Saturday 20 September 2014

About Cabin Theory

Starting from a sense of interest to something called the cabin.

          Kenapa harus cabin? Pertanyaan inilah yang membuat saya memiliki kewajiban untuk menjelaskannya. Kali ini saya akan membahas tentang arti cabin yang saya maksudkan terlebih dahulu. Cabin adalah sebuah rumah klasik yang terbuat dari kayu dan biasanya sering dijumpai atau dibuat pemiliknya di tengah hutan. Di tengah hutan? Well, kesimpulannya mereka membuat cabin ini untuk tempat menyendiri bahkan bisa untuk berlibur dengan sensasi baru tanpa kebisingan, polusi dan cocok sekali untuk merefleksikan otak. Masih belum tahu? Oke, saya langsung kasih aja gambarnya. 


          Jadi sebenernya semua berawal saat aku masih kecil, kelas 3 SD mungkin. Dengan tipikal karakter yang hobi sekali dengan berkhayal dan dibumbui dengan ketertarikan dengan film horror. Film horror? Yeps! Saya melihat cabin pertama kalinya di film horror pada waktu itu. Presepsi dalam otak saya mengatakan "Sebuah rumah yang cocok untuk saya yang sering butuh waktu untuk menyendiri ini, sebuah tempat yang strategis untuk mengenal alam dan menggantungkan mimpi di dalamnya, persetan dengan hantu di dalamnya!"
          
          Masih mengenai cabin, saya kira fungsi cabin sama saja dengan fungsi rumah pohon hanya letaknya yang berbeda. Khayalan saya waktu kecil adalah kelak saya bisa memiliki cabin yang benar-benar di tengah hutan. Cabin itu hasil dekorasi saya sendiri, sehingga tak ada satu pun manusia yang mengerti keberadaannya. Tempat itu akan saya gunakan untuk menggantungkan sekaligus mengalahkan impian-impian saya. Terpikir saat itu juga, kelak saya akan menjadi penemu sesuatu seperti Isaac Newton yang menemukan gaya gravitasi. "Quiet people have the loudest minds" Seperti itulah yang saya gambarkan terhadap sosok Newton. 

          "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama." Dari pepatah ini sudah jelas, jika manusia mati akan meninggalkan namanya. Maksud "nama" disini adalah bagaimana nama mereka di mata masyarakat. Nama bisa menjadi besar juga tak luput dari karya-karyanya selama hidup yang tidak akan pernah mati. Intinya, saat kita meninggalkan dunia ini, kita akan meninggalkan sesuatu hal yang abadi yaitu, sebuah kenangan dan ingatan orang lain akan diri kita. Dari situ saya juga mengutip seperti apa yang dikatakan William James, "Hal yang terbesar dalam hidup adalah mengisinya dengan hal abadi." *maaf sedikit keluar dari topik* Oke itulah yang membuat saya memilih kata "Cabin".

          Lanjut saja, kali ini langsung tentang Cabin Theory. Kenapa harus teori dari cabin? Kata itu muncul di otak saya ketika berkhayal waktu itu. Momen itu membuat saya cukup bisa untuk memusnahkan logika saya, seperti memiliki kehidupan kedua di dalamnya, saya sering menyebutnya "DIMENSI PARALEL". Nah, itulah kehidupan yang saya ciptakan sendiri melalui khayalan-khayalan saya dengan semua teori yang saya buat sendiri juga. Sejajar dengan dunia mimpi saat kalian tidur. Sudah merasakan khayalannya? Oke, tapi saya juga memiliki teman yang saya ciptakan sendiri di dalamnya. Tak perlu saya sebut nama, kelak kalian akan tahu dengan munculnya karakter aneh di dalam coretan-coretan saya, seperti pada novel saya FROM A SHADOW. *promosi* Mungkin di dalam dunia nyata saya merealisasikan mereka dengan suatu benda seperti boneka. *kode* Oke selesai dengan Cabin Theory. Berikut logonya.




          Nah, dalam logo ini ada tulisan "Moody Writer", kenapa? Hmm... saya belum pantas di kategorikan sebagai penulis sebelum saya memiliki sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit mayor (bukan self-publishing). Udah gitu aja, kalo kalian bisa menangkap pernyataan ini, kalian sudah ada di atas rata-rata. *apalah itu*

          Dan ini gambar manual dari tangan saya sendiri dan mungkin saat itu setengah tubuh saya berada di dunia nyata dan yang lainnya... *ah sudahlah* 

"Seuah teori di dalam dimensi paralel, dimensi yang tak kasap mata di dalam mulut serigala, hapus logikamu untuk bisa memasukinya, aku menunggumu disana..."
- CABIN THEORY - 

Thursday 28 August 2014

Fireflies



"Hei, kau mau ke mana?"

"Oh, keluar mencari angin."

"Tak mungkin, kau bersama Nathan. Pasti mencari itu lagi, kan?"

Elsa Amora kembali mengerutkan keningnyamungkin sudah ribuan kaliketika mendapati kekasihnya lebih perhatian dengan adiknya sendiri. Sudah tiga tahun lebih, Elsa menjalin hubungan dengan Karl Griswold. Dan selama tiga tahun itu pula, Elsa merasakan kenyamanan tanpa henti dengan pria itu. Hanya ada satu yang mengganjal dalam hubungan mereka, bagi Elsa. Ia selalu merasa Nathan menjadi batu kerikil di dalamnya. Adiknya itu seperti merebut perhatian Karl darinya, walaupun ia tahu Nathan sendiri yang membuat Elsa bisa bertemu dengan seorang Karl Griswold.

Pasti mencari itu lagi, kan?

Itu. Elsa sudah malas menyebut nama yang berkali-kali membuat keningnya berkerut. Nama hewan yang sungguh menyebalkan. Walaupun terlihat unik bagi orang pada normalnya, kunang-kunang menjadi hewan yang paling Elsa benci semenjak ia berhubungan dengan Karl. Bukan, tak keseluruhan berhubungan dengan Karl, melainkan dengan adiknyaNathan. Apa hubungannya dengan Nathan? Banyak, banyak sekali hingga selalu membuatnya mual. 

Kunang-kunang dalam toples, membuat matanya pedas setiap harinya. Bagaimana tidak? Nathan selalu membawa hewan di dalam benda itu kemana-mana, sepertinya adiknya itu mengalami gangguan jiwa, pikirnya. Imbasnya pada hubungan Elsa dengan Karl yang mendukung kelakuan adiknya itu. Gila sekali, bukan? Seakan-akan Nathan adalah malaikat kecil yang harus menjadi tanggung jawab Karl dan jika barang kesukaannya itu hilang, Karl akan seperti orang yang terkena hukuman. Begitu menyebalkannya.

Karl tersenyum. "Kau mau ikut?"

"Udah berapa kali aku menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sama?" ucap Elsa ketus.

Karl masih tersenyum, kemudian berjalan mendekati Elsa. "Ingat janji kita, dulu?" bisiknya kemudian.

"Terserah."

Ingat, berkat siapa kita dipertemukan selain Tuhan? Bocah kecil yang lahir satu rahim denganmu ini memiliki memori tersendiri untuk masa depan kita. Kau tak akan pernah menyentuhku dan aku tak akan mungkin diizinkan memandangmu, tanpanya. Berlian itu indah, anggap saja Nathan sebagai berlian bernyawa dalam hubungan kita. Kita akan merasakan kekayaan itu. Mungkin terdengar bodoh, namun suatu saat nanti kau akan merasakan kehilangan satu berlian ketika sibuk mengumpulkan batu. Izinkanku untuk berjanji menyayangi adikmu seperti menyayangimu. Semoga kau tak pernah kebertan, Elsa.

Begitu janji yang telah terucap. Kini, Elsa merasa bersalah telah menyetujui janji gila itu. Terlalu dramatis, pikirnya. Harus menyalahkan siapa lagi, gerutunya berkali-kali. Menyalahkan Nathan akan mengingkari janji itu, sedangkan Elsa tak akan pernah bisa menyalahkan orang yang ia cintai. Lantas, menyalahkan kunang-kunang? Hanya akan seperti menyalahkan batu, tak akan pernah ada jawaban.

Karl meninggalkannya, acuh tak acuh dengan jawaban ketus Elsa. Siapa pacarnya? Nathan? Ah, kenapa ia bisa mencintai pria aneh seperti itu? Ah, kenapa ia juga selalu menanyakan hal ini? Padahal, ia tak pernah memiliki alasan untuk mencintai Karl. Hatinya seperti magnet yang sudah melekat pada logam pada hati Karl. Memikirkan untuk meninggalkan orang itu pun, akhirnya juga kembali mencintainya. Memang terkadang cinta itu terpisah dari otak kita. Cinta membentuk bagian baru dengan hati sebagai alat pembantunya. Menutup mata hati hingga membuatnya terseok-seok untuk mencari alasan. Cinta itu egois.

Elsa memandangi Karl dengan Nathan yang sedang sibuk bersenang-senang dari kejauhan. Anehnya, sesekali bibirnya mengembang membentuk senyuman. Ia selalu mengaku dirinya kesal dengan hal itu, namun setelah melihat kebahagiaan mereka seakan-akan dirinya ikut terhibur. Mungkin, itulah salah satu alasan mengapa Elsa tak bisa meninggalkan Karl. Pria itu memiliki sesuatu yang berbeda dengan pria lain. 

Senyumnya berubah kecut ketika menyadari bahwa toples yang Nathan genggam itu sudah berkelipan kunang-kunang di dalamnya. Itu berarti waktunya mereka kembali. Dan saat itu juga, suatu ide menghampiri otaknya. Elsa manggut-manggut sendiri setelah menelisik suatu cara untuk menjauhkan Nathan dari kunang-kunang. Apa salahnya mencoba?

Saat Nathan hendak kembali ke dalam rumahnya, Elsa sudah mengambil alih dirinya dari Karl. Elsa sedikit menarik lengan adiknya itu sembari menatap sinis Karl. Ia mendapati kerutan kening kekasihnya itu muncul, sepertinya Karl sedang kebingungan.

"Pinjam sebentar!"

Karl terkekeh. "Silahkan," ucapnya, seakan-akan ia baru saja mendengar lelucon dalam ucapan ketus kekasihnya itu.

Sembari menarik lebih jauh dari Karl, "Nathan, kakak ingin sekali mengajakmu pergi ke Disneyland California. Kau mau?"

Apa yang diucapkan Elsa pada Nathan? Karl curiga. Ia mendapati raut wajah gembira dari Nathan. Anehnya, tak lama kemudian kebahagian itu pudar. Wajah Nathan terlihat takut sembari memeluk toples berisi kunang-kunangnya itu erat sekali. Sepertinya, dugaan Karl benar. Tiba-tiba, ia mendapati Nathan berlari ke arahnya, kemudian memeluknya erat sekali. Ketakutan, bocah itu ketakutan hingga air matanya tak tertahankan lagi. Perlahan-lahan, Karl menurunkun tubuhnya untuk melihat lebih jelas wajah takut Nathan.

