(sekuel dari cerita "Suddenly": baca? klik di sini)
Keluarga dengan berjuta cerita, beribu prahara, namun juga meiliki ratusan pekerja. Manusia tak beradab ini menamai dirinya sebagai Jansen. Sebuah nama indah yang menjadi berdebu hingga beracun oleh penciptanya. Tak perlu memandang Jansen yang lain, hanya dengan membaurkan setitik materi saja apabila ada tangan mengadah dan mulut yang menganga yang berpadu dengan dosa yang terbodohi itulah Jansen yang anda baca saat ini. Temukan dan tersenyumlah pada semesta dengan bola mata yang terpantulkan sebuah objek yang lebih dingin dari es di kutub utara atau pun lebih panas dari matahari di tengah hari.
Ini bukan kisah melainkan sebuah duka. Duka nyata untuk seorang bocah yang belum bisa tengkurap dengan rengekan tangisnya yang bertakdirkan untuk tersentuh dan terikat dengan nama Jansen. Bola mata yang baru tercipta tak berdosa terpaksa harus mendapati manusia-manusia yang sibuk dengan kegiatan menukarkan kertas bernilai dengan wanita pemuas nafsu setiap harinya. Bukan hanya itu, hidung mungil miliknya pun juga tak sengaja sudah sedikit mencicipi aroma narkotika yang berserakan.
Siapa bayi itu? Seperti pelacur dan pengguna narkotika saja.
Di mana orang tuanya? Mungkin sudah di neraka.
Lantas bagaimana dengan keberadaannya itu? Ehm... ehm.... haruskah ku menebak bahwa anjing atau babi yang memeliharanya? Atau... yang lebih liar dari itu?
*
Sambil menelan ludah, "Davin Jansen..."
"Hadir, Sir!"
Terdengar suara bising setiap kali orang-orang mendengar namanya. Semua bola mata pada atap yang sama tak segan-segan untuk memandangnya sinis. Sudah biasa. Biasa? Yap, tak ada yang salah dengar. Mungkin sebutan manusia terlahir sampah itu cocok untuknya, sekali hina selamanya hina. Selama sembilan belas tahun menjadi hina di mata orang tak masalah baginya, asalkan tak pernah hina untuk siapapun penciptanya. Itu prinsip hidup seorang Davin Jansen. Mahkluk hidup harus memiliki senjatanya sendiri untuk dapat bertahan hidup, tak perlu senjata tajam dalam genggaman untuk menguasai emosinya. Hanya sebuah kembangan bibir untuk satu hinaan yang telah membentengi hidupnya saat ini.
Masih dalam tatapan kejut dan kecapan-kecapan mulut yang belum berhenti menilai harga diri orang dari satu nama yang mereka dengar tadi. "Oh jadi itu anak dari keluarga Jansen?" ucap seseorang dari sudut lain.
"Ya kau tak salah dengar namanya, aku yakin...," sahut seseorang yang lain.
Wanita yang berada di sebelah orang tadi hanya menggelengkan kepalanya, tatapannya masih ragu, "Jadi kita satu kelas dengan anak mucikari dan bandar narkotika? Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?" tanya sesalnya sembari menepuk jidat tanpa poni miliknya.
Mucikari? Bandar narkotika? Davin Jansen juga sudah biasa mendengarnya. Dari tangan sepasang wanita mucikari dan pria bandar narkotika ia bisa memiliki umur hingga sembilan belas tahun seperti sekarang. Hanya tangan? Lagi-lagi benar, ia hanya mendapati wajah kedua pasangan itu saat otaknya masih tak memiliki nalar, namun rahim sang mucikari itu bukanlah yang melahirkan dirinya. Satu, dua, tiga anak harus meninggalkan dunia sebelum keluar dari rahimnya―keguguran, hingga saat sang bandar narkotika itu menemukan bocah mungil di tepi sungai setelah proses tawar menawar barang haramnya itu berhasil terjual. Meraih, membawa dan mengangkatnya hingga menyebutnya dengan nama Davin Jansen―remaja bercap hina yang baru saja masuk kuliah dan baru saja menjadi hina untuk kesekian kalinya itu.
