melemah tak berdaya. Sulit lagi untuk berjalan, hingga terseok-seok mendekati Elsa yang baru saja dilarang untuk mengikuti tubuh adiknya hingga ruang jenazah. Tepat di belakang Elsa, lutut Karl terasa berat, ia menurunkan paksa hingga menyentuh lantai. Berlutut, kemudian bersujud dalam tangis sesal.

Seketika, Elsa yang mendapati Karl di belakangnya, meraih tubuh pria itu. Menegakkannya kemudian memelukanya masih dalam keadaan berlutut. "Maafkan aku...," ucapnya lirih.

"Aku yang salah, andaikan aku memberitahumu bahwa Nathan mengidap penyakit Xerophthalmania sejak dulu, ini tak akan terjadi. Dan kunang-kunang itulah yang menjadi petunjuk arahnya untuk berjalan. Aku bodoh, aku takut mengatakannya padamu. Nathan menyuruhku untuk selalu diam, ia takut kejadian itu terjadi kembali. Kejadian...," ucap Karl tersela karena tangisnya yang tak tertahankan. "Kejadian saat kecelakaan orang tuamu. Saat itu, ayahmu gelisah dalam mengemudi setelah mengetahui penyakit Nathan. Ia tak fokus dengan jalannya, hingga adikmu trauma dan tak ingin hal itu terjadi kedua kalinya. Ia sangat menyayangi kakaknya, aku yakin itu."

Xerophthalmaniapenyakit buta setelah senjayang menyerang Nathan, kini menjadi sesal dalam hidup Elsa dan Karl. Sesal itu menjadi sebuah pelajaran di dalam pernikahannya dengan Karl beberapa tahun kemudian. Mereka berjanji untuk tetap menghargai janji. Mendaur ulang bekas luka menjadi sebuah kedewasaan yang menjadi bekal hidupnya bersama-sama, kelak.


"Ketika malam menjemput senja, mampukah pagi melarangnya?"


THE END

-----------------------------------
-baws-

1 comment:

  1. kayaknya karakter nathan dgn kunang2nya pernah kmu tulis di cerita lain ya?

    ReplyDelete


Black Moustache