Saturday, 4 July 2015

The God's Script




Bodoh, sudah hampir seharian dirinya berada di luar rumah, Luna Caroline sadar bahwa dirinya meninggalkan rumah setelah ayahnya berpamitan keluar untuk membeli tiket pesawat untuknya. Saat itu matahari baru saja menyambut semesta, lagi-lagi untuk kesekian kalinya ia gagal untuk menutup matanya saat petang. Luna merasa siklus tidur dan rasa kantuknya sudah tak normal lagi. Setiap malam, ia selalu berharap keajaiban datang padanya walaupun itu hanya datang pada mimpinya. Namun kenyataannya, untuk bermimpi pun ia tak sanggup. Ada apa dengannya? Apa ini berhubungan dengan masa lalunya?

Masa lalu?

Sebuah kenangan pahit tengah menghantuinya. Berawal dari sebuah rasa cinta yang membutakan matanya hingga mematikan syaraf pada otaknya. Malam itu, Luna tak ingat apapun, ia hanya merasakan dirinya yang sedang bahagiakebahagiaan semu. Sampanyeminuman anggur putih bergelembung dari Perancisitu membuat rasa gugupnya hilang dan menghadirkan ilusi-ilusi dalam otaknya. Terbodohi. Pandangannya mulai kabur, ia berjalan sempoyongan dengan senyuman kebahagiaan yang terus mengembang hingga ia lupa apa yang terjadi setelahnya. Dengan setengah sadar dan samar-samar, Luna seperti mendapati kekasihnya hadir di dalam mimpinya. Ia juga tak melupakan bisikan dari kekasihnya yang terdengar lirih di telinganya secara berulang-ulang. Malam itu terasa sangat bahagia untuknya, Luna tengah merasa menjadi wanita sempurna yang lepas dengan segala masalahnya di dunia ini.

Pagi itu, sinar mentari menembus kaca jendela hingga menyengat tubuh Luna Caroline. Ia baru tersadar dari ilusinya semalam, ia juga baru tersadar bahwa sengatan sinar mentari itu sangat menusuk kulitnya. Hingga ia baru saja hendak tersadar kembali dengan hal lain, ketika ia merasakan seseorang menggenggam tangannya. Napasnya terhenti sejenak, degup jantungnya terasa cepat. Hal yang paling ia takuti, telah terjadi pada awal harinya. Sambutan semesta yang cukup mengejutkan untuknya.

"Halo, Babe! Kau sudah bangun dari tidur nyenyakmu? Love you...,

Suara itu... sapaan itu... Luna sangat mengenalnya.

"Derrick? Apa yang kau lakukan di sini?" ucapnya gemetaran sembari mengubah posisi tubuhnya hingga ia tersadar bahwa tak ada sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Ia merebut selimut yang dikenakan kekasihnya itu.

Pria itu mendekati Luna perlahan, senyumnya mengembang. "Hei tenanglah, kau akan bahagia bersamaku, tak ada yang harus dipermasalahkan, honey..." ucap Derrick dengan cukup tenang. Tak lama, ia mendapati air mata Luna yang menetes keluar. "Hei Luna, dengarkan aku... sesekali bersenang-senang itu tak ada salahnya, bukan?" tambahnya kemudian.

Luna sedikit menjauh dari kekasihnya, terlihat jijik. "Mudah sekali kau mengatakan itu padaku? Mudah sekali kau menyetubuhiku dalam semalam? Apa dengan mudah orang tuamu mendidikmu hingga seperti itu, Derrick? Ternyata, dari awal aku salah menilaimu, kukira kau pria yang bisa membantuku untuk menjaga prinsipku, ternyata kau pria biadab, Derrick!" seru Luna yang tak sadar air matanya sudah bercucuran deras. Tanpa komando, tamparan pun melayang menuju pipi Derrick.

Derrick mengerutkan dahinya, ia menegakkan tubuhnya dan menatap tajam mata Luna. "Berani-beraninya kau mengatakan itu padaku, berani-beraninya kau menyangkut-pautkan orang tuaku? Masa bodoh dengan prinsipmu, wanita kuno! Anggap kau tak pernah mengenalku, bitch!" balas Derrick dengan nada yang lebih tinggi dari ucapan Luna sebelumnya. Kemudian ia mendorong kasar tubuh Luna dan meninggalkannya begitu saja.

Semenjak itulah Luna menganggap dirinya sebagai sampah. Ia jarang berhubungan kembali dengan orang-orang di sekitarnya. Hingga suatu ketika, ia mempercayai sahabatnyaMary Clairesebagai tempat mencurahkan hatinya. Ia tertutup pada semua orang, namun tidak untuk seorang Mary Claire.

***

Luna kembali menyesap banana smothies minuman favoritnya di kafe ujung kota sembari menatap mata sayu Mary. Selalu saja, perbincangan tentang diri Luna yang hina keluar dari mulut mereka berdua. Masalah, solusi, masalah kembali, solusi kembali tanpa akhir yang tepat. Hingga di ujung malam, mereka terbuyarkan oleh dering ponsel milik Luna. 

Ayah?

"Halo, Papa?"

"Hei, kau ke mana saja, ma sweetie?"

Luna belum menjawab pertanyaan itu, ia melirik sahabatnya dan memberitahunya dengan lirih bahwa ayahnya yang sedang menelpon. 

"Ehmm...hei...halo, Papa... Aku sedang menginap di rumah Mary...," ucapnya, membuat Mary serontak menginjak kaki Luna, kemudian Luna memberitahunya kembali untuk tetap tenang melalui isyarat.

"Ma sweetie, apa kau lupa kita harus pindah ke Colorado esok hari dan kau masih sempat kelayapan?" tanya ayahnya.

"What the...." mulut Luna seakan kaku tak percaya. "Kita jadi pindah, Pa? Besok?"

"Aku minta kau pulang sekarang..."

Tanpa penjelasan lebih lanjut, ayahnya langsung menutup panggilan itu. Luna tahu betul karakter ayahnya, jika dirinya tak pulang sekarang, hukuman telah menantinya. Apa yang harus ia perbuat sekarang? Lemas rasanya mendengar keputusan mendadak dari ayahnya itu, Luna tak mungkin bisa meninggalkan kota kelahirannya, ia sudah terlalu mencintai kota dan memori-memori di dalam kota ini. Harapannya sekarang hanyalah menunggu ayahnya untuk berubah pikiran walaupun harus menghadirkan keajaiban.

Semenjak panggilan itu terhenti, Luna masih terdiam dan menatap kosong sekitar. Matanya sekedar formalitas yang terpasang, semua sistem syarafnya sudah memusat pada pertanyaan-pertanyaan yang membebani otaknya. Luna pun sempat lupa atas keberadaan Mary di sampingnya, itulah yang membuat perhatian sahabatnya itu tertuju padanya.

Mary menampar pelan pipi Luna, bermaksud menyadarkan lamunannya. "Hei Luna, kau kenapa? Kau tidak kerasukan, kan? Hei! Aku berbicara padamu, Luna...," ucap Mary sembari menyadarkan sahabatnya.

Tiba-tiba dalam lamunannya, mulut Luna mengeluarkan kata secara lirih. "Mary... Bagaimana menurutmu jika tiba-tiba aku menghilang?" ucapnya ambigu.

"Apa maksudmu? Sadarlah, Luna..."

"Aku bicara dengan sadar, Mary...," ucap Luna kemudian, air mata menetes tanpa sadar. "Inilah hal yang kutakuti, kau tau karakter ayahku, bukan?" tambahnya kemudian.

Terlihat raut muka Mary yang tengah berpikir. "Ayahmu? Yang selalu kutahu dari ayahmu adalah hukuman tak wajar jika kau melakukan kesalahan, hanya itu. Benarkah begitu?" jawab Mary, menebak dan ragu dengan ucapannya.

