Saturday 3 January 2015

Suddenly



Tujuh tahun setelah kejadian itu, tujuh tahun setelah Rhea Aleen tak mengingat apapun sebelumnya. Apa yang terjadi padanya? Mengapa ia merasa tak dilahirkan dan seakan langsung menjadi remaja? Pertanyaan basi dari hatinya itu selalu memaksanya untuk mencari jawaban. Lagi dan lagi, penyakit amnesia atau hilang ingatan yang selalu keluar dari mulut kakeknya. Lantas, siapa yang harus disalahkan lagi? Jika memang begitu, dimana kerabat lainnya?

"Selamat ulang tahun, Rhea Aleen!" ucap pria dengan umur yang jauh darinya, dengan rambut putih dan kacamata gelap sembari menjulurkan tangannya yang tengah menggenggam kue ulang tahun untuk cucunya itu.

Rhea tersentak, serontak tubuhnya terguncang membalik ke arah suara itu. Pertanyaan-pertanyaan basi tadi terhapus seketika, matanya yang baru saja terbuka dari dunia mimpi, kini fokus pada sesuatu yang membuatnya tak kuasa menahan haru. "Kakek.....," ucapnya kemudian, kue dengan perpaduan warna coklat, putih dan merah muda itu menjadi kue ke tujuh dari kakeknya selama yang Rhea ingat.

Melihat Rhea yang mematung haru, kakeknya berjalan mendekat. Bayangan lilin bertuliskan angka 27 itu semakin memenuhi bola matanya. "Selamat ulang tahun, cucu kakek!" serunya sekali lagi. "Semoga panjang umur dan bertambah segalanya yang lebih baik, ayo tiup lilinnya!" tambahnya kemudian.

Senyum Rhea mengembang bersamaan dengan matanya yang menutup perlahan, harapan-harapan keluar lirih dari mulutnya. Setelah kiranya semua telah terucap, ia kembali membuka matanya dan segera meniup lilin yang tersedia untuknya. Setelah tangannya mengambil alih kue itu dan meletakkannya ke meja, pelukan erat tertuju pada kakeknya. "Terima kasih kakek, selama ini cuma kakek yang selalu ada untuk Rhea... Rhea sayang kakek...," bisiknya dalam pelukan yang semakin erat.

Rhea selalu merasakan kesempurnaan jika sedang bersama dengan kakeknya. Namun satu yang selalu mengganjal hatinya, masa lalunya. Pelukan itu terlepas perlahan. "Coba kau tebak, siapa yang kakek bawa?" tanya kakeknya.

Seketika mata Rhea memandangi sekitar dengan tatapan curiga. Tak butuh waktu lama, tatapan itu terfokus oleh sesuatu yang bergerak dari luar pintu kamarnya. Ia tersentak setelah mendapati pria yang akhir-akhir ini menemani dan memberi kisah cinta pada hidupnya hadir membawa boneka beruang yang setinggi dirinya. Hal itu memaksa kedua tangannya untuk menutup longohan kejut mulutnya. Awal hari yang penuh kejutan untuknya.

"Hai... Happy birthday, honey!" seru Davin Jansen setelah mendapati kekasihnya mematung haru sembari mendekat ke arahnya.

"Davin........"

"Maaf untuk janji itu, aku gagal," ucap Davin dengan nada kecewa, namun anehnya mimik wajahnya tidak ada raut kekecewaan bahkan senyumnya hampir mengembang, sepertinya ada sesuatu.

"Janji apa?"

"Kau lupa janjiku kemarin? Aku ingin menjadi orang pertama yang memberi ucapan itu padamu, maaf karena kalah cepat dengan kakekmu ini," jelasnya dengan nada canda sembari menepuk pelan pundak kakek Rhea.

"Ah, kau ini... By the way, thank you very much, honey!"