BRAAKKKKKK!!!!!!
"Shut up! Apa yang kalian bicarakan? Baru pertama masuk, baru pertama duduk di sini sudah sebising itu. Apa sekolah kalian yang dulu mengajari seperti itu? Tidak ada sopan-sopannya...," bentak dosen yang merasa dirinya kurang dihormati sembari menggebrak meja saking jengkelnya hingga seluruh mahasiswa tertunduk takut. Setelah keadaan kondusif kembali, kembali pula mulainya proses belajar mengajar hingga jam yang sudah ditentukan.
Davin terlihat berantusias mengikuti mata kuliah pertamanya, ia melupakan segala beban masalahnya sejenak hingga masalah hidupnya itu teringat kembali saat ia mendapati dosen tadi memperhatikannya diam-diam. Empatinya sangat kuat, ia yakin pria di depan kelas itu benar-benar memperhatikannya. Tak biasa seorang dosen mencampuri urusannya, kali ini seperti ada yang ingin disampaikan oleh pria itu untuk dirinya. Tak fokus hingga....
KRRRIIIINNNNGGGGGGG!!!!!!!!!!
Semua orang beranjak dari tempat duduknya tak terkecuali Davin Jansen yang hendak ke toilet. Setiap langkahnya selalu menjadi fokus setiap orang yang mengetahui nama dan latar belakangnya, masa bodoh baginya. Belum sempat menginjak lantai toilet pria, ia menghentikan langkahnya saat mendapati seorang pria masuk ke dalam toilet wanita. Tak ada pikiran negatif dalam otaknya, melainkan ia hanya berniat memberi tahu pria itu bahwa baru saja ia salah masuk toilet.
Saat hendak mengekornya, ia mendapati kembali pria itu berdiam diri di depan toilet yang tertutup. Saat daun pintu terbuka, ternyata rangsangan nafsunya juga ikut terbuka. Terlihat pria itu langsung memeluk paksa wanita yang baru saja keluar dari toilet. Melihat hal itu, Davin berlari ke arah pria hidung belang yang sedang berusaha menutup mulut wanita tadi. Tinjuan Davin melayang pada pipi pria itu hingga tergeletak kesakitan. "Pria bodoh, pria lemah, bisa-bisanya dikalahkan dengan nafsu sendiri...," ucap Davin.
Davin berpikir tak akan membuat masalah itu menjadi panjang, ia membiarkan pria hidung belang tadi kabur dan mengalihkan fokusnya pada wanita yang masih terlihat shock di belakangnya. Ia sedikit tercengang setelah melihat wajah wanita itu. Nadine Liesbeth―wanita yang baru saja ditetapkan untuk satu kelas dengannya, wanita yang sempat menghujat di belakangnya saat di kelas tadi.
"Nadine... Kau baik-baik saja?"
"Dav...," ucap Nadine terpenggal setelah tersadar siapa pria yang ada di depannya sekarang. "Eh... aku baik-baik saja, terima kasih atas bantuannya.....," ucapnya kemudian, terlihat ingin cepat-cepat meninggalkan pria yang terpandang hina itu. Takut dengan dasar omongan orang lain.
"Tunggu Nadine... Aku ingin bicara denganmu, hei jangan pergi... Hei... tak selamanya yang kau dengar tentangku adalah aku!" seru Davin, entahlah wanita itu mendangarnya atau tidak.
Davin paham, maka dari itu ia tak mengejarnya. Sekali hina selamanya hina, bukan begitu? Terserah, pikirnya. Tak lama ia mengingat akan niatnya untuk ke toilet, tak lama pula ia sudah berada di dalamnya. Ia membuka tasnya, kemudia meraih sesuatu di dalamnya. Sebuah kertas putih dan pensil dalam genggamannya sekarang.