"Apa yang terjadi padamu? Apa yang kakakmu lakukan?" ucapnya sembari mengusap air mata Nathan, kemudian menatap Elsa yang juga masih memandanginya dengan sinis.

Nathan melepaskan pelukannya perlahan. "Dia ingin mengajakku ke Disneyland," jawabnya tersedu-sedu ketakutan.

"Bukankah itu taman bermain impianmu? Harusnya kau senang, bukan? Lantas....."

"Aku harus membuang kunang-kunang ini, begitu syarat darinya."

"Hah? Oh, tunggu."

Karl menaikkan tubuhnya kembali, kemudian berjalan mendekati kekasihnya yang masih menatapnya dengan sinis. Ketika hendak angkat bicara, notifikasi pesan masuk ponselnya berbunyi. Ia membuka flap ponselnya, raut wajahnya terlihat terkejut, namun ia kembali menutup flap ponsel itu dan kembali pada tujuannya sekarang.

Kedua tangan Karl meremas pelan kedua pundak Elsa, tatapannya tajam. "Kau benar-benar lupa janji kita?" ucapnya lirih namun terkesan tegas.

Wajah Elsa terlihat risih. "Janji apa? Janji dramatis bodohmu itu?!!! Aku tak ingin lagi mengingatnya! Apa yang kau inginkan dengan janji itu, siapa pacarmu? Perhatianmu kepadanya terlalu berlebihan, Karl!" ucapnya sembari melepaskan remasan pundak dari Karl, kemudian menunjuk adiknya yang masih terlihat ketakutan.

PLAAAKKKK!!!!!

Tamparan Karl tak segan-segan melayang pada pipi Elsa. Apa maksudnya? Keterlaluan sekali pria ini, ia menganggap Elsa sebagai apa sekarang?

"Aku akan pergi ke Jerman besok pagi untuk mendampingi ayahku meeting selama satu bulan. Aku sudah malas mengingatkanmu tentang janji itu. Satu saja permintaanku, dalam satu bulan ini, kau rawat adikmu, bayangkan itu aku dan aku akan mencintaimu selamanya. Jika tidak, kau akan menyesal!"

Tamparan dan ucapan ambigu itu menjadi akhir peristiwa sebelum Karl meninggalkan Elsa dengan adiknya pergi ke Jerman. Ia juga berniat tak akan membalas semua hubungannya dengan Elsa. Tujuannya, untuk melihat Elsa agar lebih dewasa. Ia berharap wanita itu bisa introspeksi diri sendiri.

Pergi. Selamat datang, Jerman.

***

Sudah berminggu-minggu ia menahan untuk berhubungan dengan Elsa, walaupun ia tahu kekasihnya itu sering menelepon atau mengirimnya pesan, namun hanya ia biarkan dan baca saja. Ia masih berharap dengan tujuannya. Sebenarnya, ia sangat mencintai Elsa Amora. Sangat. Karl tak ingin pernah sekalipun kehilangannya. Namun, di sisi lain ia memiliki hubungan khusus dengan adiknya. Hubungan yang memang selayaknya dicurigai. Karl memiliki alasannya tersendiri, hingga akhir-akhir ini ia rela dingin dengan Elsa demi bocah itu.

Janji yang terucap dulu, tak akan terlihat bodoh bagi Karl. Ia yakin betul itu. Namun, hal bodoh itu terasakan pada hal lain dalam keputusannya. Ia meninggalkan Elsa yang keras kepala dengan keadaan dingin. Itu... Bodoh sekali! Karl baru menyadarinya sekarang bahwa Elsa tak akan pernah mengacuhkan ucapannya apabila terdengar ambigu. Masa bodoh, itulah yang mungkin dirasakan Elsa sekarang.

Hingga sesuatu pun terjadi. Sesuatu yang membuatnya tak berharga saat itu. Tubuhnya melemah setelah menerima pesan dari Elsa. Air matanya pun berjatuhan.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------
From: Elsa
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Karl, semoga kau membacanya kali ini, aku sangat berharap itu.
Aku membutuhkanmu sekarang!!!
NATHAN BARU SAJA KECELAKAAN HINGGA KRITIS :'(
Ya Tuhan! :'''(
Bantu aku menghubungi, Karl :'(

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanpa memikirkan apapun dan bagaimana pun caranya, kini otaknya sudah mengarah dalam satu tujuan: Pulang, menemui Elsa dan Nathan. Sangat panik. 

*

Kini, harapannya untuk pulang sudah lebih besar. Baru saja ia menaiki pesawatnya. Bayangan-bayangan otaknya hanya tertuju pada Elsa dan Nathan, semakin gelisah. Berjam-jam ia tak bisa menenangkan tubuhnya sendiri. Ia terus berharap dan berdoa kepada Tuhan untuk kebaikan Nathan. Hingga akhirnya ia kembali dan langsung menemui mereka pada rumah sakit di dekat rumah Elsa tanpa memikirkan rasa lelahnya setelah seharian tak istirahat. Lupa semuanya.

Dan ketika hendak menemukan ruangan yang ditujunya, ia mendapati seseorang wanita yang menangis histeris mengiring perjalanan gesa empat orang suster yang membawa kasur roda dengan manusia terbungkus kain putih di atasnya. Itu Elsa dan manusia di dalam kain putih itu....

Rasa lelahnya, rasa bodohnya, rasa tak berharganya, hingga seluruh keburukannya tertumpahkan malam itu juga. Lemah, semua tubuhnya melemah tak berdaya. Sulit lagi untuk berjalan, hingga terseok-seok mendekati Elsa yang baru saja dilarang untuk mengikuti tubuh adiknya hingga ruang jenazah. Tepat di belakang Elsa, lutut Karl terasa berat, ia menurunkan paksa hingga menyentuh lantai. Berlutut, kemudian bersujud dalam tangis sesal.

Seketika, Elsa yang mendapati Karl di belakangnya, meraih tubuh pria itu. Menegakkannya kemudian memelukanya masih dalam keadaan berlutut. "Maafkan aku...," ucapnya lirih.

"Aku yang salah, andaikan aku memberitahumu bahwa Nathan mengidap penyakit Xerophthalmania sejak dulu, ini tak akan terjadi. Dan kunang-kunang itulah yang menjadi petunjuk arahnya untuk berjalan. Aku bodoh, aku takut mengatakannya padamu. Nathan menyuruhku untuk selalu diam, ia takut kejadian itu terjadi kembali. Kejadian...," ucap Karl tersela karena tangisnya yang tak tertahankan. "Kejadian saat kecelakaan orang tuamu. Saat itu, ayahmu gelisah dalam mengemudi setelah mengetahui penyakit Nathan. Ia tak fokus dengan jalannya, hingga adikmu trauma dan tak ingin hal itu terjadi kedua kalinya. Ia sangat menyayangi kakaknya, aku yakin itu."

Xerophthalmaniapenyakit buta setelah senjayang menyerang Nathan, kini menjadi sesal dalam hidup Elsa dan Karl. Sesal itu menjadi sebuah pelajaran di dalam pernikahannya dengan Karl beberapa tahun kemudian. Mereka berjanji untuk tetap menghargai janji. Mendaur ulang bekas luka menjadi sebuah kedewasaan yang menjadi bekal hidupnya bersama-sama, kelak.


"Ketika malam menjemput senja, mampukah pagi melarangnya?"


THE END

-----------------------------------
-baws-

Monday 25 August 2014

Maya


Adakah senja tanpa terbenamnya mentari? Adakah hari-hari tanpa perubahan detik? Mungkin itu khayal, hanya ada dalam otak pria bernama Louise Malino.