Saat boneka beruang setinggi dirinya berada dalam pelukan Rhea, tiba-tiba tangannya menjamah sesuatu kotak kecil yang mengganjal di bagian belakang boneka itu. Dan saat bersamaan itu pula, tangan Davin menggenggam erat jamahan tangan kekasihnya hingga kotak kecil itu berada dalam dua genggaman sepasang kekasih ini. Perlahan-lahan Rhea menarik tangannya yang sedang menggenggam dan digenggam itu dengan raut wajah curiga, diperkuat pula dengan raut wajah kekasihnya yang terlihat tersipu malu. Dengan cekatan, Davin mengambil alih kotak itukotak kecil berwarna merah dengan pita putih yang mempercantiknya―kemudian membuka dengan gerakan elegan tepat di depan kekasihnya. Dan...

Perasaan apa ini? Rhea tak paham dengan dirinya sendiri setelah kotak itu terbuka. Cincin berlapis emas berhasil membuat bola mata Rhea berkerlipan haru. Haru? Tidak sepenuhnya. Lantas? Dirinya tak paham. Ketidakpahaman aneh itu yang membuat perasaannya semakin tak karuan, hingga Rhea menangis histeris secara tiba-tiba. Belum sempat melingkari salah satu jari Rhea, cincin itu tergenggam kembali di tangan Davin yang terlihat panik, ia segera memeluk kekasihnya.

Panik. Davin menghela napas dalam pelukan, berusaha menenangkan dirinya. "Kau kenapa?" tanyanya kemudian, namun Rhea masih belum berhenti dalam tangisnya. "Hei... hei... Rhea, tenang... Sudah, honey... Ada aku di sini, kau bisa cerita semuanya denganku...," tambahnya sembari melepaskan pelukannya dan menghapus air mata kekasihnya yang bermaksud menenangkan.

Tak enak melihat masalah pribadi kedua pasangan itu, kakek Rhea meninggalkan mereka berdua untuk saling menjelaskan secara leluasa dengan empat mata. Melihat kakeknya menjauh, Rhea perlahan meredakan tangisnya walaupun masih tersedu-sedu. "Hei... Kau kenapa, honey?" tanya Davin kembali, berharap mendapat jawaban dari Rhea.

"Maafkan aku......."

"Buat apa?"

"Mimpi itu......"

Mimpi? Apa selama ini mimpi yang selalu menghantui Rhea waktu itu masih hadir dalam tidurnya? Davin kira sudah tak ada lagi.

"Selama ini, aku bermimpi seakan-akan aku memiliki kekasih dalam dunia mimpi itu. Anehnya, dalam mimpi itu aku sangat mencintai pria itu, bahkan tak ada kau dalam kisahnya. Dan semalam, pria itu bertunangan denganku dan kami berjanji untuk... Ah, aku lupa apa lanjutannya..."

Penjelasan dari Rhea yang tak bisa dilupakan Davin. Bukan karena isi mimpinya, melainkan dengan akibatnya yang membuat Rhea selalu tak bisa menerima cincin ataupun ajakan Davin untuk melanjutkan hubungannya ke tahap yang lebih serius. Sudah berbagai cara Davin lakukan, namun belum sekalipun Rhea menerimanya dan selalu beralasan mimpi itu. Padahal, Davin yakin tak ada pria lain dalam dunia nyata selain dirinya dan ia pun yakin Rhea hanya mencintai dirinya.


*

Tersika dalam dilema

Antara cinta dan prahara

Seperti teman hidup namun tak hidup

Atau mati namun berdenyut nadi

Andai...

Andaikan.....

Pria itu diriku,

Wanita itu milikku

Mimpi itu duniaku.........


Puisi singkat untuk Rhea sebelum Davin meninggalkannya secara misterius ke luar negeri yang tak akan disebutkan negara mana Davin akan singgah untuk Rhea. Davin hanya menjelaskan singkat pula, bahwa ia akan kembali apabila bisa mendapatkan jawaban dari mimpi Rhea.

Perlu waktu yang cukup lama bahkan berbulan-bulan Davin bisa beradaptasi di negeri orang. Ia menyerahkan semua pekerjaannya di Singaporenegaranya sendiri―kepada pegawai-pegawainya. Di sini, ia mendapatkan kehidupan baru sebagai jurnalis. Bukan itu tujuan hidupnya sekarang, ia hanya ingin bekerja dengan wawasan luas. Siapa tahu informasi tentang mimpi Rhea dapat diraih dari pekerjaannya.