Apa yang akan ia lakukan? Di toilet? Ternyata, ini bukan pertama kali untuknya, bahkan sudah biasa Davin melakukan hal seperti itu. Semenjak ayah angkatnya menjadi buron saat ia menginjak tiga belas tahun, berita tentang keluarga dan dirinya tersebar. Ibu angkatnya
Pulang, tujuannya saat ini. Langkah kakinya terpaksa terhenti dengan seretan pada lengannya ke arah gudang kampus. Terlihat paruh baya yang tak asing berada di depannya sekarang. "Kau.....," ucapnya kebingungan. Tuan Pieto―dosen yang baru saja mengajarnya dan sempat membuatnya curiga―kini tepat berada di depannya.
"Sssstttt....," desis Tuan Pieto dengan menyentuhkan jari telunjuk tangan kiri dengan mulutnya serta menghadangkan tangan kanannya pada mulut Davin. "Bicara seperlunya saja, aku tau kau curiga denganku, maka dari itu aku ingin menjelaskan semuanya dengan kau, tolong izinkan aku," pintanya kemudian.
Dengan mulut tertutup tangan Tuan Pieto, Davin hanya bisa memberikan jawaban dengan anggukan sebagai tanda izin untuk permintaan tadi. Setelah mulutnya terbuka kembali, satu langkah ia mundur dari arah Tuan Pieto, sekarang ia sudah bisa mendapati seluruh tubuh dosennya itu. Napasnya sedikit terengah-engah akibat pertukaran udara yang kurang teratur beberapa waktu tadi.
Tuan Pieto terlihat mulai menggerakan bibirnya, "Davin Jansen, remaja malang yang terpandang hina sejak lahir, bukan begitu?"
"Apa maksudmu?"
"Wow, wow, wow... Tenang, aku ada di posisimu Davin....," ucap Tuan Pieto ambigu. "Mungkin kau mengira aku seperti orang-orang lain yang hobi menghujatmu di belakang, tapi kali ini aku akan membuat perbedaan di depanmu," ucapnya kembali, masih saja ambigu.
"Sssstttt.... Tak perlu bicara dahulu, ini bukan debat...," sahut Tuan Pieto saat Davin hendak mengangkat bicaranya, terpenggal. "Malang sekali nasibmu, Nak... Masih seumur jagung sudah menjadi korban pasif bintang film dewasa seperti ini. Clark Jansen, ibu angkatmu? Mulus juga... Tom Jansen, ayah angkatmu? Percaya atau tidak, nasibnya sudah di ujung gerbang penjara....."
Tiba-tiba......
PROOOOOKKKKK!!!!
Tinjuan Davin melayang untuk kedua kalinya pada hari yang sama. Tuan Pieto langsung tersungkur, namun Davin masih tidak terima dengan perkataannya tadi. Bagaimana pun juga, kedua orang tua angkatnya yang sudah berperan membuatnya tetap hidup walaupun mereka juga yang memberi tekanan hidup pada Davin.
Badan Davin berada di atas Tuan Pieto yang terlentang sedikit kesakitan, tangan kirinya mencengkeram leher Tuan Pieto, tangan kanan sudah siap meninju untuk kedua kalinya. "Lakukan saja, Davin... Aku rela menjadi tempat pelampiasan sahabat anakku sendiri, aku yakin kau masih mengenali nama Alexander Keenan...," ucap Tuan Pieto dengan sedikit tersenyum dan menahan rasa sakitnya.
"Alex....." Mendengar nama itu, Davin melemaskan tubuhnya yang tegang atas amarahnya. Alexander Keenan―satu-satunya manusia yang selalu ada dan selalu percaya padanya, sebut saja sahabat Davin. Namun itu dulu, komunikasi terakhir dengannya saat Alex memberinya kabar bahwa ibunya sedang dalam kecelakaan. Semuanya terlambat, Davin kehilangan kontak dengan sahabatnya yang menyusul ibunya entah di mana itu.