Rintik gerimis mewarnai malam Louise di kota ini. Sebuah potret kehampaan seakan memberi arti tersendiri di malam itu. Bangunan-bangunan klasik berjejeran menjadi objek yang tepat untuknya. Masih seperti terakhir kalinya disini, Louise seperti sudah memiliki tempat yang khas di Semarang―kota tempatnya lahir dan tempat tinggal nenenknya sekarang―untuk mengakhiri lembaran lamanya bersama sang kekasih walau hanya sebuah skenario perpisahan, warga sekitar sering menyebutnya Kota Lama―suatu kawasan di Semarang yang menjadi pusat perdagangan pada abad 19-20.
Sendiri yang indah, ditemani barang baru dengan memori lama miliknya. Kamera polaroid yang dibelikan ayahnya, kini menjadi sahabat dalam kesendirian. Bukan kamera itu yang memiliki memori, melainkan cara penggunaannya. Dulu, seseorang yang telah mengajarkannya musik pada Louise juga sempat mengajarkan sedikit hobi miliknya―Keyla Siregar. 
“Memotret adalah tentang mengabadikan memori kehidupan,” itulah kata-kata Keyla yang selalu ia ingat sampai sekarang. Dan itulah yang membuatnya penasaran untuk mencoba belajar pada wanita itu. Sama dengan musik, Keyla mengajarkan Louise dengan penuh ketulusan melebihi seorang guru yang mendapatkan gaji setiap pertemuan.
Mata kanannya sejajar dengan lensa kamera polaroid. Berputar-putar mencari objek lain, hingga fokusnya terbuyar dengan suara petasan yang mewarnai langit. Suara yang mengingatkannya dengan hari ini, hari dimana manusia berbondong-bondong menguatkan diri untuk tidak memejamkan mata hingga tengah malam dan berganti hari―tahun baru.  Tatapannya ke atas diiringi dengan senyuman dan melangkahkan kakinya menuju arah petasan itu dinyalakan. Senyumnya tambah mengembang setelah melihat sosok wanita yang menyalakan petasan itu. Namun, perlahan-lahan ekspresinya berubah saat tatapannya melihat raut wajah wanita itu. Tak paham, sangat aneh, hatinya bertanya-tanya, “Apa yang sedang dilakukannya? Mengapa wanita itu menangis?” Ia menutup pertanyaannya sendiri, mendekati wanita di hadapannya itu. Langkahnya terhenti, tangannya mulai meraih kameranya kembali, wanita aneh menjadi objek terakhirnya saat itu. Pulang. Tidak ada yang spesial di akhir tahun ini, sudah biasa baginya.
Beberapa jam lagi, mungkin sang fajar sudah akan terlihat di ufuk Timur. Namun, Louise masih berkutat di atas tempat tidurnya, sibuk dengan hasil jepretannya yang sudah tercetak rapi di hadapannya. Gelisah, mencari foto wanita aneh tadi yang tidak ada di galerinya. Mustahil. Kebingungan hingga akhirnya tertidur.
Sleep Paralyze―kelumpuhan tidur yang merujuk pada keadaan ketidakmampuan bergerak ketika sedang tidur ataupun ketika bangun tidur. Rasanya sesak napas seperti ada yang mencekik, dada sesak, badan tidak bisa bergerak dan sulit bersuara. Wajar saja, Louise masih dalam keadaan gelisah dan fisik yang sedang kelelahan, kekurangan tidur. Otaknya sudah siap untuk bekerja kembali, namun tubuhnya masih belum siap untuk melakukan itu semua. Hal itulah yang menyebabkan apa yang Louise rasakan selama beberapa detik tadi.
Setelah sadar, matanya langsung terbelalak, tubuhnya terguncang, detak jantungnya berdebar-debar. Hal itu sudah sering terjadi pada dirinya, matanya belum siap untuk melihat dunia, hingga akhirnya ia tertidur kembali. Kali ini, mimpi aneh menghantuinya. Gelap, perlahan-lahan timbul percikan api di dalam kegelapan itu. Percikan api yang terus menyala, pelan-pelan membentuk wajah seseorang dalam mimpinya. Wanita itu… Louise tersadar dari tidurnya, mimpinya terpenggal, tubuhnya terpental dari tempat tidurnya. Hanya mimpi, pikirnya.
Pagi yang cerah di antara kicau burung dan ayam berkokok yang berlomba-lomba memberi nada di awal hari itu. Liburan awal tahun. Monoton, tidak ada kegiatan yang harus Louise lakukan hari itu. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan di dekat rumah nenekya. Perpustakaan bersejarah baginya, dari saat kecil hingga sekarang masih ada, malah penjaganya yang sudah sering berganti. Mungkin tempat itu cukup untuk mengisi harinya.
Di depan rak buku, bola matanya berputar-putar, tangannya menjamah buku-buku yang tertata rapi di dalamnya. Novel berjudul "The Notebook" milik penulis tersohor―Nicholas Sparksmengalihkan perhatiannya. Tangannya yang semula hanya menjamah, kini mulai menarik buku itu. Kursi kosong di sudut perpustakaan menjadi tujuannya berlabuh saat ini. Lembar demi lembar ia baca, cerita yang menarik, sesuai genre kesukaannya―cinta dan misteri. Mulutnya yang bergumam membaca kata-kata dalam novel itu mulai terhenti setelah Louise mulai merasa jenuh untuk menunduk. Ia mengangkat kepalanya dan sedikit merefleksikan tubuhnya dengan mengolet. Louise membenahi posisi duduknya sembari mengucek matanya yang tertutup saat mengolet tadi. Saat perlahan-lahan terbuka, tiba-tiba ia dikejutkan dengan manusia yang duduk di depannya dengan novel yang sama dalam genggamannya. Manusia yang sama dengan yang ia temui saat di Kota Lama dan dalam mimpinya pagi tadi―wanita aneh Louise menyebutnya.
“Kamu…,” sapa Louise.
Wanita itu menoleh ke arah Louise, tanpa kata. Tatapannya seperti mendorongnya untuk menyapa kembali bahkan memberikan pertanyaan lain.
“Kamu yang tadi malem di Kota Lama itu, kan?” tanya Louise. “Ehm… kenalin, namaku Louise Malino, panggil aja Louise,” tambahnya, memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangannya kea rah wanita itu.
Wanita itu pun meletakkan novel dari genggamannya, menyambut tangan Louise sambil menganggukkan kepalanya dan memberi senyuman kecil. Setelah melepaskan tangan Louise dari genggamannya, wanita itu meraih pensil dan kertas dalam sakunya.
“Namaku Emily Reyn,” tulis wanita itu dalam kertasnya.
Louise tercengang, “Emily … kamu…,” ucapnya terpenggal. “Mungkin Emily  seorang tuna wicara, aku tak perlu menanyakannya lagi,” pikir Louise kemudian. “Kamu tinggal di deket sini?” tanyanya, mengalihkan pertanyaan awalnya.
Emily  mengangguk dan memberikan senyuman kembali kepada Keyla. Wajahnya cukup khas, bentuk matanya yang ikut tersenyum saat ia tersenyum mengalihkan perhatian Louise selama itu.
“Berarti kita tetanggaan dong, dimana rumahmu?” tanya Louise kembali, namun kali ini Emily  tidak menjawab sama sekali, ia hanya menatap tajam mata Louise hingga seakan-akan menyadarkannya untuk mencari pertanyaan lain yang tidak terlalu lancang seperti itu.
“Hmm, maaf… Boleh aku berteman sama kamu?” tanya Louise kembali untuk mengganti pertanyaan tadi.
Lagi dan lagi Emily  hanya mengangguk dan kembali memberikan senyuman manisnya pada Louise.
Louise memberanikan diri untuk bertanya kembali, “Boleh aku tanya tentang tadi malam, kok kamu nangis, kenapa?”
Emily  meraih pensil dan kertasnya kembali. “Aku ingin seperti kamu…” tulisnya dalam kertas itu.
“Oh…,” balas singkat Emily , ia berpikir pertanyaan yang ia lontarkan salah kembali, terlalu lancang. Louise memahami apa yang Emily  maksudkan. “Emily  ingin menjadi bisa berbicara normal sepertiku,” pikirnya.
Perbincangan pun terus berlanjut hingga Louise melupakan tujuan awalnya mengunjungi perpustakaan itu. Jarum jam terus berputar. Seiring berputarnya jarum jam, Louise dan Emily  menjadi lebih dekat. Louise merasakan adanya perbedaan dalam diri Emily  dengan wanita-wanita lain yang pernah ia kenal, ia pun terkadang merasa cocok dengan karakter Emily  walaupun mereka sulit untuk berkomunikasi, membutuhkan waktu lebih lama.
Keadaan berbalik setelah Louise menyadari ini bukan kebebasan bahkan dunia baru yang jauh dari semesta. Dirinya masih berhutang dengan seseorang dan berjanji dengan yang lainnya. Disini bukan untuk liburan dan tidak boleh menjadikan beban. Harus tetap tenang untuk menjalankan misinya. Menjauh dari wanita tercinta. Mengingat kata terakhirnya, Louise sempat berpikir, “Apa mungkin Emily wanita yang tepat untuk masuk skenario ini?” hatinya bertanya-tanya dengan ketidaktegaan yang ia rasakan terhadap bidadari tuna wicara di depannya. Tak yakin, semakin gelisah.
Goresan kebimbangan Louise terekam dalam setiap langkah barunya di Kota Semarang. Setiap langkahnya akan menjadi sebuah memori yang mungkin tak akan terulang kembali apabila dirinya tak segera mengambil keputusan yang terbaik. Dilema, hari-harinya dipenuhi kegelisahan. 
***
Hubungan Louise  dengan Emily  semakin terasa dekat. Walaupun begitu, sampai sekarang Louise belum pernah memberikan kontak apapun untuk berkomunikasi dengan Louise.  Hal itu membuatnya harus bertemu untuk bisa melakukan komunikasi. Dan selama itu juga, Louise mulai terbiasa dengan hal-hal aneh dari diri Emily . Salah satunya, Emily  hanya ingin bertemu dengan Keyla di tempat yang sepi, yang hanya terdapat segelintir manusia di dalamnya. “Emily Reyn adalah manusia anti-sosial terindah yang pernah kukenal…,” pikir Louise. Karena itulah Louise tetap menuruti permintaan Emily . Mungkin karena dirinya sudah mulai terhipnotis dengan wanita yang ia sebut aneh saat pertama kali bertemu itu. Dalam pikirannya saat ini, “Cinta datang tiba-tiba, namun juga bisa pergi tiba-tiba.” Itulah yang membuat Louise untuk tidak menyatakan perasaanya pada Emily dengan tergesa-gesa. Pelan tapi pasti. Ia masih betah dengan status persahabatannya saat itu. Apalagi jika mengingat di sudut lain ada Keyla , ia masih belum bisa melupakan wanita itu.
Senyuman mentari semesta mengantarku untuk membuka mata dan melangkahkan kaki untuk beranjak dari tempat tidur lusuhku ini. Sinarnya yang belum begitu terang memberi tarikan maya pada tanganku hingga tubuhku terdorong untuk menginjak beranda rumah nenek. Belum sempat menginjak lantai beranda, samar-samar dari kejauhan telingaku mendengar suara harmonika dengan nada-nada yang beralun sejuk. Tubuhnya semakin tertarik untuk melangkahkan kakinya yang sempat terhenti, bergegas keluar dari ruang tamu menuju sumber suara itu.
Semakin dekat, semakin terdengar nyaring nada-nada indah itu. Saat matanya sudah menemukan sumbernya, tatapan seakan-akan melihat kumpulan emas pada sebuah tambang. Berkaca-kaca setelah melihat emas berwujud bidadari di depannya terampil meniup sebuah harmonika klasik. Bibirnya mengembang berbuah senyuman, lagi dan lagi Emily Reyn berhasil menghipnotis pria ini, mencekik hatinya dengan rangkaian nada yang terikat bersama auranya. Cantik seperti bidadari dirinya, pagi ini.
Ini sebuah kejutan untuk Louise. Setelah nada itu perlahan hilang bersamaan dengan kekuatan hipnotis yang menyerang hati Louise, tubuhnya sedikit terguncang sadar dari lamunan nyata itu.
“Hai… kenapa disini?” sapa Louise.
Seperti biasa, Emily  meraih sebuah tulisan dalam kertas yang mungkin sudah ia siapkan sebelumnya. “Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat…,” tulis dalam kertas itu.
Louise menarik tangan Emily  hingga beranda rumah neneknya, “Tunggu disini, bentar!” sahutnya sembari berlari ke dalam.
Tergesa-gesa, ternyata setelah beberapa menit ia pun keluar dengan keadaan jauh lebih rapi dari sebelumnya. Tangan yang mengusap rambut untuk terakhir kalinya, kini mulai sibuk dengan bagian kemejanya yang sedikit lusuh. Saat semuanya sudah siap, jemarinya meraih kontak mobil dalam saku celananya. “Jadi, mau kemana kita sekarang? Aku sudah siap!” ucapnya kemudian dengan senyuman sedikit menggoda.
Emily  tertawa kecil, tangan kanannya bergerak hingga menempel pada pipi Louise, tangan kirinya meraih sebuah kertas. “Jiwamu indah…,” tulisan dalam kertas itu, dua kata yang membuat Louise sangat tercengang hingga seakan-akan detak jantungnya berhenti beberapa saat. Mungkin ini gambaran yang terlalu berlebihan, tapi nyata.
“Masih kalah denganmu…,” balas Louise sembari menyeimbangkan pikiran dan hatinya yang beberapa saat tadi melayang bersama senyuman tergilanya, salah tingkah.
Emily  hanya melanjutkan tawa kecilnya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya dan menulis sesuatu, “Aku yang jadi sopir!” tulisnya sambil merampas kontak Louise dan meraih sesuatu dari sakunya. “Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat, tapi kamu harus pake ini…,” tulisnya kemudian sembari mengeluarkan kain hitam untuk menutupi mata Louise, berniat memberi surprise.
“Siapa takut?” ucapnya dengan nada congkak, dengan cekatan Emily  mengikat kain itu hingga menutupi mata Louise. Sudah benar-benar gelap sekarang. 
Tanpa komando, ia langsung menuntun Louise ke arah mobilnya di depan rumah dan segera menancapkan gas. Dalam perjalanan, mereka berdua sempat bercanda cukup lama, kemungkinan tempat tujuan Emily  cukup jauh. Saking gelapnya, saat terdiam beberapa saat tanpa kata, Louise perlahan-lahan mendengkur, ketiduran.
Suara yang tak asing datang kembali. Nada-nada yang tercipta dari tiupan harmonika beralun singgah ke dalam telinga Louise untuk kedua kalinya. Matanya yang terpejam seakan-akan dipaksa untuk terbuka oleh telinganya untuk mencari sumber bunyi itu. Perlahan-lahan terbuka dan tak banyak menggerakkan badan pun sumber bunyi sudah terpampang jelas di sampingnya. Saat sepenuhnya sadar dan menatap sumber bunyi tersebut, sebuah senyuman dari bidadari menghentikan nada indah tersebut. Louise membalas dengan senyumnya.
Tak lama terlepas dengan tatapan dan senyuman itu, tubuh Louise terguncang setelah melihat keadaan di luar mobilnya, matanya berbinar. “Emily ….,” ucapnya terpenggal sembari menatapi sekelilingnya. “Kita dimana? Ini masih di Semarang, kan?”
Emily sudah mempersiapkan jawabannya di kertas, ia menunjukkan pada Louise sambil meneruskan senyumnya. 
“Iya, kamu masih di Semarang, ini tempatku menyendiri dan tempat rahasia kita berdua,” tulisan dari Emily .
Raut wajah Louise pun menunjukkan reaksi yang berbeda, alis yang terangkat dan bibir bawah menebal. “Tempat rahasia? Boleh juga…,” ucapnya dengan nada seakan ini seperti hal konyol namun nyata. 
Setelah ucapan Louise itu, dengan cekatan Emily  mengajak Louise keluar mobil. Mungkin berada dalam dunia kedua, bagi Louise. Sebuah danau yang lengkap dengan perahu kecil yang biasa disebut kano ada di depan matanya sekarang. Sementara di belakangnya terlihat rumah kecil dari kayu yang biasa disebut kabin.  Ini tempat impian seorang Louise Malino yang mungkin hanya khayalan saja untuk bisa menapakkan kaki di tempat ini. Emily Reyn, seorang manusia berdarah bidadari yang datang tiba-tiba dalam kehidupannya malah mengubah khayalan itu menjadi nyata sekarang.
“Kok liatin kabin itu? Kamu mau masuk? Masuk aja, itu punyaku kok!” tulisan dalam kertas yang dihadangkan Emily  di depan wajah Louise.
Ingin sekali Louise menahan teriaknya, ia mencoba untuk melakukan sesuatu hal. Tubuhnya bergerak ke bawah, ia melutut membelakangi Emily  dan menunjuk bahunya. Mengerti maksud Louise, tangan Emily  cekatan untuk meraih bahu pria di depannya itu. Setelah sempurna, tubuh Louise kembali ke atas dan membawanya berlari menuju kabin. 
“SELAMAT DATANG DUNIA IMPIAN, AKU BERHASIL MENCURI BIDADARI DARI LANGIT HARI INI!!!” teriak Louise dengan sangat girang sembari berlari menggendong Emily.
Daun pintu yang menganga membuat Louise terdorong lagi untuk masuk ke dalam kabin itu tanpa aba-aba. Setelah satu langkah masuk ke dalam, ia menghentikan langkahnya dan melepaskan gendongan Emily  secara perlahan. Tubuhnya terdiam sejenak, matanya menatap sekitar, mendelik, hingga melongo terkagum-kagum dengan isi kabin. Barang-barang klasik yang terbuat dari kayu memiliki harga tersendiri di mata Louise. Dan hampir seluruh perabot dalam kabin itu berhasil memanjakan matanya. Satu per satu ia menjamah perabotan dalam kabin, Emily  selalu tersenyum dan mengekor. Mungkin rasanya ia berhasil memberi kejutan terindah dalam hidup Louise.
Jamahan tangannya mulai terhenti saat matanya mendapati sebuah gitar klasik yang tergeletak rapi di samping patung serigala milik Emily . Dengan lancang, Louise mengambilnya dan mengajak Emily  keluar dari kabin menuju kano di tepi danau. Paham apa yang akan dilakukan Louise, Emily  ikut membantu untuk membenahi posisi kano. Semuanya sudah siap, kali ini saatnya Louise mengambil senjatanya―dayung. Kedua tangannya sudah menggenggam erat dayung tersebut, gerakan untuk mendayung ia lakukan berkali-kali hingga tengah danau.
Cuaca berawan sangat mendukung untuk berduaan di tengah danau yang tenang seperti ini. Bisa dikatakan romantis. Tak sengaja, tanpa memiliki bakat untuk menjadi pria romantis, Louise sudah melakukan sesuatu yang romantis saat itu. Tubuhnya yang berkeringat mulai menikmati tempat itu. Tangannya meraih gitar klasik dari kabin tadi, menyanyikan sebuah lagu dari “Banda Neira” untuk Emily.

