Friday, 18 July 2014

Why Him?


Tergores sebuah kisah
Tertinggal pada lintasan logika 
Terpenggal menghadirkan sebuah luka
Hingga terselimuti oleh prahara

Jemari tak mampu berkata
Mata tak mampu memuntahkan problematika
Terdiam mengais sebuah perkara
Hingga tak lagi melihat senja



Dylan Aregall menyipitkan matanya setelah membuka pintu gudang. Pandangannya tak fokus ketika mendapati ratusan barang yang tertata rapi di dalamnya. Tubuhnya tergerak untuk melangkah dan memasuki lebih dalam. Terkadang, senyumnya mengembang apabila melihat sesuatu dari masa lalunya tergeletak begitu saja. Dulu sangat penting baginya, namun sekarang hanyalah sebuah alas sarang laba-laba. 

Cukup memakan waktu untuk menghentikan kepala dan memberi fokus pada matanya. Hal itu terjadi saat sesuatu yang dicarinya hingga menuntunnya menuju gudang sudah terjamah oleh tangannya. Dengan cekatan, tangan kananya meraih beberapa kanvas di sudut gudang dan meninggalkan yang sudah tak layak pakai. Sementara, tangan kirinya sudah menggenggam peralatan untuk melukis lainnya.

Melukis? Apa yang akan dia lakukan? Bukannya, sudah lama ia tak melakukan kebiasaan itu lagi? Atau jangan-jangan... Entahlah, mungkin hanya sebuah kerinduan pada hobi yang lama ditinggalkan. Ia menghentikan jalan pemikirannya sendiri dengan sebuah kesimpulan ambigu. Tak ingin berpikir keras hanya untuk memori masa lalu, pikirnya. Hatinya tenang. Dengan genggaman penuh, ia keluar menuju beranda.

Belum sempat menginjak lantai di beranda, bel rumahnya berbunyi. Ia berlari menuju sumbernya sembari masih dalam genggaman penuh. Terlihat sosok pria berkacamata berdiri di depan pintu, kira-kira berumur sama dengan Dylan.

"Ah, kau rupanya...," sapa Dylan. "Membuatku panik saja, ada apa?"

Ternyata ia kedatangan tamu yang memang tak jarang bertamu ke rumahnya setiap hari. Tapi itu dulu, akhir-akhir ini Adrian Josephinetetangga sekaligus teman kecil Dylanjarang sekali terlihat dan baru kali ini mengunjungi rumah Dylan kembali.

Adrian tertawa kecil. “Maaf, mungkin tangan ini ingin sombong padamu,” ucapnya sambil menunjukkan pada Dylan kedua tangannya yang baru saja sembuh akibat kecelakaan yang menimpanya beberapa bulan lalu.

“Oh, jadi kau bisa sombong begitu, setelah empat bulan yang lalu merintih-rintih kesakitan, padaku?” sahut Dylan, terdengar tawa dalam ucapannya.

Tak menanggapi pertanyaan itu, Adrian mendapatkan topik lain yang lebih baik untuk diperbincangkan, baginya. Ia merogoh sakunya dan meraih beberapa lembar uang ratusan ribu.

“Ini…,” ucapnya sambil menjulurkan tangannya yang menggenggam uang ke arah Dylan.

Kening Dylan mengerut. “Buat apa?” tanyanya kebingungan.
Buat apa? 
Pertanyaan macam apa itu. Ada yang salah dengan otak Dylan. Tak mungkin ia sepikun itu, atau jangan-jangan ia baru saja sembuh dari amnesia? Ah, bicara apa dia, terlalu berkhayal. Mungkin Dylan hanya lupa bahwa dulu saat Adrian kecelakaan, dia-lah yang membiayainya untuk melarikan ke rumah sakit.
“Buat apa?” tanya Dylan sekali lagi setelah melihat Adrian yang mematung sejenak. 

Adrian mendapatkan kesimpulan dari jalan pikirannya sendiri. Iya, Dylan lupa hal kecil yang berarti besar, baginya. “Ini uangmu. Dulu kau memberiku saat kecelakaan waktu itu. Jadi, aku berhutang padamu,” ucapnya kembali menjulurkan tangan seperti tadi.