Tuan Pieto bangun dari posisinya, tangannya menepuk pelan pundak Davin sembari tersenyum haru. "Akhirnya aku menemukanmu, Nak! Sahabatmu telah tiada setahun setelah istriku mengalami kecelakaan itu, ia mengalami gangguan jiwa karena over shock kemudian membunuh dirinya sendiri, maafkan aku yang tak bisa menjaganya. Tapi, aku menyampaikan permintaan terakhirnya untukmu, ia menyuruhku untuk bertemu denganmu dengan satu alasan..."
Davin yang sudah dari tadi tak kuasa menahan air matanya, ternyata menyimpan rasa penasaran dengan cerita Tuan Pieto, "Apa alasannya? Tolong katakan padaku!" sahutnya kemudian.
"Alexander Keenan menyuruh seorang Davin Jansen untuk terus menulis segala huru-hara dalam kehidupannya, entahlah aku tak tau maksudnya... Sayangnya Alex lebih dahulu meninggalkan kita sebelum hendak menjelaskan maksudnya," jelas Tuan Pieto.
Davin mengusap air matanya, terlihat ia sudah merelakan kepergian sahabatnya, terlihat tegar dan segera membenahi dirinya. "Tak perlu dengan penjelasan itu, aku tahu maksud Alex, dulu ia sempat memberiku saran untuk perubahan hidupku...," ucapnya, sedikit terlihat menguatkan hatinya.
"Bagaimana katanya?"
"Dengan menulis dan menciptakan suatu karya yang dapat dikonsumsi umum. Dengan itu, mereka yang melihat latar belakangku akan termakan otak lancangnya sendiri, begitu kira-kira kata Alex..."
"Kau beruntung, Alex menitipkan ini untukmu...," ucap Tuan Pieto sembari menjulurkan tangannya yang menggenggam suatu kotak ke arah Davin. "Minta maaf juga dengan perkataanku tadi, namun itu masuk dalam skenarioku, aku sengaja menguji emosimu, lain kali lebih pintar untuk mengontrolnya karena segala sesuatu yang akan kau lakukan adalah pengaruh dari emosi," ucapnya kembali sembari menepuk-nepuk tegas pundak Davin.
Davin menarik napas panjang, "Terima kasih.... Davin..........," ucapnya lirih sembari menghembuskan napasnya hingga air mata pun menetes kembali.
Mucikari? Bandar narkotika? Davin Jansen juga sudah biasa mendengarnya. Dari tangan sepasang wanita mucikari dan pria bandar narkotika ia bisa memiliki umur hingga sembilan belas tahun seperti sekarang. Hanya tangan? Lagi-lagi benar, ia hanya mendapati wajah kedua pasangan itu saat otaknya masih tak memiliki nalar, namun rahim sang mucikari itu bukanlah yang melahirkan dirinya. Satu, dua, tiga anak harus meninggalkan dunia sebelum keluar dari rahimnya―keguguran, hingga saat sang bandar narkotika itu menemukan bocah mungil di tepi sungai setelah proses tawar menawar barang haramnya itu berhasil terjual. Meraih, membawa dan mengangkatnya hingga menyebutnya dengan nama Davin Jansen―remaja bercap hina yang baru saja masuk kuliah dan baru saja menjadi hina untuk kesekian kalinya itu.
BRAAKKKKKK!!!!!!
"Shut up! Apa yang kalian bicarakan? Baru pertama masuk, baru pertama duduk di sini sudah sebising itu. Apa sekolah kalian yang dulu mengajari seperti itu? Tidak ada sopan-sopannya...," bentak dosen yang merasa dirinya kurang dihormati sembari menggebrak meja saking jengkelnya hingga seluruh mahasiswa tertunduk takut. Setelah keadaan kondusif kembali, kembali pula mulainya proses belajar mengajar hingga jam yang sudah ditentukan.