Luna mengangguk yang berarti membenarkan tebakan sahabatnya. "Sebelum pergi entah kemana, Derrick merekam kejadian denganku pada malam itu, ia membagikan video itu melalui email ayahku, itulah intinya aku menyuruhmu untuk menemaniku seharian itu, aku takut ayahku menghukumku kembali...," jelas Luna.

"Lantas?"

"Hukuman itu sudah dipersiapkannya untuk esok, aku harus meninggalkan kota ini beserta semua kenangan yang ada di dalamnya, tak kecuali aku juga harus meninggalkanmu. Aku tak yakin bisa menjalankan hukuman itu, aku berniat untuk lari dan menghilang, Mary...," jelas Luna kembali yang semakin panik dengan keadaannya sekarang.

"Luna, dengar aku sebagai sahabatmu... Dengan lari kau bisa apa? Dengan menghilang, apa kau bisa menghapus semua masalahmu? Apakah kau akan bisa menghapus semua kejadian malam itu? Masa lalu tetaplah masa lalu, waktu tak akan pernah berjalan mundur. Lupakan hal itu, tugas yang harus kau selesaikan secepatnya adalah menjadikan luka saat terjatuh untuk senjata di masa depan. Luka itulah yang menjadi tolak ukur kedewasaanmu sekarang...," ucap panjang lebar dari Mary yang mencoba menenangkan sahabatnya itu. "Jadi, kau tinggal menuruti saja apa kata ayahmu dan menunggu kejutan hari esok untukmu. Aku yakin kau akan mendapatkan yang terbaik, percayalah padaku, Luna..."

***

Colorado, 13 Juni 2014.

Sepanjang perjalanan dari bandara menuju tempat yang katanya akan menjadi tempat tinggal barunya, Luna hanya berharap satu... Ia sangat ingin mengubah hidupnya di sini, sesederhana itu. Keningnya berkerut saat ia memasuki wilayah yang penuh dengan pohon dan lahan yang masih luas. Ini perdesaan, ia yakin itu. Mungkinkah ia akan tinggal di desa? Jangan sampai, kini ia memiliki dua harapan. Ia tak suka orang desa, ia juga berpikir tak akan berkembang apabila tinggal di desa. Pusing dengan pikiran yang menghantuinya itu, ia tertidur dalam perjalanan.

"Hei, ma sweetie.... bangunlah, kita sudah sampai...," seru ayahnya sembari menarik pelan tubuh Luna.

Perlahan-lahan mata Luna terbuka, ia belum sepenuhnya sadar. Hal pertama yang ia lakukan adalah membuka ponselnya. "Papa, kita ada di mana? Apa tempat tinggal kita masih jauh? Atau kita harus menginap dulu di desa tanpa sinyal ini?" tanyanya setelah ia mendapati sinyal pada ponselnya hilang, pertanyaan itu seperti menginterogerasi karena penasaran dengan tempat asing di sekitarnya. 

Dalam bola matanya terpantulkan bayangan rumah dengan bahan bangunan dominan dari kayu dan cukup mewah untuk ukuran tempat ini. Di belakangnya, terdapat danau lengkap dengan kanoperahu kecilyang menganggur di tepian. Di sisi lain ada beberapa rumah yang sejenis, Luna menghitungnya dengan setengah sadar, namun ia yakin hitungannya tepat. Ada empat rumah yang tertangkap matanya saat ini, termasuk rumah yang kini berada di depannya.

Tiba-tiba ayahnya tertawa kecil. "Kau seperti wartawan saja tanya begitu, ini bukan tempat menginap, inilah rumah baru kita..."

"Papa?!!!!"

***

Dear Anonymous,

Harus bagaimana lagi aku? Hidupku memang sudah seperti sampah, terlalu tak berharga untuk dilahirkan dan terlalu hina untuk mati nanti. Katanya kejutan itu selalu membahagiakan dan setiap orang menantikan orang spesial memberinya. Nyatanya, kejutan untukku hanya seperti sebuah tong sampah yang dapat menempatkanku dan membuangku kembali ke tong sampah lain. Tak ada keadilan untuk hidupku.

Bagaimana bisa kembali adil? Kini aku harus tinggal di perdesaan yang antah berantah ini, hanya ada kicau burung, pemandangan alam yang membosankan. Tak ada manusia normal lagi yang bisa aku ajak bicara saat ini. Hanya ada tiga tetangga gila yang mengelilingi rumah ini. Ada pasangan suami istri yang mungkin psikopat selalu bertengkar satu sama lain, ada juga kakek tua menyebalkan yang ucapannya selalu memanaskan telinga dan yang terakhir pria gila senyum. Yang terakhir itu sepertinya benar-benar gila, nyatanya di mana ia berada ia selalu tersenyum. Menakutkan, tak ada yang normal.


Luna Caroline


Begitulah kesehariannya sekarang, hanya menulis tak jelas kemudian mengumpulkan semua tulisannya ke dalam kotak pribadi miliknya. Hingga suatu hari kebosanannya memuncak, ia keluar rumah menuju danau. Kano menjadi fokus matanya, namun ia tak tahu tentang danau itu, beberapa hal negatif hadir di dalam pikirannya saat ini. Mungkin saja ada buaya di dalamnya atau bisa saja danau itu memiliki cerita misteri yang dapat membawanya ke alam lain. Khayalan bodoh itu datang dan diikuti oleh kejutnya yang hadir secara tiba-tiba ketika ia merasakan seseorang ada di belakangnya. Ia takut, ia takut untuk menoleh, namun kepalanya sudah terhipnotis hingga akhirnya ia menoleh ke arah belakang.

Ia melompat terkejut setelah melihat seseorang benar-benar ada di belakangnya saat ini, cukup dekat dengannya. Pria ini... Seperti pernah mengenalnya. Ah bodoh, ini pria gila yang selalu tersenyum setiap kali ia melihatnya. Tetangga gila itu sekarang berada tepat di hadapannya, tanpa menghilangkan senyuman yang dianggapnya gila itu. 

"Apa yang kau lakukan di sini? Mengapa kau tiba-tiba ada di belakangku? Aku tak segan untuk berteriak jika kau berani menyentuhku, pria gila...," umpatnya tanpa kontrol, antara jijik dan ketakutan.

Pria itu mengembangkan senyumnya lebih lebar. "Bukankah seharusnya aku yang bertanya itu padamu? Aku setiap pagi berada di sini, sedangkan kau? Aku baru melihatmu keluar dari tempat tinggal barumu kali ini...," ucap pria itu dengan tenang. Tiba-tiba, ia menjulurkna tangan kanannya ke arah Luna, "Aaron Wijaya...," ucapnya bermaksud memperkenalkan diri.

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Pria gila itu berbicara padanya bahkan berusaha untuk mengenalnya. Pria gila? Tak akan ada pria gila berbicara setenang itu, ia salah menilainya, ternyata senyuman itu bukan gangguan kejiwaan. Senyuman itu selalu hadir untuknya, pria itu membuatnya gugup sekarang. 

Tiba-tiba...

"Luna....." Keputusannya bulat untuk menyambut juluran tangan pria itu, Luna berharap tak membuat kesalahan kembali untuk kesekian kalinya, ia berharap tak salah memutuskan untuk bersedia mengenal pria itu. Entahlah, rasanya ada hal yang membuatnya menjadi terlalu yakin kali ini.

Lupakan, jalani realitasmu, Luna...

Kini keduanya sudah benar-benar menjabat tangan satu sama lain. "Luna, tanganmu dingin...," ucap Aaron secara tiba-tiba setelah kulit telapak tangannya merasakan sesuatu yang berbeda dari tangan wanita itu.

