Adakah
senja tanpa terbenamnya mentari? Adakah hari-hari tanpa perubahan detik?
Mungkin itu khayal, hanya ada dalam otak pria bernama Louise Malino.
Rintik gerimis mewarnai malam Louise di kota ini. Sebuah potret kehampaan seakan memberi arti
tersendiri di malam itu. Bangunan-bangunan klasik berjejeran menjadi objek yang
tepat untuknya. Masih seperti terakhir kalinya disini, Louise seperti sudah
memiliki tempat yang khas di Semarang―kota tempatnya lahir dan tempat tinggal
nenenknya sekarang―untuk mengakhiri lembaran lamanya bersama sang kekasih walau
hanya sebuah skenario perpisahan, warga sekitar sering menyebutnya Kota
Lama―suatu kawasan di Semarang yang menjadi pusat perdagangan pada abad 19-20.
Sendiri yang indah, ditemani
barang baru dengan memori lama miliknya. Kamera polaroid yang dibelikan
ayahnya, kini menjadi sahabat dalam kesendirian. Bukan kamera itu yang memiliki
memori, melainkan cara penggunaannya. Dulu, seseorang yang telah mengajarkannya
musik pada Louise juga sempat mengajarkan sedikit hobi miliknya―Keyla Siregar.
“Memotret adalah tentang
mengabadikan memori kehidupan,” itulah kata-kata Keyla yang selalu ia ingat
sampai sekarang. Dan itulah yang membuatnya penasaran untuk mencoba belajar
pada wanita itu. Sama dengan musik, Keyla mengajarkan Louise dengan penuh ketulusan
melebihi seorang guru yang mendapatkan gaji setiap pertemuan.
Mata kanannya sejajar dengan
lensa kamera polaroid. Berputar-putar mencari objek lain, hingga fokusnya
terbuyar dengan suara petasan yang mewarnai langit. Suara yang mengingatkannya
dengan hari ini, hari dimana manusia berbondong-bondong menguatkan diri untuk
tidak memejamkan mata hingga tengah malam dan berganti hari―tahun baru.
Tatapannya ke atas diiringi dengan senyuman dan melangkahkan kakinya
menuju arah petasan itu dinyalakan. Senyumnya tambah mengembang setelah melihat
sosok wanita yang menyalakan petasan itu. Namun, perlahan-lahan ekspresinya
berubah saat tatapannya melihat raut wajah wanita itu. Tak paham, sangat aneh,
hatinya bertanya-tanya, “Apa yang sedang dilakukannya? Mengapa wanita itu
menangis?” Ia menutup pertanyaannya sendiri, mendekati wanita di hadapannya
itu. Langkahnya terhenti, tangannya mulai meraih kameranya kembali, wanita aneh
menjadi objek terakhirnya saat itu. Pulang. Tidak ada yang spesial di akhir
tahun ini, sudah biasa baginya.
Beberapa jam lagi, mungkin sang
fajar sudah akan terlihat di ufuk Timur. Namun, Louise masih berkutat di atas
tempat tidurnya, sibuk dengan hasil jepretannya yang sudah tercetak rapi di
hadapannya. Gelisah, mencari foto wanita aneh tadi yang tidak ada di galerinya.
Mustahil. Kebingungan hingga akhirnya tertidur.
Sleep Paralyze―kelumpuhan tidur
yang merujuk pada keadaan ketidakmampuan bergerak ketika sedang tidur ataupun
ketika bangun tidur. Rasanya sesak napas seperti ada yang mencekik, dada sesak,
badan tidak bisa bergerak dan sulit bersuara. Wajar saja, Louise masih dalam
keadaan gelisah dan fisik yang sedang kelelahan, kekurangan tidur. Otaknya
sudah siap untuk bekerja kembali, namun tubuhnya masih belum siap untuk
melakukan itu semua. Hal itulah yang menyebabkan apa yang Louise rasakan selama
beberapa detik tadi.
Setelah sadar, matanya langsung
terbelalak, tubuhnya terguncang, detak jantungnya berdebar-debar. Hal itu sudah
sering terjadi pada dirinya, matanya belum siap untuk melihat dunia, hingga
akhirnya ia tertidur kembali. Kali ini, mimpi aneh menghantuinya. Gelap,
perlahan-lahan timbul percikan api di dalam kegelapan itu. Percikan api yang
terus menyala, pelan-pelan membentuk wajah seseorang dalam mimpinya. Wanita
itu… Louise tersadar dari tidurnya, mimpinya terpenggal, tubuhnya terpental
dari tempat tidurnya. Hanya mimpi, pikirnya.
Pagi yang cerah di antara kicau
burung dan ayam berkokok yang berlomba-lomba memberi nada di awal hari itu.
Liburan awal tahun. Monoton, tidak ada kegiatan yang harus Louise lakukan hari
itu. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan di dekat
rumah nenekya. Perpustakaan bersejarah baginya, dari saat kecil hingga sekarang
masih ada, malah penjaganya yang sudah sering berganti. Mungkin tempat itu
cukup untuk mengisi harinya.
Di depan rak buku, bola matanya
berputar-putar, tangannya menjamah buku-buku yang tertata rapi di dalamnya.
Novel berjudul "The Notebook" milik penulis tersohor―Nicholas Sparks―mengalihkan perhatiannya.
Tangannya yang semula hanya menjamah, kini mulai menarik buku itu. Kursi kosong
di sudut perpustakaan menjadi tujuannya berlabuh saat ini. Lembar demi lembar
ia baca, cerita yang menarik, sesuai genre kesukaannya―cinta dan misteri.
Mulutnya yang bergumam membaca kata-kata dalam novel itu mulai terhenti setelah
Louise mulai merasa jenuh untuk menunduk. Ia mengangkat kepalanya dan sedikit
merefleksikan tubuhnya dengan mengolet. Louise membenahi posisi duduknya
sembari mengucek matanya yang tertutup saat mengolet tadi. Saat perlahan-lahan
terbuka, tiba-tiba ia dikejutkan dengan manusia yang duduk di depannya dengan
novel yang sama dalam genggamannya. Manusia yang sama dengan yang ia temui saat
di Kota Lama dan dalam mimpinya pagi tadi―wanita aneh Louise menyebutnya.
“Kamu…,” sapa Louise.
Wanita itu menoleh ke arah Louise,
tanpa kata. Tatapannya seperti mendorongnya untuk menyapa kembali bahkan
memberikan pertanyaan lain.