Ke Entah berantah

Dia datang saat hujan reda
Semerbak merekah namun sederhana
Dia bertingkah tiada bercela
Siapa kuasa
Dia menunggu hingga ku jatuh
Terbawa suasana
Dia menghibur saat ku rapuh
Siapa kuasa
Dan kawan
Bawaku tersesat ke entah berantah
Tersaru antara nikmat atau lara
Berpeganglah erat, bersiap terhempas
Ke tanda tanya
Dia bagai suara hangat senja
Senandung tanpa kata
Dia mengaburkan gelap rindu
Siapa kuasa…

Semangat dan emosi Louise yang ditumpahkan dalam lagu itu membuat Emily  terkesima. Tak bisa berkata, “Maaf cuma bisa bilang, sempurna!” tulisnya dalam kertas komunikasinya.
“Seseorang mengajariku, semuanya…..,” ucap Louise lirih dengan tatapan berkaca-kaca.
“Siapa?” tulis Emily  kembali dalam kertas komunikasinya.
Tak ada satu kata jawaban pun dari Louise, ia malah kembali memetik gitarnya. Menyanyikan sebuah lagu kembali untuk wanita di depannya. 
“Mungkin dalam lagu ini ada sebuah jawaban,” pikir Emily  dari dalam hati.
Lagu kedua yang Louise nyanyikan benar-benar menguras emosi mereka. Keduanya hampir meneteskan air mata saat Louise menyanyikan lagu tersebut. Mungkin jiwanya sudah menempel dalam setiap suara yang keluar bersama petikan gitar dari Louise. Semilir angin mengiringi sebuah lagu dari “Killing Me Inside”.

Menyesal

Baru kali ini ku merasa terjatuh
Tak pernah ku menyangka kau tinggalkan aku
Maafkanlah aku selama ini dan kini ku menyesal

Ku takkan bisa tinggalkan dirimu bersama dirinya
Ku takkan mampu lupakan dirimu bersama dirinya

Haruskah ku sudahi perasaan ini (perasaan ini)
Merelakan dirimu pergi selamanya
Maafkanlah aku selama ini (yang telah kecewakan dirimu)
Dan kini ku menyesal

Ku takkan bisa tinggalkan dirimu bersama dirinya
Ku takkan mampu lupakan dirimu bersama dirinya
Maafkan ku sakitimu, lupakan dirimu
Maafkan ku sakitimu, lupakan dirimu
Dan kini ku menyesal…