Mendengar ucapan itu, serontak Luna melepaskan jabatan tangan itu, cukup terkejut mendengarnya. "Ehm... iya? Tanganku selalu dingin saat aku gugup...," ucapnya terbata-bata.

"Jadi sekarang kau sedang gugup?"

Skak!

Pertanyaan itu membuatnya seperti orang bodoh. Memalukan. Bisa-bisanya ia kelepasan di depan pria yang baru saja ia kenal. Apa yang terjadi padanya?

"Hei, kau suka sekali melamun...," ucap Aaron membuatnya cukup terkejut untuk kedua kalinya. "Aku melihatmu memandangi kano itu? Kau ingin menaikinya? Aku tak keberatan untuk menemanimu," tambahnya kemudian.

Lagi-lagi Aaron membuat Luna seperti orang bodoh yang tak bisa menolak dan mengelak setiap ucapan bahkan ajakannya. Luna semakin merasa pernah mengenal pria itu, mungkin hanya khayalannya kembali.

"Kau yakin danau itu tak ada buaya atau binatang semacamnya? Kau yakin danau itu baik-baik saja dari dulu?" tanya Luna seperti anak kecil yang sedang membodohi dirinya sendiri di depan orang tuanya.

Aaron tertawa kecil, ia suka kepanikan wanita, bahagia itu sederhana untuknya. "Mengapa kau tidak sekalian mengiraku sebagai siluman buaya putih, Luna?" ucapan Aaron menutup perbincangan mereka di satu latar yang sama dengan canda tawa dari keduanya. Tak lama, Aaron meraih tangan Luna kemudian menariknya menuju kano di tepi danau. Luna turut mengekor saja.

Hari itu Luna merasakan hal baru dalam hidupnya, teori-teorinya tentang perdesaan seakan-akan luntur begitu saja. Di tengah danau, matanya menjadi saksi akan indahnya semesta. Pemandangan Pegunungan Rocky yang jauh di sana tepantul jelas dalam binar bola matanya. Di sini semuanya terasa megah, bersih dan murni adanya. Bahkan ia dapat melupakan sejenak segala kerumitan yang ada di kota. Tak ada bau asap yang menusuk hidung, hanya ada jernihnya air danau yang damaikan relung. Tak ada deru kendaraan yang awali pagi, hanya kicauan burung yang menandai hari. Tanpa sadar dan dengan nyamannya, Luna meletakkan kepalanya di atas bahu pria itu. Bernyanyi, tertawa bahkan berbagi cerita menjadi lembaran baru pertemuan mereka, terlihat seperti dua orang yang telah saling mengenal cukup lama.

"Luna, aku ingin bertanya padamu..."

"Silahkan..."

"Apa hal yang kau takuti selama hidupmu?"

Tak langsung menjawab, Luna kembali tercengang setelah mendengarkan pertanyaan pria itu. Ia menggerakkan tubuhnya sekaligus mengubah posisi kepalanya yang semula berada di bahu Aaron, kini ia mengangkatnya tegak. Luna mendapati raut wajah Aaron yang terlihat serius dengan pertanyaannya, ia masih terdiam dengan menatap tajam mata pria itu. Tak lama, raut wajah Aaron pun mengisyaratkan 'apa ada yang salah dengan pertanyaannya' dan terlihat pula ia menunggu jawaban dari wanita yang menatapnya itu.

Tatapan tajam itu berubah, kepalanya yang tegak pun menjadi tertunduk lesu. "Mengapa kau tiba-tiba tanya begitu padaku?" tanya Luna.

"Aku hanya ingin tahu, aku suka cerita tentang kehidupan, semoga kau mengerti itu..."

Tiba-tiba...

"Masa lalu...," ucap Luna dengan tegas dan yakin itu adalah jawaban yang tepat.

Aaron mendengar pernyataan dari Luna, tangannya meraih dagu wanita itu dan memposisikan wajah wanita itu untuk sejajar di hadapannya, Luna sengaja membiarkannya. "Hei, kenapa kau menangis?" Ternyata perlakuan Aaron itu terjadi setelah melihat Luna tanpa sadar meneteskan air mata di tengah senyuman semunya. "Aku tak perlu tahu masa lalumu, tapi aku perlu memberimu satu ingatan bahwa masa lalu itu hanyalah sebuah ilusi. Seburuk apapun masa lalumu, aku yakin suatu hari nanti ilusi itulah yang menjadi cerita kecil saat kau dapat melupakannya...," jelas pria itu panjang lebar bermaksud menenangkan hati Luna.

Luna mengerutkan dahinya. "Mengapa sekarang kau mengguruiku? Lantas, kau sendiri... Apa yang kau takuti selama hidupmu?" balasnya untuk bertanya.

"Diriku sendiri?"

Luna terlihat semakin kebingungan, kerutan pada dahinya terlihat semakin jelas.

Aaron tersenyum saat mendapati ekspresi itu. "Ya, kau pantas untuk kebingungan. Kenapa aku takut dengan diriku sendiri? Karena aku tahu musuh terbesar manusia itu ada pada dirinya sendiri. Manipulasi sosial dan manusiawi telah membodohinya dalam bentuk emosi. Saat kau tak dapat mengontrol emosi yang ada dalam dirimu sendiri, itu artinya kau kalah. Untuk apa kau hidup sementara dirimu sendiri berhasil mengalahkanmu?" jelas Aaron.

"Mungkinkah ketakutanku akan masa lalu itu juga terikat dengan diriku sendiri?" tanya Luna.

Aaron kembali tersenyum, ia lega wanita itu memiliki pemikiran yang sejalan dengannya. "Kau tahu... Tak semua berlian itu sempurna, namun pada nyatanya ketidaksempurnaan berlian masih bernilai tinggi dibanding kesempurnaan batu. Semesta bicara tanpa bersuara, jangan pernah sesali yang ada pada dirimu sekarang karena kau tak akan tahu kejutan apa yang akan dibawa hari esok untukmu. Kadang terjatuh itu perlu untuk mengukur tingkat kedewasaanmu...," jelas Aaron kembali, terlihat sekali ia berambisi untuk berbagi cerita dengan wanita itu.

Kali ini Luna berhasil tersenyum dibuatnya. "Aku baru saja tersadar bahwa hari ini telah memberiku kejutan, kau tahu kejutan apa itu?"

"Apa?"

"Kau... Semesta mengirim dirimu sebagai kejutan untukku, senang bertemu denganmu, Aaron..."

Siapa yang menyangka, pria yang dianggapnya gila ternyata malah berhasil memberinya kisah yang lebih indah di lingkungan barunya. Semesta memang lucu dengan segala kejutannya. Luna merasa lebih nyaman hidup di tempat ini. Bahkan hal itu sudah dirasakannya semenjak Aaron mengajaknya untuk menaiki kano ke tengah danau. Semuanya berubah setelah itu, ia seperti menemukan kembali arti hidupnya yang cukup hina. Luna yakin, ia tak salah percaya dengan pria itu.

"Sebelum kau pulang, aku ingin menantangmu. Jika kau dapat bertahan hidup di tempat tinggal barumu ini selama setahun, aku akan memberimu kejutan yang lebih indah dari kejutan yang kau dapatkan hari ini. Bagaimana? Kau berani?" tantang Aaron sebelum mereka meninggalkan danau,

"Lihat saja nanti..."

Akhir dari sebuah awal perjalanan hidupnya yang baru. Pertemuan inilah yang menjadikan awal kisah persahabatan antara Luna dengan Aaron. Setiap hari Luna tetap menuliskan kisahnya dalam sebuah kertas yang terkumpul dalam sebuah kotak pribadi miliknya. Dan setiap hari pula Aaron membuat coretan baru dalam kisah nyatanya. Seakan-akan Luna memiliki dua kehidupannya sekarang. Tak akan ada yang menyangka sebelumnya.