“Kamu yang tadi malem di Kota
Lama itu, kan?” tanya Louise. “Ehm… kenalin, namaku Louise Malino, panggil aja Louise,”
tambahnya, memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangannya kea rah wanita itu.
Wanita itu pun meletakkan novel
dari genggamannya, menyambut tangan Louise sambil menganggukkan kepalanya dan
memberi senyuman kecil. Setelah melepaskan tangan Louise dari genggamannya,
wanita itu meraih pensil dan kertas dalam sakunya.
“Namaku Emily Reyn,” tulis wanita
itu dalam kertasnya.
Louise tercengang, “Emily …
kamu…,” ucapnya terpenggal. “Mungkin Emily seorang tuna wicara, aku tak
perlu menanyakannya lagi,” pikir Louise kemudian. “Kamu tinggal di deket sini?”
tanyanya, mengalihkan pertanyaan awalnya.
Emily mengangguk dan
memberikan senyuman kembali kepada Keyla. Wajahnya cukup khas, bentuk matanya
yang ikut tersenyum saat ia tersenyum mengalihkan perhatian Louise selama itu.
“Berarti kita tetanggaan dong,
dimana rumahmu?” tanya Louise kembali, namun kali ini Emily tidak
menjawab sama sekali, ia hanya menatap tajam mata Louise hingga seakan-akan
menyadarkannya untuk mencari pertanyaan lain yang tidak terlalu lancang seperti
itu.
“Hmm, maaf… Boleh aku berteman
sama kamu?” tanya Louise kembali untuk mengganti pertanyaan tadi.
Lagi dan lagi Emily hanya
mengangguk dan kembali memberikan senyuman manisnya pada Louise.
Louise memberanikan diri untuk
bertanya kembali, “Boleh aku tanya tentang tadi malam, kok kamu nangis,
kenapa?”
Emily meraih pensil dan
kertasnya kembali. “Aku ingin seperti kamu…” tulisnya dalam kertas itu.
“Oh…,” balas singkat Emily , ia
berpikir pertanyaan yang ia lontarkan salah kembali, terlalu lancang. Louise memahami
apa yang Emily maksudkan. “Emily ingin menjadi bisa berbicara
normal sepertiku,” pikirnya.
Perbincangan pun terus berlanjut
hingga Louise melupakan tujuan awalnya mengunjungi perpustakaan itu. Jarum jam
terus berputar. Seiring berputarnya jarum jam, Louise dan Emily menjadi
lebih dekat. Louise merasakan adanya perbedaan dalam diri Emily dengan
wanita-wanita lain yang pernah ia kenal, ia pun terkadang merasa cocok dengan
karakter Emily walaupun mereka sulit untuk berkomunikasi, membutuhkan
waktu lebih lama.
Keadaan berbalik setelah Louise menyadari
ini bukan kebebasan bahkan dunia baru yang jauh dari semesta. Dirinya masih
berhutang dengan seseorang dan berjanji dengan yang lainnya. Disini bukan untuk
liburan dan tidak boleh menjadikan beban. Harus tetap tenang untuk menjalankan
misinya. Menjauh dari wanita tercinta. Mengingat kata terakhirnya, Louise sempat
berpikir, “Apa mungkin Emily wanita yang tepat untuk masuk skenario ini?”
hatinya bertanya-tanya dengan ketidaktegaan yang ia rasakan terhadap bidadari
tuna wicara di depannya. Tak yakin, semakin gelisah.
Goresan kebimbangan Louise terekam
dalam setiap langkah barunya di Kota Semarang. Setiap langkahnya akan menjadi
sebuah memori yang mungkin tak akan terulang kembali apabila dirinya tak segera
mengambil keputusan yang terbaik. Dilema, hari-harinya dipenuhi
kegelisahan.
***
Hubungan Louise dengan Emily
semakin terasa dekat. Walaupun begitu, sampai sekarang Louise belum
pernah memberikan kontak apapun untuk berkomunikasi dengan Louise. Hal
itu membuatnya harus bertemu untuk bisa melakukan komunikasi. Dan selama itu
juga, Louise mulai terbiasa dengan hal-hal aneh dari diri Emily . Salah
satunya, Emily hanya ingin bertemu dengan Keyla di tempat yang sepi, yang
hanya terdapat segelintir manusia di dalamnya. “Emily Reyn adalah manusia
anti-sosial terindah yang pernah kukenal…,” pikir Louise. Karena itulah Louise tetap
menuruti permintaan Emily . Mungkin karena dirinya sudah mulai terhipnotis
dengan wanita yang ia sebut aneh saat pertama kali bertemu itu. Dalam pikirannya
saat ini, “Cinta datang tiba-tiba, namun juga bisa pergi tiba-tiba.” Itulah
yang membuat Louise untuk tidak menyatakan perasaanya pada Emily dengan
tergesa-gesa. Pelan tapi pasti. Ia masih betah dengan status persahabatannya
saat itu. Apalagi jika mengingat di sudut lain ada Keyla , ia masih belum bisa
melupakan wanita itu.
Senyuman mentari semesta
mengantarku untuk membuka mata dan melangkahkan kaki untuk beranjak dari tempat
tidur lusuhku ini. Sinarnya yang belum begitu terang memberi tarikan maya pada
tanganku hingga tubuhku terdorong untuk menginjak beranda rumah nenek. Belum
sempat menginjak lantai beranda, samar-samar dari kejauhan telingaku mendengar
suara harmonika dengan nada-nada yang beralun sejuk. Tubuhnya semakin tertarik
untuk melangkahkan kakinya yang sempat terhenti, bergegas keluar dari ruang
tamu menuju sumber suara itu.
Semakin dekat, semakin terdengar
nyaring nada-nada indah itu. Saat matanya sudah menemukan sumbernya, tatapan
seakan-akan melihat kumpulan emas pada sebuah tambang. Berkaca-kaca setelah
melihat emas berwujud bidadari di depannya terampil meniup sebuah harmonika
klasik. Bibirnya mengembang berbuah senyuman, lagi dan lagi Emily Reyn berhasil
menghipnotis pria ini, mencekik hatinya dengan rangkaian nada yang terikat
bersama auranya. Cantik seperti bidadari dirinya, pagi ini.
Ini sebuah kejutan untuk Louise.
Setelah nada itu perlahan hilang bersamaan dengan kekuatan hipnotis yang
menyerang hati Louise, tubuhnya sedikit terguncang sadar dari lamunan nyata itu.
“Hai… kenapa disini?” sapa Louise.