Davin terlihat berantusias mengikuti mata kuliah pertamanya, ia melupakan segala beban masalahnya sejenak hingga masalah hidupnya itu teringat kembali saat ia mendapati dosen tadi memperhatikannya diam-diam. Empatinya sangat kuat, ia yakin pria di depan kelas itu benar-benar memperhatikannya. Tak biasa seorang dosen mencampuri urusannya, kali ini seperti ada yang ingin disampaikan oleh pria itu untuk dirinya. Tak fokus hingga....
KRRRIIIINNNNGGGGGGG!!!!!!!!!!
Semua orang beranjak dari tempat duduknya tak terkecuali Davin Jansen yang hendak ke toilet. Setiap langkahnya selalu menjadi fokus setiap orang yang mengetahui nama dan latar belakangnya, masa bodoh baginya. Belum sempat menginjak lantai toilet pria, ia menghentikan langkahnya saat mendapati seorang pria masuk ke dalam toilet wanita. Tak ada pikiran negatif dalam otaknya, melainkan ia hanya berniat memberi tahu pria itu bahwa baru saja ia salah masuk toilet.
Saat hendak mengekornya, ia mendapati kembali pria itu berdiam diri di depan toilet yang tertutup. Saat daun pintu terbuka, ternyata rangsangan nafsunya juga ikut terbuka. Terlihat pria itu langsung memeluk paksa wanita yang baru saja keluar dari toilet. Melihat hal itu, Davin berlari ke arah pria hidung belang yang sedang berusaha menutup mulut wanita tadi. Tinjuan Davin melayang pada pipi pria itu hingga tergeletak kesakitan. "Pria bodoh, pria lemah, bisa-bisanya dikalahkan dengan nafsu sendiri...," ucap Davin.
Davin berpikir tak akan membuat masalah itu menjadi panjang, ia membiarkan pria hidung belang tadi kabur dan mengalihkan fokusnya pada wanita yang masih terlihat shock di belakangnya. Ia sedikit tercengang setelah melihat wajah wanita itu. Nadine Liesbeth―wanita yang baru saja ditetapkan untuk satu kelas dengannya, wanita yang sempat menghujat di belakangnya saat di kelas tadi.
"Nadine... Kau baik-baik saja?"
"Dav...," ucap Nadine terpenggal setelah tersadar siapa pria yang ada di depannya sekarang. "Eh... aku baik-baik saja, terima kasih atas bantuannya.....," ucapnya kemudian, terlihat ingin cepat-cepat meninggalkan pria yang terpandang hina itu. Takut dengan dasar omongan orang lain.
"Tunggu Nadine... Aku ingin bicara denganmu, hei jangan pergi... Hei... tak selamanya yang kau dengar tentangku adalah aku!" seru Davin, entahlah wanita itu mendangarnya atau tidak.
Davin paham, maka dari itu ia tak mengejarnya. Sekali hina selamanya hina, bukan begitu? Terserah, pikirnya. Tak lama ia mengingat akan niatnya untuk ke toilet, tak lama pula ia sudah berada di dalamnya. Ia membuka tasnya, kemudia meraih sesuatu di dalamnya. Sebuah kertas putih dan pensil dalam genggamannya sekarang.
Apa yang akan ia lakukan? Di toilet? Ternyata, ini bukan pertama kali untuknya, bahkan sudah biasa Davin melakukan hal seperti itu. Semenjak ayah angkatnya menjadi buron saat ia menginjak tiga belas tahun, berita tentang keluarga dan dirinya tersebar. Ibu angkatnya
Pulang, tujuannya saat ini. Langkah kakinya terpaksa terhenti dengan seretan pada lengannya ke arah gudang kampus. Terlihat paruh baya yang tak asing berada di depannya sekarang. "Kau.....," ucapnya kebingungan. Tuan Pieto―dosen yang baru saja mengajarnya dan sempat membuatnya curiga―kini tepat berada di depannya.