***

Colorado, 17 Juni 2015.

Satu tahun berlalu. Luna lupa bagaimana rasanya menunggu kemacetan di kota, lupa bagaimana rasanaya melihat langsung perampok mencuri bank bahkan lupa bagaimana rasanya sampanye yang hampir berhasil membunuh karakternya. Yang terpenting, selama satu tahun di sini Luna berhasil melupakan apa yang terjadi pada masa lalunya, ia menghapus kenangan pahit itu secara perlahan. Memang benar, saat hidup kita harus belajar untuk mengenal proses, tak ada yang instan di dunia ini. Proses berkaitan dengan waktu yang entah berapa lamanya dan juga berkaitan dengan karakter-karakter baru yang hadir selama waktu itu. Kau tak akan bisa menolak hadirnya karakter tersebut dalam hidupmu, karena semua telah terjadi dan tertulis pada naskah skenario milik Tuhan. Kita hanya memiliki hak untuk mengubah alurnya tanpa mengubah akhir ceritanya.

Hari itu, hari yang ditunggu-tunggu oleh Luna. Sejak lama ia berusaha bertahan di tempat itu, ternyata waktu satu tahun itu tak terasa seperti yang ia kira sebelumnya. Tak lepas dari peran Aaron yang memotivasinya untuk bertahan dalam satu tahun itu. Kini, Luna berhak menagih janji yang telah Aaron lontarkan satu tahun silam.

"Aku ingin menagih janjimu...,"

Seperti biasa Aaron tetap tak berubah, senyuman itu selalu hadir di mata Luna. Bukan gila, sekali lagi bukan gila. "Tenang, aku bukan tipikal pria yang suka mengingkari janji, dan aku yakin kau pasti percaya padaku, Luna," ucapnya dengan percaya diri.

"Lantas?"

"Ikut aku..."

Luna membiarkan Aaron menarik tangannya dan membawa tubuhnya ke suatu tempat. Tak butuh waktu yang lama, mereka sudah berada pada tempat tujuannya. Wait, apa maksudnya? Aaron membawa Luna ke depan rumahnya sendiri. Lantas, apa kejutannya? Rumah Aaron? Terlihat sama, tak ada yang berbeda dari sebelumnya. Luna curiga Aaron hanya mempermainkannya saja.

"Apa maksudnya?"

Masih dalam senyumnya, pria itu menariknya kembali menuju pintu masuk rumah Aaron, kemudian langkahnya terhenti tepat di depan pintu tersebut. "Kejutan untukmu, ada di dalamnya... Aku tak memaksamu untuk membukanya sendiri, tapi aku berharap kau sendiri lah yang pertama kali melihat apa yang berada di dalamnya setelah kau buka nanti. Silahkan, Luna..."

Tubuh Luna gemetar, ia merasa tak siap untuk membukanya, perasaan takut pun menghinggapi tubuhnya. Namun, rasa penasaran lah yang berhasil menggerakkan tangannya untuk meraih gagang pintu hingga daun pintu pun terdorong dan terbuka lebar.

Shock!

Ayah?

Mary?

Apa maksudnya semua ini? Mengapa tiba-tiba ia bisa berada di sini? Apa ada hubungannya dengan kejutan dari Aaron? Mereka berdua mengenal Aaron sebelumnya?

Siapa Aaron sebenarnya?

Terlihat senyuman seorang Mary Claire seorang sahabat lama yang tiba-tiba kini berada tepat di depannya, tak lebih mengejutkan saat ia mengalihkan perhatian pada fokus lain. Ayahnya. Mengapa mereka berdua tersenyum seperti itu? Apa ini mimpi?

Mary beranjak dari tempat duduknya, kini terlihat ia sedang melangkahkan kakinya menuju sahabatnya itu. Tepat berada dekat di depannya sekarang. "Hai, Luna... Sudah lama tak berjumpa denganmu, apa kabar? Aku yakin tempat ini telah mengubah hidupmu, bukan?"

"Apa maksudmu? Apa maksudnya semua ini?"

"Tenang, Luna... Dengarkan aku dan ingatlah sesuatu. Kau ingat, dulu kau sempat tinggal di Indonesia selama tiga tahun untuk tinggal bersama ibumu sebelum beliau meninggalkanmu dengan tenang di sana? Semoga kau ingat juga saat kau akan kembali ke ayahmu yang berada di Perancis, di kota kelahiranmuParis. Saat itu pesawat yang kau tumpangi mengalami kecelakaan, beruntungnya kau selamat dari peristiwa itu. Namun, semenjak itulah kau tak ingat apapun, ingatanmu sangat kacau bahkan kau tak mengenali dirimu sendiri...," jelas Mary, ia sadar sahabatnya sudah meneteskan air mata sembari barhasil memulihkan memori-memori itu. "Aaron Wijaya? Kau melupakan seseorang dengan nama itu?" tanya Mary kemudian.

Air mata Luna semakin deras berlinangan di pipinya. Pertanyaan itu membuatnya berat untuk menatap pria yang beridir di sampingnya, walaupun pada akhirnya mereka berdua harus saling bertatapan. "Maaf, aku baru tersadar sekarang. Lantas, ke mana saja kau setelah peristiwa itu?" tanyanya untuk pria itu.

Senyuman yang selalu mengembang di bibir Aaron, untuk pertama kalinya berubah bersamaan dengan jatuhnya air mata haru pria itu. "Satu tahun yang lalu, aku pernah bercerita padamu bahwa aku takut dengan diriku sendiri. Itu alasannya, kenapa aku meninggalkanmu... Aku tak bisa mengontrol emosiku sendiri di tengah dirimu yang melupakanku. Aku memilih untuk pergi menghilang darimu, maafkan aku...," jelas Aaron, menyesal.

"Cukup, kau terlambat, apa kau tahu tentang....." ucap Luna terputus.

"Tak perlu kau jelaskan lagi, aku sudah tahu semuanya tentangmu dari Mary... Aku sudah pernah mengatakan padamu bahwa masa lalu hanylah sebuah ilusi, tak semua berlian itu sempurna... Aku tak pernah sekalipun keberatan menerima semua kekuranganmu, Luna...," sahut Aaron yang memutus ucapan Luna. Tak lama, Aaron meraih sesuatu yang ada dibalik shofa, terlihat ia memberikan sebuah bingkisan yang ditujukan untuk Luna.

"Apa ini?"

"Kejutan yang sebenarnya..."

Luna membuka bingkisan itu, kembali membuka sendiri kejutan untuknya. Sebelum terbuka sempurna... "Di dalam bingkisan itu, kau akan melihat karakter yang membantuku untuk mengalahkan diriku sendiri...," ucap Aaron.

Sebuah sketsa wajah Luna yang terlukis sangat indah terpantul di bola mata wanita itu lengkap dengan bingkainya. "Dan aku berharap saat kau membalikkan dan membaca tulisan di belakang lukisan itu, kau akan melupakan masa lalumu seperti saat kau melupakanku saat itu...,"





Ajari aku menggunakan pena,
Akan kutulis gemercik air, udara dingin, kabut senja sampai daun gugur...

Pasti akan ada...
Pasti ada orang yang mampu menerimamu,
Seburuk apapun masa lalu yang kamu miliki.
Orang yang bisa dengan lapang menerima masa lalu itu,
Dan menenangkanmu dengan kata-katanya,
Bahwa itu tidak masalah baginya,
Karena ia melihatmu hari ini dan mengajakmu ke masa depan...

Pasti ada orang yang akan menerima segenap kekuranganmu,
Ketika kamu sibuk untuk menutupinya,
Ia akan tersenyum dan mengatakan kepadamu,
Untuk menjadi dirimu sendiri saja, apa adanya...