Seperti biasa, Emily meraih
sebuah tulisan dalam kertas yang mungkin sudah ia siapkan sebelumnya. “Aku
ingin mengajakmu ke suatu tempat…,” tulis dalam kertas itu.
Louise menarik tangan Emily hingga
beranda rumah neneknya, “Tunggu disini, bentar!” sahutnya sembari berlari ke
dalam.
Tergesa-gesa, ternyata setelah
beberapa menit ia pun keluar dengan keadaan jauh lebih rapi dari sebelumnya.
Tangan yang mengusap rambut untuk terakhir kalinya, kini mulai sibuk dengan
bagian kemejanya yang sedikit lusuh. Saat semuanya sudah siap, jemarinya meraih
kontak mobil dalam saku celananya. “Jadi, mau kemana kita sekarang? Aku sudah
siap!” ucapnya kemudian dengan senyuman sedikit menggoda.
Emily tertawa kecil, tangan
kanannya bergerak hingga menempel pada pipi Louise, tangan kirinya meraih
sebuah kertas. “Jiwamu indah…,” tulisan dalam kertas itu, dua kata yang membuat
Louise sangat tercengang hingga seakan-akan detak jantungnya berhenti beberapa
saat. Mungkin ini gambaran yang terlalu berlebihan, tapi nyata.
“Masih kalah denganmu…,” balas Louise
sembari menyeimbangkan pikiran dan hatinya yang beberapa saat tadi melayang
bersama senyuman tergilanya, salah tingkah.
Emily hanya melanjutkan
tawa kecilnya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya dan menulis sesuatu, “Aku
yang jadi sopir!” tulisnya sambil merampas kontak Louise dan meraih sesuatu
dari sakunya. “Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat, tapi kamu harus pake ini…,”
tulisnya kemudian sembari mengeluarkan kain hitam untuk menutupi mata Louise,
berniat memberi surprise.
“Siapa takut?” ucapnya dengan
nada congkak, dengan cekatan Emily mengikat kain itu hingga menutupi mata
Louise. Sudah benar-benar gelap sekarang.
Tanpa komando, ia langsung menuntun
Louise ke arah mobilnya di depan rumah dan segera menancapkan gas. Dalam
perjalanan, mereka berdua sempat bercanda cukup lama, kemungkinan tempat tujuan
Emily cukup jauh. Saking gelapnya, saat terdiam beberapa saat tanpa kata,
Louise perlahan-lahan mendengkur, ketiduran.
Suara yang tak asing datang
kembali. Nada-nada yang tercipta dari tiupan harmonika beralun singgah ke dalam
telinga Louise untuk kedua kalinya. Matanya yang terpejam seakan-akan dipaksa
untuk terbuka oleh telinganya untuk mencari sumber bunyi itu. Perlahan-lahan
terbuka dan tak banyak menggerakkan badan pun sumber bunyi sudah terpampang
jelas di sampingnya. Saat sepenuhnya sadar dan menatap sumber bunyi tersebut,
sebuah senyuman dari bidadari menghentikan nada indah tersebut. Louise membalas
dengan senyumnya.
Tak lama terlepas dengan tatapan
dan senyuman itu, tubuh Louise terguncang setelah melihat keadaan di luar
mobilnya, matanya berbinar. “Emily ….,” ucapnya terpenggal sembari menatapi
sekelilingnya. “Kita dimana? Ini masih di Semarang, kan?”
Emily sudah mempersiapkan
jawabannya di kertas, ia menunjukkan pada Louise sambil meneruskan
senyumnya.
“Iya, kamu masih di Semarang, ini
tempatku menyendiri dan tempat rahasia kita berdua,” tulisan dari Emily .
Raut wajah Louise pun menunjukkan
reaksi yang berbeda, alis yang terangkat dan bibir bawah menebal. “Tempat
rahasia? Boleh juga…,” ucapnya dengan nada seakan ini seperti hal konyol namun
nyata.
Setelah ucapan Louise itu, dengan
cekatan Emily mengajak Louise keluar mobil. Mungkin berada dalam dunia
kedua, bagi Louise. Sebuah danau yang lengkap dengan perahu kecil yang biasa
disebut kano ada di depan matanya sekarang. Sementara di belakangnya terlihat
rumah kecil dari kayu yang biasa disebut kabin. Ini tempat impian seorang
Louise Malino yang mungkin hanya khayalan saja untuk bisa menapakkan kaki di
tempat ini. Emily Reyn, seorang manusia berdarah bidadari yang datang tiba-tiba
dalam kehidupannya malah mengubah khayalan itu menjadi nyata sekarang.
“Kok liatin kabin itu? Kamu mau
masuk? Masuk aja, itu punyaku kok!” tulisan dalam kertas yang dihadangkan Emily
di depan wajah Louise.
Ingin sekali Louise menahan
teriaknya, ia mencoba untuk melakukan sesuatu hal. Tubuhnya bergerak ke bawah,
ia melutut membelakangi Emily dan menunjuk bahunya. Mengerti maksud Louise,
tangan Emily cekatan untuk meraih bahu pria di depannya itu. Setelah
sempurna, tubuh Louise kembali ke atas dan membawanya berlari menuju
kabin.
“SELAMAT DATANG DUNIA IMPIAN, AKU
BERHASIL MENCURI BIDADARI DARI LANGIT HARI INI!!!” teriak Louise dengan sangat
girang sembari berlari menggendong Emily.
Daun pintu yang menganga membuat Louise
terdorong lagi untuk masuk ke dalam kabin itu tanpa aba-aba. Setelah satu
langkah masuk ke dalam, ia menghentikan langkahnya dan melepaskan gendongan Emily
secara perlahan. Tubuhnya terdiam sejenak, matanya menatap sekitar,
mendelik, hingga melongo terkagum-kagum dengan isi kabin. Barang-barang klasik
yang terbuat dari kayu memiliki harga tersendiri di mata Louise. Dan hampir
seluruh perabot dalam kabin itu berhasil memanjakan matanya. Satu per satu ia
menjamah perabotan dalam kabin, Emily selalu tersenyum dan mengekor.
Mungkin rasanya ia berhasil memberi kejutan terindah dalam hidup Louise.
Jamahan tangannya mulai terhenti
saat matanya mendapati sebuah gitar klasik yang tergeletak rapi di samping
patung serigala milik Emily . Dengan lancang, Louise mengambilnya dan mengajak Emily
keluar dari kabin menuju kano di tepi danau. Paham apa yang akan
dilakukan Louise, Emily ikut membantu untuk membenahi posisi kano.