"Sssstttt....," desis Tuan Pieto dengan menyentuhkan jari telunjuk tangan kiri dengan mulutnya serta menghadangkan tangan kanannya pada mulut Davin. "Bicara seperlunya saja, aku tau kau curiga denganku, maka dari itu aku ingin menjelaskan semuanya dengan kau, tolong izinkan aku," pintanya kemudian.
Dengan mulut tertutup tangan Tuan Pieto, Davin hanya bisa memberikan jawaban dengan anggukan sebagai tanda izin untuk permintaan tadi. Setelah mulutnya terbuka kembali, satu langkah ia mundur dari arah Tuan Pieto, sekarang ia sudah bisa mendapati seluruh tubuh dosennya itu. Napasnya sedikit terengah-engah akibat pertukaran udara yang kurang teratur beberapa waktu tadi.
Tuan Pieto terlihat mulai menggerakan bibirnya, "Davin Jansen, remaja malang yang terpandang hina sejak lahir, bukan begitu?"
"Apa maksudmu?"
"Wow, wow, wow... Tenang, aku ada di posisimu Davin....," ucap Tuan Pieto ambigu. "Mungkin kau mengira aku seperti orang-orang lain yang hobi menghujatmu di belakang, tapi kali ini aku akan membuat perbedaan di depanmu," ucapnya kembali, masih saja ambigu.
"Sssstttt.... Tak perlu bicara dahulu, ini bukan debat...," sahut Tuan Pieto saat Davin hendak mengangkat bicaranya, terpenggal. "Malang sekali nasibmu, Nak... Masih seumur jagung sudah menjadi korban pasif bintang film dewasa seperti ini. Clark Jansen, ibu angkatmu? Mulus juga... Tom Jansen, ayah angkatmu? Percaya atau tidak, nasibnya sudah di ujung gerbang penjara....."
Tiba-tiba......
PROOOOOKKKKK!!!!
Tinjuan Davin melayang untuk kedua kalinya pada hari yang sama. Tuan Pieto langsung tersungkur, namun Davin masih tidak terima dengan perkataannya tadi. Bagaimana pun juga, kedua orang tua angkatnya yang sudah berperan membuatnya tetap hidup walaupun mereka juga yang memberi tekanan hidup pada Davin.
Badan Davin berada di atas Tuan Pieto yang terlentang sedikit kesakitan, tangan kirinya mencengkeram leher Tuan Pieto, tangan kanan sudah siap meninju untuk kedua kalinya. "Lakukan saja, Davin... Aku rela menjadi tempat pelampiasan sahabat anakku sendiri, aku yakin kau masih mengenali nama Alexander Keenan...," ucap Tuan Pieto dengan sedikit tersenyum dan menahan rasa sakitnya.
"Alex....." Mendengar nama itu, Davin melemaskan tubuhnya yang tegang atas amarahnya. Alexander Keenan―satu-satunya manusia yang selalu ada dan selalu percaya padanya, sebut saja sahabat Davin. Namun itu dulu, komunikasi terakhir dengannya saat Alex memberinya kabar bahwa ibunya sedang dalam kecelakaan. Semuanya terlambat, Davin kehilangan kontak dengan sahabatnya yang menyusul ibunya entah di mana itu.
Tuan Pieto bangun dari posisinya, tangannya menepuk pelan pundak Davin sembari tersenyum haru. "Akhirnya aku menemukanmu, Nak! Sahabatmu telah tiada setahun setelah istriku mengalami kecelakaan itu, ia mengalami gangguan jiwa karena over shock kemudian membunuh dirinya sendiri, maafkan aku yang tak bisa menjaganya. Tapi, aku menyampaikan permintaan terakhirnya untukmu, ia menyuruhku untuk bertemu denganmu dengan satu alasan..."