Akan ada orang yang rela memberi segenap perhatian hidupnya untukmu,
Meski kamu pada dasarnya bukan siapa-siapa,
Dia ada untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu di atas,
Apa ada orang yang bisa menerimamu?
Jawabnya...
Ada...

Akan ada dan pasti ada,
Orang yang bisa menerimamu sedemikian rupa.
Kamu akan menemukannya hanya bila kamu berani mengungkap dengan jujur tentang siapa dirimu, bagaimana masa lalumu, apa saja ketakutanmu?

Kau akan menemukannya saat kau berani jujur tentang dirimu sendiri...

Kuharap kau kembali bersamaku,

Aku mencintaimu, Luna...



THE END

-----------------------------------
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

-baws-

Wednesday, 11 March 2015

The Jansen


(sekuel dari cerita "Suddenly": baca? klik di sini)


Keluarga dengan berjuta cerita, beribu prahara, namun juga meiliki ratusan pekerja. Manusia tak beradab ini menamai dirinya sebagai Jansen. Sebuah nama indah yang menjadi berdebu hingga beracun oleh penciptanya. Tak perlu memandang Jansen yang lain, hanya dengan membaurkan setitik materi saja apabila ada tangan mengadah dan mulut yang menganga yang berpadu dengan dosa yang terbodohi itulah Jansen yang anda baca saat ini. Temukan dan tersenyumlah pada semesta dengan bola mata yang terpantulkan sebuah objek yang lebih dingin dari es di kutub utara atau pun lebih panas dari matahari di tengah hari.

Ini bukan kisah melainkan sebuah duka. Duka nyata untuk seorang bocah yang belum bisa tengkurap dengan rengekan tangisnya yang bertakdirkan untuk tersentuh dan terikat dengan nama Jansen. Bola mata yang baru tercipta tak berdosa terpaksa harus mendapati manusia-manusia yang sibuk dengan kegiatan menukarkan kertas bernilai dengan wanita pemuas nafsu setiap harinya. Bukan hanya itu, hidung mungil miliknya pun juga tak sengaja sudah sedikit mencicipi aroma narkotika yang berserakan. 

Siapa bayi itu? Seperti pelacur dan pengguna narkotika saja. 

Di mana orang tuanya? Mungkin sudah di neraka.

Lantas bagaimana dengan keberadaannya itu? Ehm... ehm.... haruskah ku menebak bahwa anjing atau babi yang memeliharanya? Atau... yang lebih liar dari itu? 


*

Sambil menelan ludah, "Davin Jansen..."

"Hadir, Sir!"

Terdengar suara bising setiap kali orang-orang mendengar namanya. Semua bola mata pada atap yang sama tak segan-segan untuk memandangnya sinis. Sudah biasa. Biasa? Yap, tak ada yang salah dengar. Mungkin sebutan manusia terlahir sampah itu cocok untuknya, sekali hina selamanya hina. Selama sembilan belas tahun menjadi hina di mata orang tak masalah baginya, asalkan tak pernah hina untuk siapapun penciptanya. Itu prinsip hidup seorang Davin Jansen. Mahkluk hidup harus memiliki senjatanya sendiri untuk dapat bertahan hidup, tak perlu senjata tajam dalam genggaman untuk menguasai emosinya. Hanya sebuah kembangan bibir untuk satu hinaan yang telah membentengi hidupnya saat ini.

Masih dalam tatapan kejut dan kecapan-kecapan mulut yang belum berhenti menilai harga diri orang dari satu nama yang mereka dengar tadi. "Oh jadi itu anak dari keluarga Jansen?" ucap seseorang dari sudut lain.

"Ya kau tak salah dengar namanya, aku yakin...," sahut seseorang yang lain.

Wanita yang berada di sebelah orang tadi hanya menggelengkan kepalanya, tatapannya masih ragu, "Jadi kita satu kelas dengan anak mucikari dan bandar narkotika? Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?" tanya sesalnya sembari menepuk jidat tanpa poni miliknya.

Mucikari? Bandar narkotika? Davin Jansen juga sudah biasa mendengarnya. Dari tangan sepasang wanita mucikari dan pria bandar narkotika ia bisa memiliki umur hingga sembilan belas tahun seperti sekarang. Hanya tangan? Lagi-lagi benar, ia hanya mendapati wajah kedua pasangan itu saat otaknya masih tak memiliki nalar, namun rahim sang mucikari itu bukanlah yang melahirkan dirinya. Satu, dua, tiga anak harus meninggalkan dunia sebelum keluar dari rahimnyakeguguran, hingga saat sang bandar narkotika itu menemukan bocah mungil di tepi sungai setelah proses tawar menawar barang haramnya itu berhasil terjual. Meraih, membawa dan mengangkatnya hingga menyebutnya dengan nama Davin Jansenremaja bercap hina yang baru saja masuk kuliah dan baru saja menjadi hina untuk kesekian kalinya itu.

BRAAKKKKKK!!!!!!

"Shut up! Apa yang kalian bicarakan? Baru pertama masuk, baru pertama duduk di sini sudah sebising itu. Apa sekolah kalian yang dulu mengajari seperti itu? Tidak ada sopan-sopannya...," bentak dosen yang merasa dirinya kurang dihormati sembari menggebrak meja saking jengkelnya hingga seluruh mahasiswa tertunduk takut. Setelah keadaan kondusif kembali, kembali pula mulainya proses belajar mengajar hingga jam yang sudah ditentukan.

Davin terlihat berantusias mengikuti mata kuliah pertamanya, ia melupakan segala beban masalahnya sejenak hingga masalah hidupnya itu teringat kembali saat ia mendapati dosen tadi memperhatikannya diam-diam. Empatinya sangat kuat, ia yakin pria di depan kelas itu benar-benar memperhatikannya. Tak biasa seorang dosen mencampuri urusannya, kali ini seperti ada yang ingin disampaikan oleh pria itu untuk dirinya. Tak fokus hingga....

KRRRIIIINNNNGGGGGGG!!!!!!!!!!

Semua orang beranjak dari tempat duduknya tak terkecuali Davin Jansen yang hendak ke toilet. Setiap langkahnya selalu menjadi fokus setiap orang yang mengetahui nama dan latar belakangnya, masa bodoh baginya. Belum sempat menginjak lantai toilet pria, ia menghentikan langkahnya saat mendapati seorang pria masuk ke dalam toilet wanita. Tak ada pikiran negatif dalam otaknya, melainkan ia hanya berniat memberi tahu pria itu bahwa baru saja ia salah masuk toilet.

Saat hendak mengekornya, ia mendapati kembali pria itu berdiam diri di depan toilet yang tertutup. Saat daun pintu terbuka, ternyata rangsangan nafsunya juga ikut terbuka. Terlihat pria itu langsung memeluk paksa wanita yang baru saja keluar dari toilet. Melihat hal itu, Davin berlari ke arah pria hidung belang yang sedang berusaha menutup mulut wanita tadi. Tinjuan Davin melayang pada pipi pria itu hingga tergeletak kesakitan. "Pria bodoh, pria lemah, bisa-bisanya dikalahkan dengan nafsu sendiri...," ucap Davin.

Davin berpikir tak akan membuat masalah itu menjadi panjang, ia membiarkan pria hidung belang tadi kabur dan mengalihkan fokusnya pada wanita yang masih terlihat shock di belakangnya. Ia sedikit tercengang setelah melihat wajah wanita itu. Nadine Liesbethwanita yang baru saja ditetapkan untuk satu kelas dengannya, wanita yang sempat menghujat di belakangnya saat di kelas tadi.

"Nadine... Kau baik-baik saja?"