Semuanya sudah siap, kali ini saatnya Louise mengambil senjatanya―dayung. Kedua
tangannya sudah menggenggam erat dayung tersebut, gerakan untuk mendayung ia
lakukan berkali-kali hingga tengah danau.
Cuaca berawan sangat mendukung
untuk berduaan di tengah danau yang tenang seperti ini. Bisa dikatakan
romantis. Tak sengaja, tanpa memiliki bakat untuk menjadi pria romantis, Louise
sudah melakukan sesuatu yang romantis saat itu. Tubuhnya yang berkeringat mulai
menikmati tempat itu. Tangannya meraih gitar klasik dari kabin tadi,
menyanyikan sebuah lagu dari “Banda Neira” untuk Emily.
Ke Entah
berantah
Dia datang
saat hujan reda
Semerbak
merekah namun sederhana
Dia
bertingkah tiada bercela
Siapa
kuasa
Dia
menunggu hingga ku jatuh
Terbawa
suasana
Dia
menghibur saat ku rapuh
Siapa
kuasa
Dan kawan
Bawaku
tersesat ke entah berantah
Tersaru
antara nikmat atau lara
Berpeganglah
erat, bersiap terhempas
Ke tanda
tanya
Dia bagai
suara hangat senja
Senandung
tanpa kata
Dia
mengaburkan gelap rindu
Siapa kuasa…
Semangat dan emosi Louise yang
ditumpahkan dalam lagu itu membuat Emily terkesima. Tak bisa berkata,
“Maaf cuma bisa bilang, sempurna!” tulisnya dalam kertas komunikasinya.
“Seseorang mengajariku,
semuanya…..,” ucap Louise lirih dengan tatapan berkaca-kaca.
“Siapa?” tulis Emily kembali
dalam kertas komunikasinya.
Tak ada satu kata jawaban pun
dari Louise, ia malah kembali memetik gitarnya. Menyanyikan sebuah lagu kembali
untuk wanita di depannya.
“Mungkin dalam lagu ini ada
sebuah jawaban,” pikir Emily dari dalam hati.
Lagu kedua yang Louise nyanyikan
benar-benar menguras emosi mereka. Keduanya hampir meneteskan air mata saat Louise
menyanyikan lagu tersebut. Mungkin jiwanya sudah menempel dalam setiap suara
yang keluar bersama petikan gitar dari Louise. Semilir angin mengiringi sebuah
lagu dari “Killing Me Inside”.
Menyesal
Baru kali
ini ku merasa terjatuh
Tak pernah
ku menyangka kau tinggalkan aku
Maafkanlah
aku selama ini dan kini ku menyesal
Ku takkan
bisa tinggalkan dirimu bersama dirinya
Ku takkan
mampu lupakan dirimu bersama dirinya
Haruskah
ku sudahi perasaan ini (perasaan ini)
Merelakan
dirimu pergi selamanya
Maafkanlah
aku selama ini (yang telah kecewakan dirimu)
Dan kini
ku menyesal
Ku takkan
bisa tinggalkan dirimu bersama dirinya
Ku takkan
mampu lupakan dirimu bersama dirinya
Maafkan ku
sakitimu, lupakan dirimu
Maafkan ku
sakitimu, lupakan dirimu
Dan kini
ku menyesal…
Hingga petikan terakhir untuk
lagu ini, mereka berdua masih kuat untuk menahan tangis harunya. Louise masih
belum menjawab pertanyaan dari Emily , seperti mengalihkan pada bahasan lain.
“Kamu bawa harmonika, kan?” tanya
Louise. Tak perlu tulisan, Emily hanya manggut-manggut untuk menjawabnya
sembari meraih harmonikanya.
“Pasti tau lagunya Maliq &
D’Essentials yang judulnya ‘Setapak Sriwedari’, kan? Aku minta tolong iringin
pake harmonika itu, mungkin bakal lebih indah dengernya…,” pinta Louise kemudian
dan kembali Emily menyetujuinya.
Tak perlu berlama-lama untuk
memenggal waktu, Louise langsung kembali memetik gitarnya diiringi oleh
nada-nada harmonika milik Emily . Benar, mendengar kombinasi antara gitar dan
harmonika dari dua pasang manusia ini membutuhkan tenaga yang cukup karena
emosi akan terkuras habis. Louise yang berusaha menahan air matanya, kali ini
sudah tak kuasa. Sebuah lagu memori antara dirinya dan dua sahabatnya di kota
mereka membuat hatinya bercampur aduk sekarang. Namun, tangisan haru yang
bercucuran membasahi pipinya tak menghalangi hingga akhir lagu. Begitu pun
dengan Emily , ia tetap melanjutkan dengan rasa penasaran.
“Kenapa?” tulis Emily dalam
kertas komunikasi-nya setelah lagu penuh emosi tadi berakhir.
Louise memberikan sedikit
senyuman sembari membasuh air matanya sendiri dengan tangan. “Mungkin terlalu
dramatis, kalau aku cerita semua ini…,” ucapnya kemudian.
“Tak masalah kalau kamu berkenan,
aku akan mendengarkan… Akan busuk kalau terus terpendam, hatimu yang busuk
perlahan…..,” tulis Emily kembali dengan membalas senyuman Louise tadi
dengan senyum penasarannya.
Secara perlahan, Louise memahami
ucapan Emily . Dan dengan perlahan pula, ia mulai menjelaskan satu per satu apa
yang terjadi pada dirinya. Bahkan Louise pun mengacuhkan posisi Emily sebagai
seseorang yang baru ia kenal untuk membicarakan masalah hidupnya saat ini. Louise
yakin, wanita di depannya memiliki hati yang lebih indah dari wajahnya, ia
sangat yakin. Panjang lebar Louise menjelaskan semuanya, lancar hingga Emily pun
benar-benar paham.
“Ini yang disebut ujian hidup,
berbeda dengan ujian di sekolah yang belum tentu ada jawabannya. Ujian hidup
selalu ada jawaban yang benar, jawaban itulah yang menjadi jalan keluarnya.
Namun, jawaban itu hanya bisa didapatkan dari pemberi hidup. Sebenarnya mudah
untuk mendapatkannya, asalkan ada niat dan komitmen untuk mendekatkan diri kita
pada-Nya… Kuncinya, kesederhanaan dan kepercayaan…,” jelas Emily panjang
melalui kertas komunikasinya.