Hingga petikan terakhir untuk lagu ini, mereka berdua masih kuat untuk menahan tangis harunya. Louise masih belum menjawab pertanyaan dari Emily , seperti mengalihkan pada bahasan lain.
“Kamu bawa harmonika, kan?” tanya Louise. Tak perlu tulisan, Emily  hanya manggut-manggut untuk menjawabnya sembari meraih harmonikanya. 
“Pasti tau lagunya Maliq & D’Essentials yang judulnya ‘Setapak Sriwedari’, kan? Aku minta tolong iringin pake harmonika itu, mungkin bakal lebih indah dengernya…,” pinta Louise kemudian dan kembali Emily  menyetujuinya.
Tak perlu berlama-lama untuk memenggal waktu, Louise langsung kembali memetik gitarnya diiringi oleh nada-nada harmonika milik Emily . Benar, mendengar kombinasi antara gitar dan harmonika dari dua pasang manusia ini membutuhkan tenaga yang cukup karena emosi akan terkuras habis. Louise yang berusaha menahan air matanya, kali ini sudah tak kuasa. Sebuah lagu memori antara dirinya dan dua sahabatnya di kota mereka membuat hatinya bercampur aduk sekarang. Namun, tangisan haru yang bercucuran membasahi pipinya tak menghalangi hingga akhir lagu. Begitu pun dengan Emily , ia tetap melanjutkan dengan rasa penasaran.
“Kenapa?” tulis Emily  dalam kertas komunikasi-nya setelah lagu penuh emosi tadi berakhir.
Louise memberikan sedikit senyuman sembari membasuh air matanya sendiri dengan tangan. “Mungkin terlalu dramatis, kalau aku cerita semua ini…,” ucapnya kemudian.
“Tak masalah kalau kamu berkenan, aku akan mendengarkan… Akan busuk kalau terus terpendam, hatimu yang busuk perlahan…..,” tulis Emily  kembali dengan membalas senyuman Louise tadi dengan senyum penasarannya.
Secara perlahan, Louise memahami ucapan Emily . Dan dengan perlahan pula, ia mulai menjelaskan satu per satu apa yang terjadi pada dirinya. Bahkan Louise pun mengacuhkan posisi Emily  sebagai seseorang yang baru ia kenal untuk membicarakan masalah hidupnya saat ini. Louise yakin, wanita di depannya memiliki hati yang lebih indah dari wajahnya, ia sangat yakin. Panjang lebar Louise menjelaskan semuanya, lancar hingga Emily  pun benar-benar paham.
“Ini yang disebut ujian hidup, berbeda dengan ujian di sekolah yang belum tentu ada jawabannya. Ujian hidup selalu ada jawaban yang benar, jawaban itulah yang menjadi jalan keluarnya. Namun, jawaban itu hanya bisa didapatkan dari pemberi hidup. Sebenarnya mudah untuk mendapatkannya, asalkan ada niat dan komitmen untuk mendekatkan diri kita pada-Nya… Kuncinya, kesederhanaan dan kepercayaan…,” jelas Emily  panjang melalui kertas komunikasinya.
Tulisan Emily  membuat air mata Louise yang sempat berhenti kembali bercucuran, kali ini bersamaan dengan senyumannya. Emily  merasa bersalah atas keluarnya air mata Louise kembali, pikirnya karena kata-kata yang ia tulis tadi. Sehingga, serontak tubuh Emily  terdorong memeluk pria di depannya itu. Erat cukup erat, hingga Louise merasakan nyaman seperti memeluk mamanya sendiri. Hal ini, memberikan sesuatu kenyama-nan pula bagi Louise untuk membisikkan suatu hal pada Emily  dalam pelukan itu.
“Maaf, mungkin aku lancang, aku terlalu tergesa-gesa buat bilang ini semua. Tapi aku takut semuanya terlambat, aku sayang kamu, Emily … Mau nggak kamu jadi pacarku? Sebelumnya maaf banget, tapi aku harap kamu mau…,” bisik Louise dalam pelukan. Mendengar bisikan tersebut, dengan cekatan, Emily  melepaskan pelukannya. Dan tiba-tiba…
PLAAAAKKKKKK!!!
Tangan kanan Emily  melayang hingga pipi Louise, tamparan panas menjadi santapan Louise saat itu.
“Maaf, aku memang bodoh...,” ucap Louise lirih sembari menundukkan kepala dan kembali meneteskan air mata sesal.
Emily  masih tetap tenang setelah tamparan itu. Melihat pria di depannya merasakan panasnya tamparan yang ia layangkan tadi, dirinya seakan tak merasa bersalah. Tangan kanannya menunjukkan gerakan ke atas menuju dagu Louise hingga berhasil menegakkan kepala Louise yang tertunduk sesal tadi. Kini kepala Louise telah tegak sempurna seperti semula, tiba-tiba kepala Emily  maju mendekat, bagian tubuhnya kembali menampar Louise. Tamparan manis kali ini, bukan tangan bertemu pipi, tidak untuk kedua kalinya. Bibir bidadari melayang serontak memberikan ciumannya pada Louise. Sungguh manis, bahkan terlalu manis, entah apa maksud Emily  dan entah bagaimana perasaan Louise saat itu, mungkin seperti mimpi. Ia mendapatkan banyak khayalan nyata hari ini di tempat antah berantah ini.
Di atas luasnya genangan air tenang, kehangatan itu terasa. Di bawah awan tebal selimut mentari, cinta muncul secara tiba-tiba. Hati yang bersatu menancapkan sebuah perasaan yang sama, hingga berhasil menciptakan sebuah romansa yang mengawali lembaran baru dan mengakhiri memori usang pada detik sebelumnya.
“Tamparan itu untuk membalas lancangmu dan kecupan itu untuk membalas perasaanmu. Maaf sudah hadir dalam hidupmu dan maaf sudah memaksamu untuk selalu menjaga hatiku mulai detik ini…. Aku sayang kamu, Louise…..,” tulis Emily dalam kertas komunikasinya, sudah jelas apa maksud tamparan sekaligus kecupan itu, mulai detik itu mereka berhasil menciptakan sebuah judul dalam kisah cintanya. Awal yang indah tanpa sebuah kesengajaan, penuh harapan untuk menorehkan tinta kebahagiaan pada cerita di bawah kisah cintanya kelak.
***
Hari ini mungkin terasa romantis bagi Louise, hingga memiliki niat untuk mengajak Emily makan malam bersama di sebuah kafe yang terletak di Semarang bagian atas. Menurut Louise, melihat panorama Kota Semarang dari atas akan terasa romantic dengan beribu gemerlap bintang yang menghiasi langit malam ini. Apalagi seseorang kekasih yang selalu bersamanya akhir-akhir ini, mau menemani untuk menyaksikan perpaduan cahaya lampu dari bawah dan cahaya bintang di atas yang berhasil menerangi kota kelahirannya.
“Maaf, kak… mau pesan apa?” ucap pelayan kafe sambil memberikan daftar menu kepada Louise.
Louise mengambil daftar menu dari tangan pelayan itu, berulang kali membolak-balik daftar menu, hingga akhirnya menemukan pilihan. “Nasi goreng vegetarian, minumnya Coffee Avocado ya, mbak!” ucap-nya kemudian.
“Satu semua ya, kak?” tanya pelayan kembali.
Mendengar pertanyaan itu, Louise menoleh ke arah Emily. Tanpa kata, Emily memberikan sebuah kertas pada Louise yang bertuliskan singkat, “Sama…”. “Emily memesan makanan yang sama dengan yang aku pesan,” pikir Louise kemudian.
“Dua semua, mbak!” sahut Louise kemudian.
Pelayan itu melongo kebingungan, mengerutkan dahinya melihat Louise. “Dua? Oh dibungkus ya, kak?” tanyanya kemudian.
“Makan disini lah, mbak!” sahut Louise kembali, membuat dahi pelayan itu terus mengkerut, seperti ada yang aneh pada diri Louise. Namun, tak lama pelayan itu menuruti pesanan Louise.
“Aneh…,” gumam Louise.
Mendengar gumaman dari Louise tadi, Emily tertawa kecil sambil menepuk punggung pria yang ia cintainya itu pelan. “Sudahlah, mungkin pelayan itu me-ngira kamu vegetarian yang kelaparan,” tulisnya dalam sebuah kertas komunikasinya.
Louise pun ikut tertawa kecil, hingga akhirnya tawa mereka terpecah. “Sebenernya, aku lebih geli sama ekspresi mbak-nya tadi, melongo kayak abis lihat nilai rapot merah semua aja,” ucapnya kemudian di sela tawanya.
“Lihat nilai rapot merah aja kayak gitu, apalagi lihatin aku…,” ucap Emily dalam tulisan di kertasnya.
Mendengar perkataan Emily, Louise menatap tajam mata sahabatnya itu dengan tatapan yang berbinar-berbinar terpesona, hingga senyumnya mengembang jelas. “Iya, mungkin ekspresi yang sama kayak aku sekarang yang lagi lihatin kamu, kayak lihat bidadari tanpa sayap yang dikirim dari surga…,” ucapnya kemudian. Tatapan itu terpecah, “Eh bentar ya, aku mau ke toilet bentar…,” ucapnya setelah Louise merasakan ingin buang air kecil.
Dalam perjalanan menuju toilet, belum sampai kakinya menapak pada lantai toilet, langkahnya terhenti setelah melihat sosok pria yang duduk di sudut kafe. Itu Arey―teman komunitas fotografinya di Semarang―Louise merubah langkahnya, mendekati Arey.
“Arey!” seru Louise, menyapa.
Arey menoleh ke arah suara yang memanggil namanya itu. “Eh Louise, gimana bro kabarnya?” tanyanya kemudian. “Kok akhir-akhir nggak pernah datang kopdar sih?” tambahnya, bertanya kembali.
“Baik aja sih, ehm… lagi males aja sih,” sahut Louise.
“Oh, jangan-jangan lagi sibuk main Pokopang nih? Kesini sama siapa, Lou?” celetuk Arey dan kembali bertanya.
“Kampret! Emangnya si Taka…,” sahut Louise ketus. “Tengah malem ada notifikasi, aku kira ada apa… Ternyata dia nge-share Pokopang, bangke!” tambahnya kemudian.
Arey tertawa geli mendengar pernyataan Louise, namun ia kembali bertanya pada temannya, pertanyaan yang tadi belum sempat Louise jawab, “Kesini sama siapa? Jangan bilang sendirian lagi…”
“Enggak lah, Rey! Sekarang udah ada gandengan lah…,” ucap Louise dengan memasang muka sedikit sombong.
“Wuih… ngeri… akhirnya!!!” seru Arey setelah terkejut mendengar perkataan temannya itu. “Mana di bawa nggak?” tanyanya kemudian, penasaran.
Louise menoleh ke arah Emily duduk, kemudian menunjukkan kepada Arey itulah yang ia maksud. Namun tiba-tiba Arey berdiri, melongo. “Udahlah bro, woles kali… kayak bidadari kan?” ucap Louise melihat temannya yang melongo itu.
“Anjirrr! Khayal aja lu bisanya, iya bro kayak bidadari… Sampai nggak bisa kelihatan, mana sih?” tanya Arey membuat Louise sedikit kesal.
Louise mendengus kesal. “Itu di antara cowok yang lagi main HP sama bapak-bapak yang pake baju warna hijau,” ucapnya kemudian, kembali menunjuk dimana Emily berada.
“Apaan sih? Yang ada kursi kosong di situ…,” ucap Arey, kali ini membuat Louise sedikit curiga. Namun, rasa curiganya itu terpecah setelah ia sadar bahwa mungkin Arey hanya pura-pura tidak melihat karena masih ingin mengejeknya sebagai jomblo sejati. Di sisi lain, Louise juga tidak bisa menahan lama-lama lagi untuk membuang air kecil. Louise pun bergegas meninggalkan temannya, kini ia benar-benar menuju toilet.
“Ah kampret, jomblo aja pake gaya-gayaan, Lou… Lou…,” gumam Arey sambil tertawa kecil, tak lama ia pergi meninggalkan kafe dengan kejenuhannya.
Setelah dari toilet, Louise cepat-cepat menghampiri Emily yang masih duduk di kursi itu. “Maaf Emy, lama ya nunggunya?” tanyanya kemudian, Emily hanya membalasnya dengan anggukan dan senyuman seperti biasa. Menu yang mereka pesan, tak lama datang juga. Mereka langsung menyantapnya dengan penuh keromantisan seakan pasangan kekasih. Namun, selama itu Louise juga merasakan orang-orang di sekitarnya seperti sesekali meliriknya bahkan membicarakannya. Hal itu membuatnya yang telah menghabiskan makanannya, cepat-cepat untuk membayar total yang ia dan Emily santap. Kemudian, Louise menarik tangan Emily yang juga telah menghabiskan santapannya itu, mengajaknya keluar menuju taman di sebelah kafe.
Saat sudah berada di luar, bahasa tubuh Emily mengisyaratkan bahwa ia menanyakan apa yang terjadi pada Louise, kenapa ia terburu-buru seperti itu? Memahami itu semua, Louise menenangkan sahabatnya, “Nggak ada apa-apa kok, malam mini langitnya indah ya?” ucapnya mengalihkan pertanyaan Emily. Emily menunjuk ke atas. “Coba lihat bintang di sana, mereka selalu bersama.” tulisnya dalam kertas seperti biasa.
“Romantis banget ya,” sela Louise.“Apa kita bisa selamanya bersama seperti bintang-bintang itu?” tanyanya kemudian lirih.
“Lou, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Tapi, perpisahan sebelum kematian pasti ada, tapi bukan untuk selamanya,” ujar Emily dalam tulisannya.
“Bener banget, hanya maut yang bisa membuat selamanya kita berpisah,” tambah Louise. “Aku cuma nggak pengen pisah sama kamu aja, aku berharap kita bisa selalu bersama-sama kayak sekarang ini,” ujar Louise kembali.
“Nggak bisa, Lou! Kita semua punya keperluan hidup masing-masing. Cepat atau lambat keadaan akan memaksa kita untuk berpisah,” tegas Emily dalam tulisannya. “Udahlah Lou, pisah nggak berarti lupa satu sama lain, kan?” tambahnya, Louise hanya menunduk, kemudian Emily memeluk erat pria itu, bermaksud untuk menenangkannya.
Louise berjalan menuju mobilnya kemudian masuk dan kembali keluar membawa sebuah boneka teddy bear. “Emily… aku mau ngomong sesuatu sama kamu…,” ucapnya sedikit terbata-bata sambil menjulurkan tangannya yang menggenggam boneka ke arah Emily. “Mungkin terlalu cepat dan bodoh buat aku omongin lagi, tapi aku takut perpisahan itu akan terjadi di dalam waktu yang dekat ini, aku nggak mau menyesal gara-gara itu,” jelasnya kemudian.
“Kamu mau nggak jadi teddy bear punya ku?” tanya Louise, membuat Emily tercengang.
“Peluk boneka itu kalau kamu setuju, lempar boneka itu jauh-jauh kalau kamu menolak, aku janji nggak akan marah,” sahut Louise menjelaskan, tegas.
Emily terlihat kebingungan dengan perlakuan Louise tadi, “Apa maksudnya? Bukankah selama ini kita udah resmi pacaran? Apa mungkin aku yang terlalu kegeeran?” pikirnya dari dalam hati.
Diamnya Emily benar-benar menunjukkan ke-ajaiban, Louise bisa ikut merasakan bahasa tubuhnya hingga tahu apa yang wanita itu pikirkan saat itu. Akhirnya, Louise menjelaskan semuanya, ia tak ingin keduanya salah paham. “Pasti kamu tahu, awal perjala-nan cinta itu pasti kisahnya membara kayak api yang baru aja dinyalain. Nah, hari ini aku bakal ngulangin kisah itu sama kamu, aku berharap api cinta yang dulu pernah membara, bisa terulang hari ini. Ini semua aku lakuin, karena aku nggak mau kehilangan kamu, Emy…. Sekalian pengen ngasih tau kamu langsung, kalau sampai sekarang ini, perasaanku ke kamu belum luntur, masih persis kayak dulu. Aku nggak mau api itu padam, makanya aku pengen nyalain lagi sekarang. Biarkan malam ini jadi saksi bisu kisah membaranya api itu tepat di hati kita berdua.”
Tercengang dengan haru luar biasa setelah beberapa saat tadi terdiam. Tak lama kemudian, Emily bergerak, ia mengangkat tangannya dan itulah pilihannya, melempar jauh boneka yang Louise berikan kepadanya. Melihatnya, Louise menunduk, hanya bisa pasrah dan putus asa. Namun setelah itu, Emily tak hanya diam, ia kembali menuliskan sesuatu pada kertas komunikasinya. “Maaf aku sudah melempar boneka itu, itu sudah pilihanku. Karena menurutku… jika aku memilih untuk menjadi teddy bear-mu, seharusnya kamu tidak menyuruhku untuk memeluk boneka itu. Kamu seharusnya… menyuruhku untuk memeluk pemilik boneka itu…”
Kembali kejutan untuk yang kesekian kalinya itu benar-benar membuat hati Louise terguncang. Tak hanya itu, setelah Emily menulis pernyataan itu, ia serontak memeluk tubuh pria yang ia cintainya kembali. Dan benar, malam itu menjadi saksi bisu akan terangnya api cinta yang membara kembali seperti pertama kali bertemu dulu.
***
Berjalan cukup lama, seperti kisah cinta manusia pada normalnya. Yang membedakan hanya kata aneh dan gila yang sering Louise dengar dari mulut orang lain saat ia dan Emily sedang bersama. Awalnya, Louise hanya berpikir itu mungkin karena ia sudah lama memeluk status lajang dan tiba-tiba dirinya berpacaran. Namun, lama-lama ia memiliki kejenuhan. Tak heran, apabila lama kelamaan juga Louise mulai curiga, ia mengambil tindakan. Kebetulan, hari ini ia tidak ada janji dengan Emily. Ia telah meminta izin dengan Emily, apabila hari itu ia akan menghadiri kopdar komunitas fotografinya.
Kini, Louise berada di antara segeombolan orang yang memiliki hobi yang sama, fotografi. Namun, tatapannya kali ini masih berputar-putar tak tentu. Seperti mencari seseorang. Tak salah, ia memang sedang mencari temannya, Arey. Ada yang harus Louise bicarakan saat itu juga.
\Putaran bola matanya sudah mulai terhenti pada satu fokus, objek yang Louise cari. Ia merubah arah tubuhnya, bergegas mendekati Arey yang sedang asyik berbincang-bincang dengan temannya. Tanpa berpikir lama, Louise menarik tangan temannya itu ke luar kerumunan.
“Eh Lou, ngapain?” tanya Arey setelah melihat wajah Louise yang serius.
“Rey, aku mau tanya…,” ucapnya terpenggal.
“Langsung aja kali,” sahut Arey menyela.
“Ehm… kenapa ya setiap aku jalan sama Emily, kayaknya orang di sekitar ngelihatnya sinis? Malah ada yang sampai mencibirku, banyak yang bilang aku gila lah… aneh lah…,” tanya Louise masih dalam raut wajah yang serius.
“Wait, siapa Emily?” tanya balik Arey.
“Lah… pacarku Rey, yang pernah aku tunjukin ke kamu waktu di kafe dulu itu…,” ucap Louise dengan nada yang semakin tinggi.
Arey mengerutkan dahinya, memandang Louise dengan kepala yang sedikit miring. “Jadi, beneran waktu itu ada cewek yang kamu tunjukin ke aku? Aku malah ngiranya, kamu bercanda, soalnya abis itu kamu langsung lari ke toilet…,” ucapnya kemudian, sedikit kebingungan.
“Kamu ngomong apa sih? Aku nggak bercanda, Rey!” sahut Louise, semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi.
“Oke, oke, tenang! Gini aja, besok tunjukin lagi aku sama pacarmu itu,” suruh Arey. Louise hanya membalasnya dengan anggukan yang berarti menye-tujuinya. Kebetulan, besok Louise berjanji makan malam bersama kembali di kafe seperti biasa. Memahami karakter Emily yang anti-sosial itu, Louise menyuruh Arey untuk melihatnya dari kejauhan secara diam-diam.
Malam itu pun tiba, kali ini tak ada bintang-bintang yang bergerlapan di langit seperti saat itu, mendung. Louise memulai aksinya setelah ia kembali meminta izin dengan Emily untuk ke toilet. Saat itu, ia menghampiri Arey yang duduk di kursi paling dekat dengan arah toilet. Mengerti apa yang harus ia lakukan, Louise langsung menunjuk kembali ke arah Emily. Namun, lagi dan lagi Arey tidak melihat seorang pun di situ, hanya ada kursi kosong.
“Atau jangan-jangan, cuma kamu yang bisa lihat Emily?” tanya Arey, pertanyaan ini memaksa Louise untuk bertanya balik apa yang temannnya katakana itu.
“Maksudmu?”
“Ehm… iya… mungkin… Emily berasal dari dunia lain, gitu?”
“Kamu kok bilang gitu sih, blah… blah… blah…,” celoteh Louise panjang lebar, namun Arey tak mendengar satu kata pun darinya, Arey sibuk dengan ponselnya sendiri. Walaupun begitu, masih tetap ada hubungannya dengan Louise dan Emily. Matanya tertuju pada menu internet pada layar ponselnya hingga akhirnya ia terdorong untuk menyentuh menu itu. Dengan terampil, jemarinya mengetikkan sesuatu kata kunci dalam address bar. “Emily Reyn,” ketiknya.
“WHAT THE FUCK IS THAT??!!!" serunya di antara kebisingan dalam kafe setelah melihat sepenggal kalimat dalam ponselnya.