"Dav...," ucap Nadine terpenggal setelah tersadar siapa pria yang ada di depannya sekarang. "Eh... aku baik-baik saja, terima kasih atas bantuannya.....," ucapnya kemudian, terlihat ingin cepat-cepat meninggalkan pria yang terpandang hina itu. Takut dengan dasar omongan orang lain.

"Tunggu Nadine... Aku ingin bicara denganmu, hei jangan pergi... Hei... tak selamanya yang kau dengar tentangku adalah aku!" seru Davin, entahlah wanita itu mendangarnya atau tidak.

Davin paham, maka dari itu ia tak mengejarnya. Sekali hina selamanya hina, bukan begitu? Terserah, pikirnya. Tak lama ia mengingat akan niatnya untuk ke toilet, tak lama pula ia sudah berada di dalamnya. Ia membuka tasnya, kemudia meraih sesuatu di dalamnya. Sebuah kertas putih dan pensil dalam genggamannya sekarang.

Apa yang akan ia lakukan? Di toilet? Ternyata, ini bukan pertama kali untuknya, bahkan sudah biasa Davin melakukan hal seperti itu. Semenjak ayah angkatnya menjadi buron saat ia menginjak tiga belas tahun, berita tentang keluarga dan dirinya tersebar. Ibu angkatnya

Pulang, tujuannya saat ini. Langkah kakinya terpaksa terhenti dengan seretan pada lengannya ke arah gudang kampus. Terlihat paruh baya yang tak asing berada di depannya sekarang. "Kau.....," ucapnya kebingungan. Tuan Pietodosen yang baru saja mengajarnya dan sempat membuatnya curigakini tepat berada di depannya.

"Sssstttt....," desis Tuan Pieto dengan menyentuhkan jari telunjuk tangan kiri dengan mulutnya serta menghadangkan tangan kanannya pada mulut Davin. "Bicara seperlunya saja, aku tau kau curiga denganku, maka dari itu aku ingin menjelaskan semuanya dengan kau, tolong izinkan aku," pintanya kemudian.

Dengan mulut tertutup tangan Tuan Pieto, Davin hanya bisa memberikan jawaban dengan anggukan sebagai tanda izin untuk permintaan tadi. Setelah mulutnya terbuka kembali, satu langkah ia mundur dari arah Tuan Pieto, sekarang ia sudah bisa mendapati seluruh tubuh dosennya itu. Napasnya sedikit terengah-engah akibat pertukaran udara yang kurang teratur beberapa waktu tadi.

Tuan Pieto terlihat mulai menggerakan bibirnya, "Davin Jansen, remaja malang yang terpandang hina sejak lahir, bukan begitu?"

"Apa maksudmu?"

"Wow, wow, wow... Tenang, aku ada di posisimu Davin....," ucap Tuan Pieto ambigu. "Mungkin kau mengira aku seperti orang-orang lain yang hobi menghujatmu di belakang, tapi kali ini aku akan membuat perbedaan di depanmu," ucapnya kembali, masih saja ambigu.

"Sssstttt.... Tak perlu bicara dahulu, ini bukan debat...," sahut Tuan Pieto saat Davin hendak mengangkat bicaranya, terpenggal. "Malang sekali nasibmu, Nak... Masih seumur jagung sudah menjadi korban pasif bintang film dewasa seperti ini. Clark Jansen, ibu angkatmu? Mulus juga... Tom Jansen, ayah angkatmu? Percaya atau tidak, nasibnya sudah di ujung gerbang penjara....."

Tiba-tiba......

PROOOOOKKKKK!!!!

Tinjuan Davin melayang untuk kedua kalinya pada hari yang sama. Tuan Pieto langsung tersungkur, namun Davin masih tidak terima dengan perkataannya tadi. Bagaimana pun juga, kedua orang tua angkatnya yang sudah berperan membuatnya tetap hidup walaupun mereka juga yang memberi tekanan hidup pada Davin.

Badan Davin berada di atas Tuan Pieto yang terlentang sedikit kesakitan, tangan kirinya mencengkeram leher Tuan Pieto, tangan kanan sudah siap meninju untuk kedua kalinya. "Lakukan saja, Davin... Aku rela menjadi tempat pelampiasan sahabat anakku sendiri, aku yakin kau masih mengenali nama Alexander Keenan...," ucap Tuan Pieto dengan sedikit tersenyum dan menahan rasa sakitnya.

"Alex....." Mendengar nama itu, Davin melemaskan tubuhnya yang tegang atas amarahnya. Alexander Keenansatu-satunya manusia yang selalu ada dan selalu percaya padanya, sebut saja sahabat Davin. Namun itu dulu, komunikasi terakhir dengannya saat Alex memberinya kabar bahwa ibunya sedang dalam kecelakaan. Semuanya terlambat, Davin kehilangan kontak dengan sahabatnya yang menyusul ibunya entah di mana itu.

Tuan Pieto bangun dari posisinya, tangannya menepuk pelan pundak Davin sembari tersenyum haru. "Akhirnya aku menemukanmu, Nak! Sahabatmu telah tiada setahun setelah istriku mengalami kecelakaan itu, ia mengalami gangguan jiwa karena over shock kemudian membunuh dirinya sendiri, maafkan aku yang tak bisa menjaganya. Tapi, aku menyampaikan permintaan terakhirnya untukmu, ia menyuruhku untuk bertemu denganmu dengan satu alasan..."

Davin yang sudah dari tadi tak kuasa menahan air matanya, ternyata menyimpan rasa penasaran dengan cerita Tuan Pieto, "Apa alasannya? Tolong katakan padaku!" sahutnya kemudian.

"Alexander Keenan menyuruh seorang Davin Jansen untuk terus menulis segala huru-hara dalam kehidupannya, entahlah aku tak tau maksudnya... Sayangnya Alex lebih dahulu meninggalkan kita sebelum hendak menjelaskan maksudnya," jelas Tuan Pieto.

Davin mengusap air matanya, terlihat ia sudah merelakan kepergian sahabatnya, terlihat tegar dan segera membenahi dirinya. "Tak perlu dengan penjelasan itu, aku tahu maksud Alex, dulu ia sempat memberiku saran untuk perubahan hidupku...," ucapnya, sedikit terlihat menguatkan hatinya.

"Bagaimana katanya?"

"Dengan menulis dan menciptakan suatu karya yang dapat dikonsumsi umum. Dengan itu, mereka yang melihat latar belakangku akan termakan otak lancangnya sendiri, begitu kira-kira kata Alex..."

"Kau beruntung, Alex menitipkan ini untukmu...," ucap Tuan Pieto sembari menjulurkan tangannya yang menggenggam suatu kotak ke arah Davin. "Minta maaf juga dengan perkataanku tadi, namun itu masuk dalam skenarioku, aku sengaja menguji emosimu, lain kali lebih pintar untuk mengontrolnya karena segala sesuatu yang akan kau lakukan adalah pengaruh dari emosi," ucapnya kembali sembari menepuk-nepuk tegas pundak Davin.

Davin menarik napas panjang, "Terima kasih.... Davin..........," ucapnya lirih sembari menghembuskan napasnya hingga air mata pun menetes kembali.


***

11 Maret 2015 (sebelumnya di Suddenly: BACA? KLIK DI SINI)

Berbulan-bulan setelah kecelakaan pesawat itu, banyak sekali hal yang terungkap dan terasa seperti kebetulan bahkan skenario buatan manusia. Dari semenjak Nadine Liesbeth sadar dari amnesia yang menimpa dirinya, perlahan-lahan ia mulai mengingat semuanya. Davin Jansen adalah pria hina yang dulu pernah satu kelas dengannya saat kuliah di Singapore. Hampir saja ia menjadi tunangan pria hina itu.

"Masih terlihat hina kah?"