Dylan tak menjawab, ia hanya menahan juluran tangan Adrian, berniat untuk tak menerima uang itu. Sepenuhnya ikhlas untuk membantu sahabatnya sendiri. Namun, tangan Adrian masih tetap berpegang teguh untuk memberikannya paksa.

“Aku hanya tak mau kau mencari-cariku di surga nanti hanya untuk uang ini,” sahut Adrian dengan senyuman geli.

Dylan tertawa kecil. “Tak kan ada yang mencarimu, kecuali aku keberatan untuk memberimu, dulu.”

Adrian tak menanggapinya berlebihan, ia langsung memasukkan kembali uang itu ke dalam saku dan tertegun dengan barang bawaan temannya. Matanya kembali menatap tajam temannya, terdiam sejenak.

Peralatan melukis. Buat apa Dylan melukis kembali? Bukannya, ia selalu melukis di saat sedang jatuh cinta? Atau benar, jangan-jangan Dylan baru saja merasakan jatuh cinta kembali? Tapi dengan siapa? Mungkin ada wanita yang dekat dengan Dylan saat Adrian menetap di rumah sakit selama itu.

"Kau melukis?" tanya Adrian dengan nada sedikit tak percaya. "Bukannya...."

"Yap!" sela Dylan. "Aku sedang jatuh cinta, kau paham itu."

Adrian tercengang. Ia sedikit memiringkan kepalanya sembari menatap raut wajah temannya itu. Tangannya terangkat hingga dahi Dylan. "Masih sehat," ucapnya terkekeh.

"Kau ini, tak bisa melihat teman bahagia sekali saja."

Adrian masih terkekeh. "Oke, oke. Aku harus membantumu bagaimana sekarang?"

"Tak perlu," kata Dylan ketus. "Maksudku, mungkin kau hanya perlu menyaksikanku menjadi pria jantan dengan memberikan lukisanku nantinya pada wanita itu," tambahnya dengan nada dan senyuman angkuh. 

Tak lama, Dylan langsung bersiap untuk melukis wanita yang selalu ia temui saat lari pagi. Tangannya masih lincah untuk menjamah hobi lamanya. Terbukti, tak butuh berjam-jam lukisan sketsa wajah wanita yang ia dambakan terpampang jelas di atas kanvas. Indah. Adrian berbinar melihatnya, namun tiba-tiba ia tersadar akan sesuatu.

"Dylan...," panggilnya lirih.

"Hmm?"

Adrian mengurungkan niatnya untuk menanyakan sesuatu, ia tak ingin merusak kebahagian temannya setelah lama meninggalkan hobi menjadi pelukis terkenal. "Tak jadi, tak apa...," ucapnya kemudian, tak ada tanggapan dari Dylan.

Tak perlu berpikir lama, Dylan bergegas meninggalkan berandanya menuju tempat tujuan di mana ia selalu bersua dengan wanita idamannya. Adrian mengekor ragu. Langkah keduanya terhenti, Dylan sudah mendapatkan apa yang ia cari, namun lagi-lagi jantung Adrian berdegup kencang. Telunjuk Dylan menunjuk seorang wanita yang sedang bersantai meminum air mineral di dalam botol. Adrian sudah mendapati wanita idaman temannya itu. Kali ini, detak jantung Adrian seolah-olah berhenti sejenak. Benar, tak lama kemudian...

"ADRIAAAAAANN!!!" seru wanita idaman Dylan dengan nada riang, berlari menuju Adrian. Ada apa ini? Mereka sudah kenal sebelumnya? Pikiran Dylan terpenggal setelah ciuman Meganwanita idamannyamelayang di pipi temannya sendiri. Adrian hanya mematung.

"Dylan, kau menyukai wanita yang salah," ucap Adrian setelah berani angkat bicara. "Wanita dalam lukisanmu itu adalah wanitaku..."


Langkah serba salah
Mematahkan jemari seorang pelukis
Kembali kelam seperti masa lalu
Hingga menjadi pelukis yang benci melukis
Semesta telah kembali berbicara kepadanya
Menuntun untuk memaksanya bertanya,
Kenapa dia, kenapa kawanku?

-baws-

No comments:

Post a Comment


Black Moustache