Davin yang sudah dari tadi tak kuasa menahan air matanya, ternyata menyimpan rasa penasaran dengan cerita Tuan Pieto, "Apa alasannya? Tolong katakan padaku!" sahutnya kemudian.
"Alexander Keenan menyuruh seorang Davin Jansen untuk terus menulis segala huru-hara dalam kehidupannya, entahlah aku tak tau maksudnya... Sayangnya Alex lebih dahulu meninggalkan kita sebelum hendak menjelaskan maksudnya," jelas Tuan Pieto.
Davin mengusap air matanya, terlihat ia sudah merelakan kepergian sahabatnya, terlihat tegar dan segera membenahi dirinya. "Tak perlu dengan penjelasan itu, aku tahu maksud Alex, dulu ia sempat memberiku saran untuk perubahan hidupku...," ucapnya, sedikit terlihat menguatkan hatinya.
"Bagaimana katanya?"
"Dengan menulis dan menciptakan suatu karya yang dapat dikonsumsi umum. Dengan itu, mereka yang melihat latar belakangku akan termakan otak lancangnya sendiri, begitu kira-kira kata Alex..."
"Kau beruntung, Alex menitipkan ini untukmu...," ucap Tuan Pieto sembari menjulurkan tangannya yang menggenggam suatu kotak ke arah Davin. "Minta maaf juga dengan perkataanku tadi, namun itu masuk dalam skenarioku, aku sengaja menguji emosimu, lain kali lebih pintar untuk mengontrolnya karena segala sesuatu yang akan kau lakukan adalah pengaruh dari emosi," ucapnya kembali sembari menepuk-nepuk tegas pundak Davin.
Davin menarik napas panjang, "Terima kasih.... Davin..........," ucapnya lirih sembari menghembuskan napasnya hingga air mata pun menetes kembali.
***
11 Maret 2015 (sebelumnya di Suddenly: BACA? KLIK DI SINI)
Berbulan-bulan setelah kecelakaan pesawat itu, banyak sekali hal yang terungkap dan terasa seperti kebetulan bahkan skenario buatan manusia. Dari semenjak Nadine Liesbeth sadar dari amnesia yang menimpa dirinya, perlahan-lahan ia mulai mengingat semuanya. Davin Jansen adalah pria hina yang dulu pernah satu kelas dengannya saat kuliah di Singapore. Hampir saja ia menjadi tunangan pria hina itu.
"Masih terlihat hina kah?"
"Maafkan aku, Davin.... Andai aku tahu sebelumnya......"
Davin hanya tersenyum melihat penyesalan itu, namun ia tak mempermasalahkan kembali.Ternyata, semenjak Tuan Pieto memberikan kotak dari anaknya untuk sahabatnya itu, Davin benar-benar bekerja keras untuk mengubah hidupnya. Kotak itu berisikan sebuah laptop yang diyakini Davin sebagai alat pengganti kertas untuk media menulisnya hingga ia berhasil menuliskan satu buku tentang hidupnya yang berjudul "The Jansen". Tak disangka, buku itu laris di pasaran, namun satu keanehan Davin untuk tidak menuliskan namanya pada buku itu, ia hanya mencantumkan nama penanya yaitu "Alexander Dije". Alexander untuk nama sahabatnya yang telah tiada, Dije untuk singkatan dari namanya DJ atau Davin Jansen.
Skenario ini semakin menjadi-jadi semenjak bukunya beredar di Indonesia, buku itu tak sengaja menjadi bacaan seorang Nadine Liesbeth. Nadine yang meyakini itu tulisan Davin dan memutar memorinya pada saat Davin menyelamatkannya dari pria hidung belang, berniat untuk mencari seorang Davin Jansen. Ia bersikeras untuk menemuinya tanpa memberi tahu apa motivasinya untuk orang lain karena ini juga menyangkut privasi dari Davin sendiri. Hingga akhirnya, Roy Wijaya lah yang bersedia mengantarkannya pergi ke Singapore atas dasar cintanya pada Nadine. Namun naas kecelakaan pesawat itu malah menimpa mereka berdua.