"Maafkan aku, Davin.... Andai aku tahu sebelumnya......"

Davin hanya tersenyum melihat penyesalan itu, namun ia tak mempermasalahkan kembali.Ternyata, semenjak Tuan Pieto memberikan kotak dari anaknya untuk sahabatnya itu, Davin benar-benar bekerja keras untuk mengubah hidupnya. Kotak itu berisikan sebuah laptop yang diyakini Davin sebagai alat pengganti kertas untuk media menulisnya hingga ia berhasil menuliskan satu buku tentang hidupnya yang berjudul "The Jansen". Tak disangka, buku itu laris di pasaran, namun satu keanehan Davin untuk tidak menuliskan namanya pada buku itu, ia hanya mencantumkan nama penanya yaitu "Alexander Dije". Alexander untuk nama sahabatnya yang telah tiada, Dije untuk singkatan dari namanya DJ atau Davin Jansen.

Skenario ini semakin menjadi-jadi semenjak bukunya beredar di Indonesia, buku itu tak sengaja menjadi bacaan seorang Nadine Liesbeth. Nadine yang meyakini itu tulisan Davin dan memutar memorinya pada saat Davin menyelamatkannya dari pria hidung belang, berniat untuk mencari seorang Davin Jansen. Ia bersikeras untuk menemuinya tanpa memberi tahu apa motivasinya untuk orang lain karena ini juga menyangkut privasi dari Davin sendiri. Hingga akhirnya, Roy Wijaya lah yang bersedia mengantarkannya pergi ke Singapore atas dasar cintanya pada Nadine. Namun naas kecelakaan pesawat itu malah menimpa mereka berdua.

"Maafkan aku, Davin... Mungkin hanya ini yang akan memperjelas maafku. Tolong dibaca saat kau menghadiri acara pernikahanku dengan Roy di akhir bulan....," ucap Nadine sembari memberikan suatu botol berisi kertas di dalamnya untuk Davin.

Takdir selalu memiliki kejelasan, seperti sekarang ini yang terungkap satu lagi hal tak terduga di skenario kehidupan mereka. Ternyata, kakek yang mengangkat Nadine setelah kecelakaan pesawat itu adalah orang yang sama dengan dosen yang menariknya ke dalam gudang saat kuliah dulu Tuan Pieto. Dari situ, terungkap juga bahwa nama ibu dari Alexander Keenan adalah Rhea Aleennama samaran yang digunakan untuk Nadine dari Tuan Pieto setelah mengangkatnya sebagai cucu. Memori Davin terputar kembali, ia teringat dengan perkataan Tuan Pieto saat di gudang bahwa sahabatnya meninggal karena bunuh diri setelah mengalami gangguan jiwa karena ibunya yang kecelakaan. Seperti yang Alex katakan pada Davin sebelumnya, ibunya itu benar-benar kecelakan dan semakin diperjelas setelah Tuan Pieto mengatakan bahwa Rhea Aleen tewas karena tenggelam di samudera.


***

Cepat sekali, tak terasa sudah akhir bulan. Pesta pernikahan Nadine Liesbeth dan Roy Wijaya sudah tergelar secara meriah. Davin Jansen yang kini menjabat sebagai kepala redaksi sebuah penerbitan buku mayor yang cuku terkenal itu menghadiri acara itu untuk menagih janji Nadine. Davin benar-benar melakukan apa yang Nadine pinta, ia tak pernah menyentuh botol pemberian dari Nadine hingga waktunya tiba. Dan akhirnya, waktu yang di tunggu-tunggu tiba....

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Semenjak aku mengetahui semuanya dari mulut ibuku bahwa seseorang yang aku sebut pria hina bernama davin jansen atau bahkan pria yang sangat aku kagumi diam-diam itu ternyata adalah kakak kandungku, kita lahir dari rahim yang sama aku berharap kau memaafkan ibu karena itu bukan salahnya. Ibu diperkosa oleh lelaki hidung belang, namun ia tak berani mengadukan pada ayahmu, hingga akhirnya kau dibuang dan selama ini yang diketahui orang-orang tentangmu adalah bayi yang hilang. Sekali lagi mohon jangan salahkan ibu, kau boleh membenciku tapi jangan untuk ibu, aku sayang padamu, Davin....

From: Nadine Liesbeth


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Takdir hidup sungguh telah menguji emosi Davin. Ia tetap akan menjadi pria hebat yang tak terkalahkan oleh emosinya sendiri. Ia melangkahkan kakinya hingga tubuhnya kini berada di depan Nadine Liesbeth. Serontak ia memeluk erat tubuh adiknya yang masih tercengang dengan kehadiran Davin secara tiba-tiba. "Selamat menempuh hidup baru, sayang...," bisiknya lirih bersamaan dengan tetesan air matanya yang perlahan berjatuhan.

Tubuh Nadine Liesbeth masih kaku, detak jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya hingga tak bisa untuk mengeluarkan sepatah kata pun, semuanya seakan berjalan singkat dan begitu mengejutkannya. Masih berusaha untuk menggerakkan bibirnya, hingga ia berhasil membisikkan balasan untuk kakaknya itu...


"Tak selamanya yang aku dengar tentangmu adalah kau..."

- Nadine Liesbeth -


THE END

-----------------------------------
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

-baws-

Saturday, 3 January 2015

Suddenly



Tujuh tahun setelah kejadian itu, tujuh tahun setelah Rhea Aleen tak mengingat apapun sebelumnya. Apa yang terjadi padanya? Mengapa ia merasa tak dilahirkan dan seakan langsung menjadi remaja? Pertanyaan basi dari hatinya itu selalu memaksanya untuk mencari jawaban. Lagi dan lagi, penyakit amnesia atau hilang ingatan yang selalu keluar dari mulut kakeknya. Lantas, siapa yang harus disalahkan lagi? Jika memang begitu, dimana kerabat lainnya?

"Selamat ulang tahun, Rhea Aleen!" ucap pria dengan umur yang jauh darinya, dengan rambut putih dan kacamata gelap sembari menjulurkan tangannya yang tengah menggenggam kue ulang tahun untuk cucunya itu.

Rhea tersentak, serontak tubuhnya terguncang membalik ke arah suara itu. Pertanyaan-pertanyaan basi tadi terhapus seketika, matanya yang baru saja terbuka dari dunia mimpi, kini fokus pada sesuatu yang membuatnya tak kuasa menahan haru. "Kakek.....," ucapnya kemudian, kue dengan perpaduan warna coklat, putih dan merah muda itu menjadi kue ke tujuh dari kakeknya selama yang Rhea ingat.

Melihat Rhea yang mematung haru, kakeknya berjalan mendekat. Bayangan lilin bertuliskan angka 27 itu semakin memenuhi bola matanya. "Selamat ulang tahun, cucu kakek!" serunya sekali lagi. "Semoga panjang umur dan bertambah segalanya yang lebih baik, ayo tiup lilinnya!" tambahnya kemudian.

Senyum Rhea mengembang bersamaan dengan matanya yang menutup perlahan, harapan-harapan keluar lirih dari mulutnya. Setelah kiranya semua telah terucap, ia kembali membuka matanya dan segera meniup lilin yang tersedia untuknya. Setelah tangannya mengambil alih kue itu dan meletakkannya ke meja, pelukan erat tertuju pada kakeknya. "Terima kasih kakek, selama ini cuma kakek yang selalu ada untuk Rhea... Rhea sayang kakek...," bisiknya dalam pelukan yang semakin erat.

Rhea selalu merasakan kesempurnaan jika sedang bersama dengan kakeknya. Namun satu yang selalu mengganjal hatinya, masa lalunya. Pelukan itu terlepas perlahan. "Coba kau tebak, siapa yang kakek bawa?" tanya kakeknya.