Tulisan Emily membuat air
mata Louise yang sempat berhenti kembali bercucuran, kali ini bersamaan dengan
senyumannya. Emily merasa bersalah atas keluarnya air mata Louise kembali,
pikirnya karena kata-kata yang ia tulis tadi. Sehingga, serontak tubuh Emily terdorong
memeluk pria di depannya itu. Erat cukup erat, hingga Louise merasakan nyaman
seperti memeluk mamanya sendiri. Hal ini, memberikan sesuatu kenyama-nan pula
bagi Louise untuk membisikkan suatu hal pada Emily dalam pelukan itu.
“Maaf, mungkin aku lancang, aku
terlalu tergesa-gesa buat bilang ini semua. Tapi aku takut semuanya terlambat,
aku sayang kamu, Emily … Mau nggak kamu jadi pacarku? Sebelumnya maaf banget,
tapi aku harap kamu mau…,” bisik Louise dalam pelukan. Mendengar bisikan
tersebut, dengan cekatan, Emily melepaskan pelukannya. Dan tiba-tiba…
PLAAAAKKKKKK!!!
Tangan kanan Emily melayang
hingga pipi Louise, tamparan panas menjadi santapan Louise saat itu.
“Maaf, aku memang bodoh...,” ucap
Louise lirih sembari menundukkan kepala dan kembali meneteskan air mata sesal.
Emily masih tetap tenang
setelah tamparan itu. Melihat pria di depannya merasakan panasnya tamparan yang
ia layangkan tadi, dirinya seakan tak merasa bersalah. Tangan kanannya
menunjukkan gerakan ke atas menuju dagu Louise hingga berhasil menegakkan
kepala Louise yang tertunduk sesal tadi. Kini kepala Louise telah tegak
sempurna seperti semula, tiba-tiba kepala Emily maju mendekat, bagian
tubuhnya kembali menampar Louise. Tamparan manis kali ini, bukan tangan bertemu
pipi, tidak untuk kedua kalinya. Bibir bidadari melayang serontak memberikan
ciumannya pada Louise. Sungguh manis, bahkan terlalu manis, entah apa maksud Emily
dan entah bagaimana perasaan Louise saat itu, mungkin seperti mimpi. Ia
mendapatkan banyak khayalan nyata hari ini di tempat antah berantah ini.
Di atas luasnya genangan air
tenang, kehangatan itu terasa. Di bawah awan tebal selimut mentari, cinta
muncul secara tiba-tiba. Hati yang bersatu menancapkan sebuah perasaan yang
sama, hingga berhasil menciptakan sebuah romansa yang mengawali lembaran baru
dan mengakhiri memori usang pada detik sebelumnya.
“Tamparan itu untuk membalas
lancangmu dan kecupan itu untuk membalas perasaanmu. Maaf sudah hadir dalam
hidupmu dan maaf sudah memaksamu untuk selalu menjaga hatiku mulai detik ini….
Aku sayang kamu, Louise…..,” tulis Emily dalam kertas komunikasinya, sudah
jelas apa maksud tamparan sekaligus kecupan itu, mulai detik itu mereka
berhasil menciptakan sebuah judul dalam kisah cintanya. Awal yang indah tanpa
sebuah kesengajaan, penuh harapan untuk menorehkan tinta kebahagiaan pada
cerita di bawah kisah cintanya kelak.
***
Hari ini mungkin terasa romantis
bagi Louise, hingga memiliki niat untuk mengajak Emily makan malam bersama di
sebuah kafe yang terletak di Semarang bagian atas. Menurut Louise, melihat
panorama Kota Semarang dari atas akan terasa romantic dengan beribu gemerlap
bintang yang menghiasi langit malam ini. Apalagi seseorang kekasih yang selalu
bersamanya akhir-akhir ini, mau menemani untuk menyaksikan perpaduan cahaya lampu
dari bawah dan cahaya bintang di atas yang berhasil menerangi kota
kelahirannya.
“Maaf, kak… mau pesan apa?” ucap
pelayan kafe sambil memberikan daftar menu kepada Louise.
Louise mengambil daftar menu dari
tangan pelayan itu, berulang kali membolak-balik daftar menu, hingga akhirnya
menemukan pilihan. “Nasi goreng vegetarian, minumnya Coffee Avocado ya, mbak!”
ucap-nya kemudian.
“Satu semua ya, kak?” tanya
pelayan kembali.
Mendengar pertanyaan itu, Louise menoleh
ke arah Emily. Tanpa kata, Emily memberikan sebuah kertas pada Louise yang
bertuliskan singkat, “Sama…”. “Emily memesan makanan yang sama dengan yang aku
pesan,” pikir Louise kemudian.
“Dua semua, mbak!” sahut Louise kemudian.
Pelayan itu melongo kebingungan,
mengerutkan dahinya melihat Louise. “Dua? Oh dibungkus ya, kak?” tanyanya
kemudian.
“Makan disini lah, mbak!” sahut Louise
kembali, membuat dahi pelayan itu terus mengkerut, seperti ada yang aneh pada
diri Louise. Namun, tak lama pelayan itu menuruti pesanan Louise.
“Aneh…,” gumam Louise.
Mendengar gumaman dari Louise tadi,
Emily tertawa kecil sambil menepuk punggung pria yang ia cintainya itu pelan.
“Sudahlah, mungkin pelayan itu me-ngira kamu vegetarian yang kelaparan,”
tulisnya dalam sebuah kertas komunikasinya.
Louise pun ikut tertawa kecil,
hingga akhirnya tawa mereka terpecah. “Sebenernya, aku lebih geli sama ekspresi
mbak-nya tadi, melongo kayak abis lihat nilai rapot merah semua aja,” ucapnya
kemudian di sela tawanya.
“Lihat nilai rapot merah aja
kayak gitu, apalagi lihatin aku…,” ucap Emily dalam tulisan di kertasnya.
Mendengar perkataan Emily, Louise
menatap tajam mata sahabatnya itu dengan tatapan yang berbinar-berbinar
terpesona, hingga senyumnya mengembang jelas. “Iya, mungkin ekspresi yang sama
kayak aku sekarang yang lagi lihatin kamu, kayak lihat bidadari tanpa sayap
yang dikirim dari surga…,” ucapnya kemudian. Tatapan itu terpecah, “Eh bentar
ya, aku mau ke toilet bentar…,” ucapnya setelah Louise merasakan ingin buang
air kecil.
Dalam perjalanan menuju toilet,
belum sampai kakinya menapak pada lantai toilet, langkahnya terhenti setelah
melihat sosok pria yang duduk di sudut kafe. Itu Arey―teman komunitas
fotografinya di Semarang―Louise merubah langkahnya, mendekati Arey.