"Maafkan aku, Davin... Mungkin hanya ini yang akan memperjelas maafku. Tolong dibaca saat kau menghadiri acara pernikahanku dengan Roy di akhir bulan....," ucap Nadine sembari memberikan suatu botol berisi kertas di dalamnya untuk Davin.
Takdir selalu memiliki kejelasan, seperti sekarang ini yang terungkap satu lagi hal tak terduga di skenario kehidupan mereka. Ternyata, kakek yang mengangkat Nadine setelah kecelakaan pesawat itu adalah orang yang sama dengan dosen yang menariknya ke dalam gudang saat kuliah dulu ―Tuan Pieto. Dari situ, terungkap juga bahwa nama ibu dari Alexander Keenan adalah Rhea Aleen―nama samaran yang digunakan untuk Nadine dari Tuan Pieto setelah mengangkatnya sebagai cucu. Memori Davin terputar kembali, ia teringat dengan perkataan Tuan Pieto saat di gudang bahwa sahabatnya meninggal karena bunuh diri setelah mengalami gangguan jiwa karena ibunya yang kecelakaan. Seperti yang Alex katakan pada Davin sebelumnya, ibunya itu benar-benar kecelakan dan semakin diperjelas setelah Tuan Pieto mengatakan bahwa Rhea Aleen tewas karena tenggelam di samudera.
***
Cepat sekali, tak terasa sudah akhir bulan. Pesta pernikahan Nadine Liesbeth dan Roy Wijaya sudah tergelar secara meriah. Davin Jansen yang kini menjabat sebagai kepala redaksi sebuah penerbitan buku mayor yang cuku terkenal itu menghadiri acara itu untuk menagih janji Nadine. Davin benar-benar melakukan apa yang Nadine pinta, ia tak pernah menyentuh botol pemberian dari Nadine hingga waktunya tiba. Dan akhirnya, waktu yang di tunggu-tunggu tiba....
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semenjak aku mengetahui semuanya dari mulut ibuku bahwa seseorang yang
aku sebut pria hina bernama davin jansen atau bahkan pria yang sangat aku
kagumi diam-diam itu ternyata adalah kakak kandungku, kita lahir dari rahim
yang sama aku berharap kau memaafkan ibu karena itu bukan salahnya. Ibu diperkosa oleh lelaki hidung belang, namun ia tak berani mengadukan pada ayahmu, hingga akhirnya kau dibuang dan selama ini yang diketahui orang-orang tentangmu adalah bayi yang hilang. Sekali lagi mohon jangan salahkan ibu, kau boleh membenciku tapi jangan untuk ibu, aku sayang padamu, Davin....
From: Nadine Liesbeth
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Takdir hidup sungguh telah menguji emosi Davin. Ia tetap akan menjadi pria hebat yang tak terkalahkan oleh emosinya sendiri. Ia melangkahkan kakinya hingga tubuhnya kini berada di depan Nadine Liesbeth. Serontak ia memeluk erat tubuh adiknya yang masih tercengang dengan kehadiran Davin secara tiba-tiba. "Selamat menempuh hidup baru, sayang...," bisiknya lirih bersamaan dengan tetesan air matanya yang perlahan berjatuhan.
Tubuh Nadine Liesbeth masih kaku, detak jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya hingga tak bisa untuk mengeluarkan sepatah kata pun, semuanya seakan berjalan singkat dan begitu mengejutkannya. Masih berusaha untuk menggerakkan bibirnya, hingga ia berhasil membisikkan balasan untuk kakaknya itu...
"Tak selamanya yang aku dengar tentangmu adalah kau..."
- Nadine Liesbeth -
- Nadine Liesbeth -
THE END
-----------------------------------
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
-baws-