“SEORANG AYAH TEGA MEMBUNUH ANAKNYA SENDIRI YANG TUNA WICARA, JASAD EMILY REYN DITEMUKAN DI SEKITAR KOTA LAMA, SEMARANG, JAWA TENGAH.”

Tubuh Arey terasa kaku, ia cepat-cepat menunjukkan itu semua pada Louise. Hanya membutuhkan beberapa detik, Louise yang ikut membaca tulisan itu merasakan hal yang sama dengan Arey. Luar biasa, selama ini ternyata ia mencintai mahkluk dari alam lain.
“Lou, Emily masih ada di sana?” tanya Arey tiba-tiba, lirih.
“Masih, Rey…,” ucap Louise dengan tubuh yang masih gemetar dan kaku itu.
“Coba kamu hampiri dia, coba kamu buktikan berita tadi dengan cermin ini,” suruh Arey sambil memberikan sebuah cermin kecil pada temannya itu.
Mengerti apa yang Arey suruh untuknya, Louise berdri dan memberanikan diri mendekati Emily. Saat ia sudah berada tepat di depan Emily kembali, terang-terangan Louise mengarahkan cermin itu pada mahkluk alam lain yang kini menjadi pacarnya itu. Terlihat jelas di dalam cermin, seorang wanita yang tetap dengan wajah Emily, namun ada banyak perbedaan. Seperti darah yang berlumuran di sekujur tubuhnya dan sebagian tubuh yang seperti telah dipotong. Tak lama, terlihat juga dalam cermin itu, Emily yang menoleh ke arah Louise. Belum sempat menurunkannya, cermin kecil itu tiba-tiba pecah, Emily berlari keluar kafe dan menjauh dari Louise. Saat itu juga, Louise tak bisa menahan air mata sesalnya. Ia masih berharap, ini semua hanya mimpi buruk dalam tidurnya. Sebenarnya, Louise masih sangat mencintai Emily, ia tak sanggup untuk melepaskannya. Terlalu banyak kenangan indah yang ia lalui bersama mahkluk dari alam lain itu.
***
Esoknya, setelah Louise terbangun dari mimpinya, ia dikejutkan oleh suatu kotak yang berada di sebelahnya. Kecurigaan mendorongnya untuk membuka kotak tersebut dan meraih isinya. Boneka teddy bear yang ia berikan kepada Emily menjadi salah satu isi dari kotak itu. Selain itu, ada satu lagi benda di dalamnya, sebuah amplop berisikan surat. Dengan cepat, Louise meraih dan membacanya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------  
Dear Louise Malino,

     Terima kasih, untukmu manusia yang selama ini memberi kenangan dalam kesendirianku di sini. Maaf, aku sudah pernah mengisi satu karakter maya dalam hidupmu. Aku hanya wanita tuna wicara yang tidak berguna dan hanya bisa memenuhi dunia ini, mungkin ayahku sudah melakukan yang terbaik untukku. Maaf untuk kebohonganku selama ini. Aku bodoh, seharusnya aku tidak melakukan semua ini. Andai waktu itu kamu tahu, aku pernah mengatakan jika ingin seperti kamu, sebenarnya bukan berarti aku ingin bisa bicara normal sepertimu, melainkan aku ingin hidup dan mersakan dunia nyata kembali yang penuh dengan cahaya. Aku juga pernah mengatakan, aku tinggal di dekat rumahmu, tapi kamu nggak pernah tahu dimana rumahku. Sebenarnya, rumahku ada di pemakaman dekat rumahmu. Itu semua aku lakukan, karena aku takut kehilangan kamu. Sekali lagi aku minta maaf dan terima kasih sudah mengijinkanku untuk menjadi teddy bear-mu saat itu... Sebenarnya, aku tau semua masalahmu. Disini, aku hanya ingin membantumu untuk mencari cinta semu di tengah pelampiasanmu dari wanita bernama Keyla Siregar.......

Dari wanita yang dulu kamu sebut aneh,
Emily Reyn.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------- 
Tulisan terakhir Emily itu, berhasil memaksa Louise untuk mengeluarkan air matanya kembali. Hati yang antah berantah mengawali harinya saat itu. Semuanya tinggal kenangan, Emily hanya ada dalam dimensi lain yang sejajar dengan dimensi nyatanya.
“Benar katamu, hanya perpisahan dengan kematian yang bersifat selamanya…,” gumam terakhir Louise dalam skenario kisah cintanya yang terlihat mustahil dengan logika.