“Arey!” seru Louise, menyapa.
Arey menoleh ke arah suara yang
memanggil namanya itu. “Eh Louise, gimana bro kabarnya?” tanyanya kemudian.
“Kok akhir-akhir nggak pernah datang kopdar sih?” tambahnya, bertanya kembali.
“Baik aja sih, ehm… lagi males
aja sih,” sahut Louise.
“Oh, jangan-jangan lagi sibuk
main Pokopang nih? Kesini sama siapa, Lou?” celetuk Arey dan kembali bertanya.
“Kampret! Emangnya si Taka…,”
sahut Louise ketus. “Tengah malem ada notifikasi, aku kira ada apa… Ternyata
dia nge-share Pokopang, bangke!” tambahnya kemudian.
Arey tertawa geli mendengar
pernyataan Louise, namun ia kembali bertanya pada temannya, pertanyaan yang
tadi belum sempat Louise jawab, “Kesini sama siapa? Jangan bilang sendirian
lagi…”
“Enggak lah, Rey! Sekarang udah
ada gandengan lah…,” ucap Louise dengan memasang muka sedikit sombong.
“Wuih… ngeri… akhirnya!!!” seru
Arey setelah terkejut mendengar perkataan temannya itu. “Mana di bawa nggak?”
tanyanya kemudian, penasaran.
Louise menoleh ke arah Emily duduk,
kemudian menunjukkan kepada Arey itulah yang ia maksud. Namun tiba-tiba Arey
berdiri, melongo. “Udahlah bro, woles kali… kayak bidadari kan?” ucap Louise melihat
temannya yang melongo itu.
“Anjirrr! Khayal aja lu bisanya,
iya bro kayak bidadari… Sampai nggak bisa kelihatan, mana sih?” tanya Arey
membuat Louise sedikit kesal.
Louise mendengus kesal. “Itu di
antara cowok yang lagi main HP sama bapak-bapak yang pake baju warna hijau,”
ucapnya kemudian, kembali menunjuk dimana Emily berada.
“Apaan sih? Yang ada kursi kosong
di situ…,” ucap Arey, kali ini membuat Louise sedikit curiga. Namun, rasa
curiganya itu terpecah setelah ia sadar bahwa mungkin Arey hanya pura-pura
tidak melihat karena masih ingin mengejeknya sebagai jomblo sejati. Di sisi
lain, Louise juga tidak bisa menahan lama-lama lagi untuk membuang air kecil. Louise
pun bergegas meninggalkan temannya, kini ia benar-benar menuju toilet.
“Ah kampret, jomblo aja pake
gaya-gayaan, Lou… Lou…,” gumam Arey sambil tertawa kecil, tak lama ia pergi
meninggalkan kafe dengan kejenuhannya.
Setelah dari toilet, Louise cepat-cepat
menghampiri Emily yang masih duduk di kursi itu. “Maaf Emy, lama ya nunggunya?”
tanyanya kemudian, Emily hanya membalasnya dengan anggukan dan senyuman seperti
biasa. Menu yang mereka pesan, tak lama datang juga. Mereka langsung
menyantapnya dengan penuh keromantisan seakan pasangan kekasih. Namun, selama
itu Louise juga merasakan orang-orang di sekitarnya seperti sesekali meliriknya
bahkan membicarakannya. Hal itu membuatnya yang telah menghabiskan makanannya,
cepat-cepat untuk membayar total yang ia dan Emily santap. Kemudian, Louise menarik
tangan Emily yang juga telah menghabiskan santapannya itu, mengajaknya keluar
menuju taman di sebelah kafe.
Saat sudah berada di luar, bahasa
tubuh Emily mengisyaratkan bahwa ia menanyakan apa yang terjadi pada Louise,
kenapa ia terburu-buru seperti itu? Memahami itu semua, Louise menenangkan
sahabatnya, “Nggak ada apa-apa kok, malam mini langitnya indah ya?” ucapnya
mengalihkan pertanyaan Emily. Emily menunjuk ke atas. “Coba lihat bintang di
sana, mereka selalu bersama.” tulisnya dalam kertas seperti biasa.
“Romantis banget ya,” sela Louise.“Apa
kita bisa selamanya bersama seperti bintang-bintang itu?” tanyanya kemudian
lirih.
“Lou, setiap pertemuan pasti ada
perpisahan. Tapi, perpisahan sebelum kematian pasti ada, tapi bukan untuk
selamanya,” ujar Emily dalam tulisannya.
“Bener banget, hanya maut yang
bisa membuat selamanya kita berpisah,” tambah Louise. “Aku cuma nggak pengen
pisah sama kamu aja, aku berharap kita bisa selalu bersama-sama kayak sekarang
ini,” ujar Louise kembali.
“Nggak bisa, Lou! Kita semua
punya keperluan hidup masing-masing. Cepat atau lambat keadaan akan memaksa
kita untuk berpisah,” tegas Emily dalam tulisannya. “Udahlah Lou, pisah nggak
berarti lupa satu sama lain, kan?” tambahnya, Louise hanya menunduk, kemudian Emily
memeluk erat pria itu, bermaksud untuk menenangkannya.
Louise berjalan menuju mobilnya
kemudian masuk dan kembali keluar membawa sebuah boneka teddy bear. “Emily… aku
mau ngomong sesuatu sama kamu…,” ucapnya sedikit terbata-bata sambil
menjulurkan tangannya yang menggenggam boneka ke arah Emily. “Mungkin terlalu
cepat dan bodoh buat aku omongin lagi, tapi aku takut perpisahan itu akan
terjadi di dalam waktu yang dekat ini, aku nggak mau menyesal gara-gara itu,”
jelasnya kemudian.
“Kamu mau nggak jadi teddy bear
punya ku?” tanya Louise, membuat Emily tercengang.
“Peluk boneka itu kalau kamu
setuju, lempar boneka itu jauh-jauh kalau kamu menolak, aku janji nggak akan
marah,” sahut Louise menjelaskan, tegas.
Emily terlihat kebingungan dengan
perlakuan Louise tadi, “Apa maksudnya? Bukankah selama ini kita udah resmi
pacaran? Apa mungkin aku yang terlalu kegeeran?” pikirnya dari dalam hati.