Tentu ia tak bisa hidup sendiri di negeri orang, Davin menemukan sahabat yang datang dari pekerjaan yang sama dengannyaRoy Wijaya. Ia selalu bercerita keluh kesah tentang pekerjaannya kepada Roy. Sebagai sahabat, Roy selalu bersedia menjadi pendengar keluhan Davin, bahkan ia selalu membantu yang sekiranya ia mampu. Walaupun begitu, Davin belum pernah menyentuh atau menceritakan sedikit pun kisah cintanya dengan Rhea pada Roy. Atau ia sudah lupa? Tidak, Davin tak mungkin mudah melupakan wanita yang dicintainya, ia bukan tipikal pria seperti itu. Mungkin Davin hanya mencari waktu yang tepat sekaligus merangkai kata-kata yang berlogika untuk diceritakan pada sahabatnya. Wajar saja, yang akan dibahasnya adalah dunia mimpi, ia takut Roy hanya akan menertawakannya.

Dan benar, hampir setahun setelah kepergiannya dari Rhea, ia baru berhasil menceritakan semua kisahnya pada Roy. Ia menceritakan secara detail, satu per satu hingga cerita khayal itu berlogika. Roy mendengarkan hingga selesai. Namun anehnya, kali ini Roy terlihat gelisah dan sangat antusias untuk mendengar cerita itu. "Jadi bagaimana, Roy? Apa pendapatmu?" tanya Davin.

Roy hanya mematung, benar-benar pada pandangan kosong. Apa yang ia pikirkan?

"Hei, Roy... Aku bertanya padamu...,"

"Ehm... ehm..." Roy baru sadarkan diri dari lamunannya.

"Apa yang kau lamunkan, brother?"

"Ehm... Oh, tidak, aku hanya ingin bertemu dengan kekasihmu..."

Mendengar pernyataan sahabatnya, Davin melongoh kebingungan. Mengapa tiba-tiba Roy ingin bertemu dengan Rhea? Padahal tak ada hubungannya dengan cerita tadi, ia hanya menanyakan pendapat tentang mimpi itu. "Kau serius?" tanya Davin, meyakinkan.

Roy terkesiap dan bingung dengan pernyataannya sendiri, ia merasa seakan-akan ada dalam cerita Davin. "Maksudku, aku ingin bertanya dengan kekasihmu tentang mimpi itu, Vin," jelasnya masih ambigu.

Davin mengerutkan keningnya. "Bertanya apa? Aku yang kekasihnya saja, selalu tak bisa mendapatkan jawaban darinya, apalagi kau yang bukan siapa-siapanya...," ucap Davin menyangkal.

"Dia tinggal bersama siapa saja, Vin?" tanya Roy kembali, membuat Davin semakin curiga.

"Mengapa kau menanyakan hal itu, Roy? Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Tolong jawab pertanyaanku tadi..."

"Bersama kakeknya."

"Itu saja? Di mana kerabat lainnya?"

"Tak tahu, dulu kakeknya pernah sedikit bercerita bahwa hampir delapan tahun lalu Rhea adalah korban kecelakaan mobil yang merenggut nyawa ayah, ibu dan adiknya. Namun, setelah aku tanya lebih lanjut, beliau tak mau menceritakan lagi, ada rahasia keluarga yang terjadi di masa lalu, begitu katanya. Jadi aku tak berani menyentuh masa lalu Rhea, aku hanya mencintai Rhea untuk sekarang dan masa depannya."

Kecelakaan. Amnesia. Rahasia. Masa lalu... Bohong! Ah, apa yang ada dalam pikiran Roy? Seakan-akan ada skenario dalam karakter Rhea. Tak lama, Roy meyakini sesuatu. Ia menghubungkan fakta-fakta dalam dirinya dan kenyataan masa lalu itu pada Davin. Setelah semuanya terhubung, terungkap sudah sebuah hipotesa yang memaksa Davin untuk kembali ke negaranya.