O -------- ### -------- O

Percaya atau tidak, kisah cinta antara Louise dan Emily itu hanya ada dalam khayalan seorang penulis yang bernama Keyla Siregar. Semuanya, Keyla yang mendalangi bahkan mengetahui alurnya dalam sebuah tulisan. Skenario sudah ada dalam otaknya. Dengan memberikan satu nama tokoh seperti namanya sendiri, Keyla bisa lebih merasakan dunia ciptaanya dalam sebuah tulisan itu. Keyla Siregar, penulis muda yang baru saja tervonis kanker otak bahkan dokter memperkirakan usianya hanya bertahan pada malam tahun baru ini.

Hal itu benar terjadi, sekarang keadaanya kritis. Dokter sudah menyerah, namun ada suatu keajaiban kecil sebelum ia harus meninggalkan dunia. Rena berhasil mengatakan dua penggal kalimat harapannya selama ini.

 “Aku berharap tulisan tentang Louise dan Emily ini menjadi tulisan yang terakhir dalam hidupku…,” ucapan harapannya yang pertama, tak lama ia juga mengucapkan harapan keduanya atau bisa dikatakan harapan terakhirnya. “Jikalau aku bisa hidup lebih lama, aku ingin menjadi karakter seperti Emily Reyn. Aku ingin sekali membantu orang-orang sekitar untuk bekalku menuju surga.”

Electrodiogram denyut jantung Keyla menunjukkan garis lurus, seiring dengan riuh suara terompet dan petasan yang berlomba-lomba menandakan bahwa tahun baru baru saja terlewati.

THE END 
-----------------------------------

-baws-

Sunday 24 August 2014

Kleine-Levine



Monoton. Mungkin tidak untuk hari ini, hari di mana guru kelas menulis telah menjanjikan untuk mendatangkan alumni wanita untuk menyampaikan sedikit presentasi untuk adik kelasnya. Levine Roosevelt memainkan jemarinya dengan ketukan berirama dari kelingking hingga ibu jari pada mejanya sembari menunggu janji gurunya. Tubuhnya tersentak setelah mendengar bel masuk berbunyi. Bersamaan akhir bunyi bel, suara ketukan hak sepatu gurunya terdengar. Ah, ini dia.

Wanita paruh baya hadir seperti biasa, membawa kamus tebal dan peralatan menulis lainnya. Wajah Nyonya Rosemary terlihat kusam hari ini, mungkin itu sebuah alasan. Yang membuat curiga, ia tak langsung duduk pada kursinya, melainkan langsung berdiri dan terlihat akan mengucapkan sesuatu. Itu aneh, tak biasa. Levine berharap itu bagian dari janjinya.

“Selamat pagi, selamat menagih janji,” ucap Nyonya Rosemary tiba-tiba, wajar saja peserta kelas menulis bergumam tak jelas. Mereka sibuk dengan ucapan gurunya yang aneh, masing-masing mulut mereka bergumam dengan inti yang sama, ‘janji apa?’

Berbeda dengan Levine yang hanya tersenyum tenang setelah mendengar ucapan gurunya, ia paham dan masih menikmati kerutan pada kening teman-temannya. Saat tersadar Nyonya Rosemary sedang memperhatikan senyumnya, Levine terkesiap. “Janji mendatangkan alumni untuk presentasi, bukan?” tanyanya kemudian. Seketika gumaman teman-temannya terhenti, kini berbalik lagi dengan gumaman lain, ‘oh itu…’

Nyonya Rosemary tersenyum. “Ternyata penyakit pikun sudah tak berbanding lurus dengan umur, ya?” tanyanya kemudian, menyindir. Sebelum ada satu pun yang menjawab, Nyonya Rosemary mengalihkan sindiran itu dengan berjalan keluar dan terlihat menjemput seseorang. “Mari masuk, Nak!”

Terlihat wanita dengan gaya pakaian ‘vintage elegan’ mengekor Nyonya Rosemary. Levine tertegun melihat kulit putih segar, bibir dengan polesan merah muda dan mata yang tak begitu lebar serta bulu matanya yang lentik. Terlihat sederhana dengan pesona yang mengagumkan.

“Mari perkenalkan, ini dia alumni yang saya janjikan. Namamu siapa?”

“Ehm… panggil saja Kleine. Salam kenal,” ucap wanita itu sambil membungkukan badan hingga kembali semula. “Di sini saya hanya akan mempresentasikan tentang tata cara penulisan karakter.”

“Okay, kalau begitu saya pamit ada urusan, saya serahkan semuanya pada Kleine,” sela Nyonya Rosemary sembari menepuk pundak Kleine dan berjalan meninggalkan kelas.

Ah, benar wajahnya yang kusam itu beralasan, berhubungan dengan janjinya, mungkin dia kelelahan hari ini. Ya sudah, yang terpenting janjinya telah ditepati. Tak hanya itu, alumni yang dihadirkannya pun menjadi bonus cuci mata.

Cuci mata?

Apa yang ia pikirkan? Bukan untuk itu! Kleine tak pantas dikatakan seperti itu. Lah, kenapa? Biasanya juga setiap ada wanita cantik, Levine langsung memiliki pemikiran itu. Aneh. Tapi memang ini kenyataan, rasanya Kleine memang tak seperti wanita-wanita lainnya. Entahlah, Levine bisa sangat yakin itu.

Pemikirannya terbuyarkan setelah wajah elok di depan kelas menyadarkannya dengan memenuhi bayangan dirinya pada bola mata Levine. Presentasi dimulai. Semua teman-teman sibuk dengan materi yang diberikan oleh Kleine, sedangkan Levine malah sibuk memandangi mata serta bibir yang bergerak hingga mengabaikan hasil gerakan bibir itu. Kleine, kau seperti bunga melati yang baru mekar, pikirnya antah berantah.

“Ada yang ingin ditanyakan?”

Gary Wijaya―sahabat Levine sejak kecil yang memiliki darah Indonesia - Spanyol―mengacungkan telunjuknya. “Kau alumni, sudah berapa buku yang kau tulis?” tanyanya kemudian, seperti biasa, pertanyaan tak bermutu. Ia memang kadang menjengkelkan.

“Tiga buku…,”

“Cuma tiga? Alumni cuma punya tiga buku? Harusnya kau tak mengajar di sini. Lihat, temanku Levine sudah menulis lima buku, kau tak pantas mengajar!” sahut pedas Gary sembari menunjuk Levine, terdengar gila ucapannya itu. Ada apa dengannya?

Levine tersentak untuk kedua kalinya hari ini, ia merasa tak enak hati dengan Kleine. Keningnya berkerut setelah melihat telunjuk Gary yang mengarahnya. “Apa-apaan kau? Aneh sekali hari ini…”

“Dia tak pantas mengajar penulis seperti kita, Lev!”

“Siapa yang mengajar? Bukannya dia hanya memberikan presentasi?”

“Tidak, aku dengar dari Nyonya Rosemary bahwa Kleine akan mengajar kita satu minggu ini, kita dirugikan!”

Apa? Kleine mengajarnya selama seminggu? Gary sialan, dia bisa membuat Kleine memandang buruk kelas ini. Ini harus dihentikan, ia harus melakukan sesuatu. Ah iya…

“Okay, okay… Kita taruhan! Kita tantang Kleine untuk menulis dua novel dalam enam bulan, berani?” tantang Levine pada Gary, ia masih merasa tak enak hati dengan Kleine dan juga tak yakin dengan jangan keluarnya ini.

Gary tertawa dengan angkuh. “Aku yakin, tak akan selesai, kalau pun selesai juga tak bermutu hasilnya,” cibirnya kemudian. “How, Kleine?”

Sontak Levine mengalihkan pandangannya pada Gary menuju Kleine, ia mendapati wanita itu terlihat ragu-ragu dan masih malu. Seperti ingin mengucapkan sesuatu kemudian mengurungkan niatnya kembali. Dengan cekatan, Levine berjalan menuju Kleine. Terlihat dari belakang, Levine mengucapkan sesuatu lirih pada wanita itu yang tak terdengar oleh teman-temannya. “Bilang saja kau setuju.”

“Tapi…,” sahut Kleine lirih ragu-ragu.

“Aku kenal Gary dari kecil, dia memang menjengkelkan, butuh waktu lama untuk memahami karakternya. Sudah, lakukanlah… Yakin saja kau bisa, aku akan membantumu…,” sela Levine, ia berusaha menenangkan Kleine dan memberikan kepercayaan padanya.

Dari belakang, tiba-tiba Gary menepukkan tangannya tiga kali, mereka berdua tersentak. “Sudah diskusinya? Jadi, berani atau tidak?” tanyanya sembari tersenyum angkuh.

Saat Levine hendak menatap wanita itu kembali, nada sedikit tinggi wanita itu berhasil membuatnya tercengang. “Berani!” Akhirnya Kleine percaya padanya, cukup lega. Pertemuan dengan wanita ini sederhana, namun memiliki kisah berharga untuknya. Berharga? Ah, terlalu berlebihan.

***

Selama satu minggu Kleine mengajarnya, Levine merasakan kenyamanan untuk terus belajar menulis. Ini hari terakhirnya Kleine untuk masuk pada kelas itu dan Levine baru menyadarinya. Senyuman yang terus mengembang selama pelajaran yang diterangkan oleh Kleine, kini berubah menjadi kecut atas kesadarannya. Ia merasa Kleine terlalu cepat untuk mengajarnya di sini. Ia harus melakukan sesuatu, memutar otaknya kembali hingga bel tanda berakhirnya pelajaran pun berbunyi. Terlihat dan terdengar dari depan, Kleine berpamitan dan memohon maaf atas apa saja darinya untuk kelas selama ini. Anehnya, Gary tak menyinggung janjinya. Mungkin dia sedang malas berbicara, Levine tetap harus membantu Kleine menepati janjinya.

Levine berlari kecil menghampiri wanita itu yang sedang berjalan meninggalkan kelasnya. Ia menghentikan langkah Kleine dengan menepuk pundaknya. “Hei,” sapanya. “Terima kasih untuk wawasannya selama ini,” ucapnya canggung, memaksakan senyum.

“Tak perlu, itu sudah tugasku,” ucap Kleine sembari tersenyum ramah. Ah, gila senyum ini hadir di depan mata Levine. Melayang. Errrr… Gila kau, sadar! Memalukan.

Setelah berhasil mengontrol pikirannya, Levine kembali angkat bicara. “Masih berani, kan?” tanyanya, berniat mengingatkan tantangan itu.

“Mm? Oh…,” Terdengar secuil ucapan Kleine, sepertinya ia sendiri hampir lupa dan seketika mengingatnya kembali dan meneruskannya dengan anggukan kepala, menandakan bahwa Kleine masih mengingatnya.

Tanpa sadar Levine mengelus dada, lega. “Baguslah. Kau ada waktu malam ini?” tanyanya kemudian, Kleine hanya memandanginya ragu. “Ehm, maksudku… Aku ingin mengajakmu makan malam di restoran pamanku sekaligus membahas novel itu. Kau mau?” jelasnya kemudian, tentu saja Levine mengharapkan jawaban ‘iya’ dari Kleine.