Diamnya Emily benar-benar
menunjukkan ke-ajaiban, Louise bisa ikut merasakan bahasa tubuhnya hingga tahu
apa yang wanita itu pikirkan saat itu. Akhirnya, Louise menjelaskan semuanya,
ia tak ingin keduanya salah paham. “Pasti kamu tahu, awal perjala-nan cinta itu
pasti kisahnya membara kayak api yang baru aja dinyalain. Nah, hari ini aku
bakal ngulangin kisah itu sama kamu, aku berharap api cinta yang dulu pernah
membara, bisa terulang hari ini. Ini semua aku lakuin, karena aku nggak mau
kehilangan kamu, Emy…. Sekalian pengen ngasih tau kamu langsung, kalau sampai
sekarang ini, perasaanku ke kamu belum luntur, masih persis kayak dulu. Aku
nggak mau api itu padam, makanya aku pengen nyalain lagi sekarang. Biarkan
malam ini jadi saksi bisu kisah membaranya api itu tepat di hati kita berdua.”
Tercengang dengan haru luar biasa
setelah beberapa saat tadi terdiam. Tak lama kemudian, Emily bergerak, ia
mengangkat tangannya dan itulah pilihannya, melempar jauh boneka yang Louise berikan
kepadanya. Melihatnya, Louise menunduk, hanya bisa pasrah dan putus asa. Namun
setelah itu, Emily tak hanya diam, ia kembali menuliskan sesuatu pada kertas
komunikasinya. “Maaf aku sudah melempar boneka itu, itu sudah pilihanku. Karena
menurutku… jika aku memilih untuk menjadi teddy bear-mu, seharusnya kamu tidak
menyuruhku untuk memeluk boneka itu. Kamu seharusnya… menyuruhku untuk memeluk
pemilik boneka itu…”
Kembali kejutan untuk yang
kesekian kalinya itu benar-benar membuat hati Louise terguncang. Tak hanya itu,
setelah Emily menulis pernyataan itu, ia serontak memeluk tubuh pria yang ia
cintainya kembali. Dan benar, malam itu menjadi saksi bisu akan terangnya api
cinta yang membara kembali seperti pertama kali bertemu dulu.
***
Berjalan cukup lama, seperti
kisah cinta manusia pada normalnya. Yang membedakan hanya kata aneh dan gila
yang sering Louise dengar dari mulut orang lain saat ia dan Emily sedang
bersama. Awalnya, Louise hanya berpikir itu mungkin karena ia sudah lama
memeluk status lajang dan tiba-tiba dirinya berpacaran. Namun, lama-lama ia
memiliki kejenuhan. Tak heran, apabila lama kelamaan juga Louise mulai curiga,
ia mengambil tindakan. Kebetulan, hari ini ia tidak ada janji dengan Emily. Ia
telah meminta izin dengan Emily, apabila hari itu ia akan menghadiri kopdar
komunitas fotografinya.
Kini, Louise berada di antara
segeombolan orang yang memiliki hobi yang sama, fotografi. Namun, tatapannya
kali ini masih berputar-putar tak tentu. Seperti mencari seseorang. Tak salah,
ia memang sedang mencari temannya, Arey. Ada yang harus Louise bicarakan saat
itu juga.
\Putaran bola matanya sudah mulai
terhenti pada satu fokus, objek yang Louise cari. Ia merubah arah tubuhnya,
bergegas mendekati Arey yang sedang asyik berbincang-bincang dengan temannya.
Tanpa berpikir lama, Louise menarik tangan temannya itu ke luar kerumunan.
“Eh Lou, ngapain?” tanya Arey
setelah melihat wajah Louise yang serius.
“Rey, aku mau tanya…,” ucapnya
terpenggal.
“Langsung aja kali,” sahut Arey
menyela.
“Ehm… kenapa ya setiap aku jalan
sama Emily, kayaknya orang di sekitar ngelihatnya sinis? Malah ada yang sampai
mencibirku, banyak yang bilang aku gila lah… aneh lah…,” tanya Louise masih
dalam raut wajah yang serius.
“Wait, siapa Emily?” tanya balik
Arey.
“Lah… pacarku Rey, yang pernah
aku tunjukin ke kamu waktu di kafe dulu itu…,” ucap Louise dengan nada yang
semakin tinggi.
Arey mengerutkan dahinya,
memandang Louise dengan kepala yang sedikit miring. “Jadi, beneran waktu itu
ada cewek yang kamu tunjukin ke aku? Aku malah ngiranya, kamu bercanda, soalnya
abis itu kamu langsung lari ke toilet…,” ucapnya kemudian, sedikit kebingungan.
“Kamu ngomong apa sih? Aku nggak
bercanda, Rey!” sahut Louise, semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi.
“Oke, oke, tenang! Gini aja,
besok tunjukin lagi aku sama pacarmu itu,” suruh Arey. Louise hanya membalasnya
dengan anggukan yang berarti menye-tujuinya. Kebetulan, besok Louise berjanji
makan malam bersama kembali di kafe seperti biasa. Memahami karakter Emily yang
anti-sosial itu, Louise menyuruh Arey untuk melihatnya dari kejauhan secara
diam-diam.
Malam itu pun tiba, kali ini tak
ada bintang-bintang yang bergerlapan di langit seperti saat itu, mendung. Louise
memulai aksinya setelah ia kembali meminta izin dengan Emily untuk ke toilet.
Saat itu, ia menghampiri Arey yang duduk di kursi paling dekat dengan arah
toilet. Mengerti apa yang harus ia lakukan, Louise langsung menunjuk kembali ke
arah Emily. Namun, lagi dan lagi Arey tidak melihat seorang pun di situ, hanya
ada kursi kosong.
“Atau jangan-jangan, cuma kamu
yang bisa lihat Emily?” tanya Arey, pertanyaan ini memaksa Louise untuk
bertanya balik apa yang temannnya katakana itu.
“Maksudmu?”
“Ehm… iya… mungkin… Emily berasal
dari dunia lain, gitu?”
“Kamu kok bilang gitu sih, blah…
blah… blah…,” celoteh Louise panjang lebar, namun Arey tak mendengar satu kata
pun darinya, Arey sibuk dengan ponselnya sendiri. Walaupun begitu, masih tetap
ada hubungannya dengan Louise dan Emily. Matanya tertuju pada menu internet
pada layar ponselnya hingga akhirnya ia terdorong untuk menyentuh menu itu.
Dengan terampil, jemarinya mengetikkan sesuatu kata kunci dalam address bar. “Emily
Reyn,” ketiknya.
“WHAT THE FUCK IS THAT??!!!" serunya di antara kebisingan dalam kafe setelah melihat sepenggal kalimat dalam
ponselnya.