*

Luapan rindu tumpah di hari kedatangan Davin kembali. Rhea tak kuasa menahan tangisnya, walaupun merasa kecewa dan menyesal Davin meninggalkannya dengan cara seperti itu. Hari itu Rhea kembali berulang tahun, bertambah satu tahun usianya, bertambah pula kejutan dari kekasihnya. Namun, raut wajah Davin tak menunjukkan kebahagiaan saat itu hingga membuat Rhea curiga. Apalagi yang akan terjadi? Apakah Davin ingin memberi kejutan lagi? Begitu pikirnya. Ternyata benar setelah pria asing berkulit sawo matang muncul dan berjalan mendekati mereka. Kejutan? Tapi siapa pria ini? Kepalanya seperti berputar-putar, pria asing itu membuatnya sakit kepala.

"Ehm, iya... Ini perkenalkan Roy Wijaya, dia adalah partner kerjaku di Indonesia..."

Partner kerja?

Indonesia?

Jadi selama ini Davin memiliki pekerjaan lain? Di Indonesia? Saking terkejutnya, ternyata kedatangan Davin berhasil membuat Rhea lupa untuk menanyakan kepergian kekasihnya selama setahun itu. Bodoh. Kembali beralih fokus pada hal lain...

Siapa tadi nama pria itu? Roy... Wijaya....



Sembari menyebutkan nama lengkap Roy, pandangan Rhea berkunang-kunang, tangannya mulai memegang kepala yang kali ini benar-benar terasa sakitnya. Ada apa ini? Tak biasa Rhea seperti ini. Pingsan.

Siuman. "Roy Wijaya.....," ucap Rhea lirih, setangah sadar. Setelah beberapa kali ia menyebut nama itu dan sudah sepenuhnya sadar, tubuhnya tersentak, napasnya terengah-engah setelah kembali melihat wajah Roy.

Roy menghadapinya dengan tenang. "Hai, Nadine Liesbeth...," sapa Roy, membuat kakek Rhea yang ternyata daritadi menyaksikan hingga tersentak.

***

Ternyata, mimpi itu nyata. Davin bukan kembali dengan tangan kosong, ia berani kembali dengan menggengam janjinya. Terungkap sudah, skenario tak berlogika namun nyata adanya yang didalangi oleh kakek yang mengaku memiliki cucu bernama Rhea. Amnesia itu merupakan bukti ambigu dari masa lalu sepasang kekasih yang menjadi korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501Roy Wijaya dan Nadine Liesbeth. 

Dulu, tepatnya sebelas tahun yang lalu, Nadine masih berumur 17 tahun. Ia memiliki kekasih bernama Roy Wijaya tersebut. Hingga suatu hari, dalam perjalanannya menuju Singapore bersama kedua orang tua Nadine, Roy berjanji akan selalu menjaga Nadine dengan memasang cincin ke jari Nadine sebagai tandanya. Belum sampainya terpasang cincin itu, naas pesawat yang ditumpanginya mengalami kehilangan kontak hingga jatuh di sekitar Teluk Kumai, Selat Karimata.

Sehari setelah kejadian itu, seorang pelaut menemukan sosok wanita yang mengambang di atas serpihan pesawat. Setelah menyelamatkannya dengan keadaan hidup, membawanya pulang, dan berpindah tempat tinggal, skenario itu dimulai.

Terciptalah kembali nama Rhea Aleensetelah nama istrinya yang tewas tenggelam di samuderauntuk nama samaran Nadine Liesbeth yang ditemukannya dalam keadaan amnesia. 

"Lantas bagaimana kau bisa selamat?" 

"Maafkan aku.....," sela kakek itu sembari bersujud dalam tangisan di hadapan Roy. "Aku juga menemukan Roy, namun aku tak membawanya pergi bersama Nadine...," tambahnya mengaku.

"Dan akhirnya pertanyaanku terjawab sudah, itulah mengapa aku bisa selamat seorang diri di Pulau Kalimantan," ucapnya sembari menaikkan tubuh kakek itu. "Aku dan Nadine selamat karena kakek dan berpisah karena kakek, itu artinya....."


"Ketika titik temu dapat berjalan dengan waktu, dapatkah cinta berjalan dengan masa lalu?"




#PrayForQZ8501

"Flight attendants don't die, they just fly higher..."


THE END

-----------------------------------
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

-baws-

1 comment:


Black Moustache