“Di mana?”

“Oh, kemari…,” Levine menarik pelan lengan wanita itu hingga berjalan ke luar dari tempat kursus menulisnya. Langkahnya terhenti, tangannya yang masih menggengam lengan Kleine mulai melepaskannya dan menunjukkan suatu gerakan. “Di sana,” ucapnya sembari menunjuk restoran di sebrang tempatnya berdiri. Ia masih menunggu jawaban dari Kleine.

Tak ada jawaban iya, namun tetap membuat Levine seperti mendapatkan jawaban itu. Ternyata ia mendapati Kleine menganggukan kepalanya, terlihat penuh ambisi, namun entahlah jika hanya perasaan Levine saja.  Seketika Levine membayangkan apa yang akan terjadi nanti malam sembari mengantar Kleine mencarikan taksi.

“Serius tak mau kuantar pulang?”

“Terima kasih, itu sudah ada taksi,” tolak halus Kleine, masih dengan senyum ramahnya.
Peristiwa sopir membuka pintu taksi dan Kleine masuk sebagai penumpang hingga membuka sedikit jendela pada taksi itu sembari mengucapkan selamat tinggal dan sampai berjumpa nanti malam menjadi pertemuan terakhir pada siang itu. Sungguh tak menyangka, Levine bisa sedekat itu dengan wanita sederhana seperti Kleine. Sederhana di mata, sempurna di hati lebih tepatnya.

*

“Di mana Kleine? Apa ia melupakan janjinya?” gerutu Levine sembari mengaduk-aduk kopinya. Tak lama, ia meraih sesuatu dalam saku. “Astaga, aku lupa minta nomornya, bodoh!” sadar Levine, mengutuk dirinya sendiri.

Saat hendak mengaduk-aduk kopinya kembali, wanita yang membuatnya uring-uringan hadir di depannya. Astaga, sejak kapan Kleine berada di depannya? Kenapa seperti hantu begini? Gila, kalau dia tahu Levine sedang uring-uringan menunggu kedatangannya.

“Ehm… Hei, sudah datang sejak kapan?” ucapnya memperbaiki keadaan.

Sebentar, Kleine terlihat berbeda malam itu. Biasanya, ia selalu berpenampilan vintage, kali ini ia tampil beda dengan kacamata-nya. Ia terlihat seperti kutu buku, sejak kapan Kleine memakai kacamata? Baru kali ini terlihat seperti itu. Ah, penampilan saja pakai dipikirkan, memang dasar ribetnya dirimu, Levine.
“Hai…,” sapa Kleine, canggung. Aneh. “Oh, baru saja. Boleh aku duduk?”

Levine terlihat bodoh setelah sadar ia belum mempersilakan wanita itu untuk duduk, salah tingkah hasilnya. “Eh… eh… iya, duh lupa… Silakan duduk, Kleine…,” ucapnya sembari melayani Kleine untuk menghadapkan kursinya hingga mempersilakan duduk.

“Mau minum apa?”

“Avocado Float.”

Tangan Levine melambai, memanggil pelayan, kemudian memesankan minuman itu untuk Levine. Ia masih terlihat seperti budak malam ini. Tak apalah.

“Jadi bagaimana?”

“Apanya?”

“Lah, novel itu…”

“Mm, ohh…”

Mereka telah menemukan topik untu perbincangan sekarang. Sebagai penulis, mereka tak akan pernah bosan apabila membahas tentang tulis menulis. Hingga mulutnya kering pun tak terasa mungkin. Wajar saja, jika membahas suatu cerita, penulis seperti memasuki semesta yang ia ciptakan sendiri. Bagaimana tidak betah? Nyatanya, sudah berjam-jam mereka mengoceh hingga lupa waktu. Akhirnya, tepat dua jam berlalu, Levine menemukan kesimpulan. Hingga mereka mendapatkan apa yang dicarinya. Sebuah alur novel lengkap dengan ending sudah menancap pada otak mereka sekarang.

Di sisi lain, Levine mendapatkan suatu perbedaan selama dua jam itu. Ia merasa seperti tak berbicara dengan penulis melainkan pendengar. Malam ini, Kleine cukup pendiam. Wanita itu hanya mengomentari sedikit alur yang Levine jelaskan. Tak seharusnya alumni kelas menulis seperti itu. Mungkin Kleine sedang tak enak badan, terlihat semenjak pertama datang hingga sekarang ia terlihat tak nyaman duduk bersama Levine.

“Kau kosong lagi kapan?”

Kleine terkesiap mendengar pertanyaan itu. “Ehm… tak tau,” ucapnya. “Levine…,” panggilnya secara tiba-tiba. “Aku akan pergi ke Jerman besok pagi,” ucapnya kembali.

Tercengang. Itulah yang dirasakan Levine sekarang. Jantungnya seperti berhenti berdetak. “Kau bercanda, kan?”

“Tidak, aku pergi ke sana enam bulan karena ada project mendadak dengan teman-temanku, aku tak bisa menolaknya, semoga kau paham itu…,”

Mulutnya masih kaku, hingga akhirnya Levine membiarkan Kleine pergi, walaupun wanita sempat mengucapkan janjinya untuk menyelesaikan novel itu dan menemuinya di tempat ini. Selesai sudah pertemuan bahagia yang dengan akhir sesal.

*

Enam bulan berlalu, pertemuan itu menyimpan rasa haru yang terpaksa untuk disembunyikan. Levine terlihat sangat berambisi, ia juga mengatakan pada Kleine bahwa Gary sudah melupakan hal janji itu. Ia tahu, karena Gary sudah pindah rumah dan sudah tak berhubungan lagi dengannya. Namun, Levine yang akan menagihnya, ia malah merasa itu menjadi janji Kleine padanya. Seketika, Kleine terdiam, ia menyuruh Levine mengantarnya pulang, pasti ada sesuatu.

Benar, tepat di depan rumah wanita itu, Levine mendapati air mata yang jatuh dari mata Kleine. Ia kebingungan, sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi padanya? Kenapa ia kikuk seperti ini, hanya bisa menepuk-epuk kecil punggung Kleine dan memeluknya.

“Levine…,” ucap Kleine dalam tangisnya.

Levine sontak melepaskan pelukan itu perlahan, kemudian menatap mata Kleine yang terus bercucuran air mata. Tak jarang ia menghapus air mata itu.

“Kau tahu, wanita penulis yang menjadi gurumu saat itu sebenarnya bukan aku,” ucap Kleine kembali masih dalam tangisnya.

“Apa maksudmu?”

“Kleine itu benar-benar namaku, namun aku bukan wanita yang menyebut diriku dengan nama itu pertama kali di depan kelasmu,” jelas Kleine, masih ambigu.

“Hah? Lantas?”

“Aku punya kembaran, ia mengidap penyakit Sindrom Kleine-Levin, kau tau?”

Kening Levine mengerut, ia tak memiliki wawasan luas tentang jenis-jenis penyakit, apalagi namanya bisa kebetulan seperti itu, seperti penyakit rekayasa baginya. “Tak tau, bisa kau jelaskan?”

Penyakit syaraf langka dimana penderita tidak bisa mengontrol rasa kantuknya. Penderita bisa tertidur selama berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bisa berbulan-bulan, tergantung pada berapa lama penyakit itu muncul atau kambuh. Satu penjelasan itu masuk dalam otak Levine, wawasan bertambah bersamaan rasa sakit hatinya yang hadir saat itu juga.

“Nama aslinya Cleo, dia masih dirawat di Jerman saat ini, bersama temanmu yang mungkin kau tak akan percaya bila dia kekasihnya,” ucap Kleine kembali, kali ini membuat Levine penasaran.

“Siapa?”

“Gary Wijaya.”

Terkutuk. Otaknya semakin gila, berbagai perasaan bercampur aduk saat itu juga. Ia tak paham dengan dirinya sendiri. Ya Tuhan, ia mengharapkan ini hanya mimpi atau skenario film. Ah, Levine belum bisa menerima kenyataan begitu saja. Semua butuh proses.

“Dan kau tahu, mengapa Gary menantang Cleo saat itu? Cleo yang menyuruhnya. Sebenarnya Cleo tak ingin mengajar kelas itu, ia takut penyakit itu datang secara tiba-tiba. Akhirnya, kau malah menghambat, untungnya semua berjalan bersih hingga penyakit itu datang kembali tepat waktu.”

Baru kali ini Levine selemah itu. Ia mendapati air matanya yang tak tertahankan, jatuh melinangi pipinya perlahan. Memalukan, kutuknya. “Andaikan dia tak tertutup dan andaikan aku tahu dari awal, aku tak akan menyentuhnya. Mungkin saat ini aku terlanjur mencintainya…,” ucapnya secara tiba-tiba dan tanpa sadar.

Dan tiba-tiba…

“Andaikan tak berakhir dengan kata ‘andaikan’, aku juga mencintaimu, Levine…,” suara lirih itu muncul dari belakang Levine, wanita yang sama persis dengan wanita di depannya. Hampir tak ada yang membedakan.

“Cleo…” ucap Kleine dan Levine secara bersamaan, matanya terbelalak melihat seseorang yang sedang dibicarakan.

“Aku sudah di sini sekarang, maaf telah berbohong kepadamu, aku hanya tak ingin orang lain mengetahui tentang penyakit ini,” ucap Cleo. “Dan tentang nama itu, aku suka jika dipanggil seperti nama kakakku, hal itu yang bisa membuatku tak takut menghadapi penyakitku yang bernama sama juga.”

Serontak, Levine memeluk erat Cleo. “Aku paham itu, aku merindukanmu…,” bisiknya. “Dimana Gary?” tanyanya kemudian.

“Aku sudah memutuskan untuk tak berhubungan kembali dengan orang lain, penyakit ini tak akan membuat kekasihku bahagia…,” jelas Kleine sembari melepaskan pelukan itu perlahan. Terlihat ia sibuk mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Buku tebal digenggamnya sekarang. “Maaf aku hanya bisa menepati satu janjiku,” ucapnya kemudian sembari menunjukkan buku itu pada Levine.

“Enam ratus halaman lebih? Ini sudah termasuk total halaman dua buku biasa. Lantas, kapan kau bisa menulis semua ini?”

Cleo hanya tersenyum. “Sudah kutulis sejak dulu, tapi aku tahu penutupnya, hingga kau hadir menjadi sebuah penutup dalam buku ini. Butuh waktu sebulan saja untuk menuliskannya kembali dengan rapi.”

Levine hanya bisa terkagum-kagum dengan penulis di depannya. Beberapa detik ia memandangi buku dengan judul ‘Kleine-Levine’ pada genggamannya. Hingga kembali lagi menatap mata yang selalu membuatnya rindu pada sosok Kleine di kelasnya waktu itu. Serontak, wajahnya mendekat pada wanita itu, hingga Cleo membiarkan Levine mengecup hangat bibirnya. Selamat telah sembuh dari penyakit aneh itu, Cleo!


   THE END
-----------------------------------
-baws-

Black Moustache