“SEORANG
AYAH TEGA MEMBUNUH ANAKNYA SENDIRI YANG TUNA WICARA, JASAD EMILY REYN DITEMUKAN
DI SEKITAR KOTA LAMA, SEMARANG, JAWA TENGAH.”
Tubuh Arey terasa kaku, ia
cepat-cepat menunjukkan itu semua pada Louise. Hanya membutuhkan beberapa
detik, Louise yang ikut membaca tulisan itu merasakan hal yang sama dengan
Arey. Luar biasa, selama ini ternyata ia mencintai mahkluk dari alam lain.
“Lou, Emily masih ada di sana?”
tanya Arey tiba-tiba, lirih.
“Masih, Rey…,” ucap Louise dengan
tubuh yang masih gemetar dan kaku itu.
“Coba kamu hampiri dia, coba kamu
buktikan berita tadi dengan cermin ini,” suruh Arey sambil memberikan sebuah
cermin kecil pada temannya itu.
Mengerti apa yang Arey suruh
untuknya, Louise berdri dan memberanikan diri mendekati Emily. Saat ia sudah
berada tepat di depan Emily kembali, terang-terangan Louise mengarahkan cermin
itu pada mahkluk alam lain yang kini menjadi pacarnya itu. Terlihat jelas di
dalam cermin, seorang wanita yang tetap dengan wajah Emily, namun ada banyak
perbedaan. Seperti darah yang berlumuran di sekujur tubuhnya dan sebagian tubuh
yang seperti telah dipotong. Tak lama, terlihat juga dalam cermin itu, Emily yang
menoleh ke arah Louise. Belum sempat menurunkannya, cermin kecil itu tiba-tiba
pecah, Emily berlari keluar kafe dan menjauh dari Louise. Saat itu juga, Louise
tak bisa menahan air mata sesalnya. Ia masih berharap, ini semua hanya mimpi
buruk dalam tidurnya. Sebenarnya, Louise masih sangat mencintai Emily, ia tak
sanggup untuk melepaskannya. Terlalu banyak kenangan indah yang ia lalui
bersama mahkluk dari alam lain itu.
***
Esoknya, setelah Louise terbangun
dari mimpinya, ia dikejutkan oleh suatu kotak yang berada di sebelahnya.
Kecurigaan mendorongnya untuk membuka kotak tersebut dan meraih isinya. Boneka
teddy bear yang ia berikan kepada Emily menjadi salah satu isi dari kotak itu.
Selain itu, ada satu lagi benda di dalamnya, sebuah amplop berisikan surat.
Dengan cepat, Louise meraih dan membacanya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dear Louise
Malino,
Terima kasih, untukmu manusia yang selama ini memberi kenangan
dalam kesendirianku di sini. Maaf, aku sudah pernah mengisi satu karakter maya
dalam hidupmu. Aku hanya wanita tuna wicara yang tidak berguna dan hanya bisa
memenuhi dunia ini, mungkin ayahku sudah melakukan yang terbaik untukku. Maaf
untuk kebohonganku selama ini. Aku bodoh, seharusnya aku tidak melakukan semua
ini. Andai waktu itu kamu tahu, aku pernah mengatakan jika ingin seperti kamu,
sebenarnya bukan berarti aku ingin bisa bicara normal sepertimu, melainkan aku
ingin hidup dan mersakan dunia nyata kembali yang penuh dengan cahaya. Aku juga
pernah mengatakan, aku tinggal di dekat rumahmu, tapi kamu nggak pernah tahu
dimana rumahku. Sebenarnya, rumahku ada di pemakaman dekat rumahmu. Itu semua
aku lakukan, karena aku takut kehilangan kamu. Sekali lagi aku minta maaf dan
terima kasih sudah mengijinkanku untuk menjadi teddy bear-mu saat itu...
Sebenarnya, aku tau semua masalahmu. Disini, aku hanya ingin membantumu untuk
mencari cinta semu di tengah pelampiasanmu dari wanita bernama Keyla Siregar.......
Dari
wanita yang dulu kamu sebut aneh,
Emily Reyn.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan terakhir Emily itu,
berhasil memaksa Louise untuk mengeluarkan air matanya kembali. Hati yang antah
berantah mengawali harinya saat itu. Semuanya tinggal kenangan, Emily hanya ada
dalam dimensi lain yang sejajar dengan dimensi nyatanya.
“Benar katamu, hanya perpisahan
dengan kematian yang bersifat selamanya…,” gumam terakhir Louise dalam skenario
kisah cintanya yang terlihat mustahil dengan logika.
O -------- ### -------- O
Percaya atau tidak, kisah cinta antara Louise dan Emily itu hanya ada dalam khayalan
seorang penulis yang bernama Keyla Siregar. Semuanya, Keyla yang mendalangi bahkan mengetahui alurnya dalam sebuah tulisan. Skenario sudah ada dalam otaknya.
Dengan memberikan satu nama tokoh seperti namanya sendiri, Keyla bisa lebih
merasakan dunia ciptaanya dalam sebuah tulisan itu. Keyla Siregar, penulis muda
yang baru saja tervonis kanker otak bahkan dokter memperkirakan usianya hanya
bertahan pada malam tahun baru ini.
Hal itu benar terjadi, sekarang keadaanya kritis. Dokter sudah
menyerah, namun ada suatu keajaiban kecil sebelum ia harus meninggalkan dunia.
Rena berhasil mengatakan dua penggal kalimat harapannya selama ini.
“Aku berharap tulisan tentang Louise
dan Emily ini menjadi tulisan yang terakhir dalam hidupku…,” ucapan harapannya
yang pertama, tak lama ia juga mengucapkan harapan keduanya atau bisa dikatakan
harapan terakhirnya. “Jikalau aku bisa hidup lebih lama, aku ingin menjadi
karakter seperti Emily Reyn. Aku ingin sekali membantu orang-orang sekitar
untuk bekalku menuju surga.”
Electrodiogram denyut jantung Keyla menunjukkan garis lurus, seiring
dengan riuh suara terompet dan petasan yang berlomba-lomba menandakan bahwa
tahun baru baru saja terlewati.
THE END
-----------------------------------
-baws-
-----------------------------------
-baws-
kampret, seperti biasa. keren banget
ReplyDeletengehehe thanks udah baca
DeleteBeuhh keren banget bikin sedihh :) ^^
ReplyDeleteLah kok Rena nya .......
ReplyDeleteKeren! Agak kaget sih di akhirnya :3
ReplyDeletehaduhh bikin abdan meriang.. T_T
ReplyDeletewalah nama pemeran nya di ganti yak?
ReplyDelete