Seketika mata Rhea memandangi sekitar dengan tatapan curiga. Tak butuh waktu lama, tatapan itu terfokus oleh sesuatu yang bergerak dari luar pintu kamarnya. Ia tersentak setelah mendapati pria yang akhir-akhir ini menemani dan memberi kisah cinta pada hidupnya hadir membawa boneka beruang yang setinggi dirinya. Hal itu memaksa kedua tangannya untuk menutup longohan kejut mulutnya. Awal hari yang penuh kejutan untuknya.

"Hai... Happy birthday, honey!" seru Davin Jansen setelah mendapati kekasihnya mematung haru sembari mendekat ke arahnya.

"Davin........"

"Maaf untuk janji itu, aku gagal," ucap Davin dengan nada kecewa, namun anehnya mimik wajahnya tidak ada raut kekecewaan bahkan senyumnya hampir mengembang, sepertinya ada sesuatu.

"Janji apa?"

"Kau lupa janjiku kemarin? Aku ingin menjadi orang pertama yang memberi ucapan itu padamu, maaf karena kalah cepat dengan kakekmu ini," jelasnya dengan nada canda sembari menepuk pelan pundak kakek Rhea.

"Ah, kau ini... By the way, thank you very much, honey!"

Saat boneka beruang setinggi dirinya berada dalam pelukan Rhea, tiba-tiba tangannya menjamah sesuatu kotak kecil yang mengganjal di bagian belakang boneka itu. Dan saat bersamaan itu pula, tangan Davin menggenggam erat jamahan tangan kekasihnya hingga kotak kecil itu berada dalam dua genggaman sepasang kekasih ini. Perlahan-lahan Rhea menarik tangannya yang sedang menggenggam dan digenggam itu dengan raut wajah curiga, diperkuat pula dengan raut wajah kekasihnya yang terlihat tersipu malu. Dengan cekatan, Davin mengambil alih kotak itukotak kecil berwarna merah dengan pita putih yang mempercantiknya―kemudian membuka dengan gerakan elegan tepat di depan kekasihnya. Dan...

Perasaan apa ini? Rhea tak paham dengan dirinya sendiri setelah kotak itu terbuka. Cincin berlapis emas berhasil membuat bola mata Rhea berkerlipan haru. Haru? Tidak sepenuhnya. Lantas? Dirinya tak paham. Ketidakpahaman aneh itu yang membuat perasaannya semakin tak karuan, hingga Rhea menangis histeris secara tiba-tiba. Belum sempat melingkari salah satu jari Rhea, cincin itu tergenggam kembali di tangan Davin yang terlihat panik, ia segera memeluk kekasihnya.

Panik. Davin menghela napas dalam pelukan, berusaha menenangkan dirinya. "Kau kenapa?" tanyanya kemudian, namun Rhea masih belum berhenti dalam tangisnya. "Hei... hei... Rhea, tenang... Sudah, honey... Ada aku di sini, kau bisa cerita semuanya denganku...," tambahnya sembari melepaskan pelukannya dan menghapus air mata kekasihnya yang bermaksud menenangkan.

Tak enak melihat masalah pribadi kedua pasangan itu, kakek Rhea meninggalkan mereka berdua untuk saling menjelaskan secara leluasa dengan empat mata. Melihat kakeknya menjauh, Rhea perlahan meredakan tangisnya walaupun masih tersedu-sedu. "Hei... Kau kenapa, honey?" tanya Davin kembali, berharap mendapat jawaban dari Rhea.

"Maafkan aku......."

"Buat apa?"

"Mimpi itu......"

Mimpi? Apa selama ini mimpi yang selalu menghantui Rhea waktu itu masih hadir dalam tidurnya? Davin kira sudah tak ada lagi.

"Selama ini, aku bermimpi seakan-akan aku memiliki kekasih dalam dunia mimpi itu. Anehnya, dalam mimpi itu aku sangat mencintai pria itu, bahkan tak ada kau dalam kisahnya. Dan semalam, pria itu bertunangan denganku dan kami berjanji untuk... Ah, aku lupa apa lanjutannya..."

Penjelasan dari Rhea yang tak bisa dilupakan Davin. Bukan karena isi mimpinya, melainkan dengan akibatnya yang membuat Rhea selalu tak bisa menerima cincin ataupun ajakan Davin untuk melanjutkan hubungannya ke tahap yang lebih serius. Sudah berbagai cara Davin lakukan, namun belum sekalipun Rhea menerimanya dan selalu beralasan mimpi itu. Padahal, Davin yakin tak ada pria lain dalam dunia nyata selain dirinya dan ia pun yakin Rhea hanya mencintai dirinya.


*

Tersika dalam dilema

Antara cinta dan prahara

Seperti teman hidup namun tak hidup

Atau mati namun berdenyut nadi

Andai...

Andaikan.....

Pria itu diriku,

Wanita itu milikku

Mimpi itu duniaku.........


Puisi singkat untuk Rhea sebelum Davin meninggalkannya secara misterius ke luar negeri yang tak akan disebutkan negara mana Davin akan singgah untuk Rhea. Davin hanya menjelaskan singkat pula, bahwa ia akan kembali apabila bisa mendapatkan jawaban dari mimpi Rhea.

Perlu waktu yang cukup lama bahkan berbulan-bulan Davin bisa beradaptasi di negeri orang. Ia menyerahkan semua pekerjaannya di Singaporenegaranya sendiri―kepada pegawai-pegawainya. Di sini, ia mendapatkan kehidupan baru sebagai jurnalis. Bukan itu tujuan hidupnya sekarang, ia hanya ingin bekerja dengan wawasan luas. Siapa tahu informasi tentang mimpi Rhea dapat diraih dari pekerjaannya.

Tentu ia tak bisa hidup sendiri di negeri orang, Davin menemukan sahabat yang datang dari pekerjaan yang sama dengannyaRoy Wijaya. Ia selalu bercerita keluh kesah tentang pekerjaannya kepada Roy. Sebagai sahabat, Roy selalu bersedia menjadi pendengar keluhan Davin, bahkan ia selalu membantu yang sekiranya ia mampu. Walaupun begitu, Davin belum pernah menyentuh atau menceritakan sedikit pun kisah cintanya dengan Rhea pada Roy. Atau ia sudah lupa? Tidak, Davin tak mungkin mudah melupakan wanita yang dicintainya, ia bukan tipikal pria seperti itu. Mungkin Davin hanya mencari waktu yang tepat sekaligus merangkai kata-kata yang berlogika untuk diceritakan pada sahabatnya. Wajar saja, yang akan dibahasnya adalah dunia mimpi, ia takut Roy hanya akan menertawakannya.

Dan benar, hampir setahun setelah kepergiannya dari Rhea, ia baru berhasil menceritakan semua kisahnya pada Roy. Ia menceritakan secara detail, satu per satu hingga cerita khayal itu berlogika. Roy mendengarkan hingga selesai. Namun anehnya, kali ini Roy terlihat gelisah dan sangat antusias untuk mendengar cerita itu. "Jadi bagaimana, Roy? Apa pendapatmu?" tanya Davin.

Roy hanya mematung, benar-benar pada pandangan kosong. Apa yang ia pikirkan?

"Hei, Roy... Aku bertanya padamu...,"

"Ehm... ehm..." Roy baru sadarkan diri dari lamunannya.

"Apa yang kau lamunkan, brother?"

"Ehm... Oh, tidak, aku hanya ingin bertemu dengan kekasihmu..."

Mendengar pernyataan sahabatnya, Davin melongoh kebingungan. Mengapa tiba-tiba Roy ingin bertemu dengan Rhea? Padahal tak ada hubungannya dengan cerita tadi, ia hanya menanyakan pendapat tentang mimpi itu. "Kau serius?" tanya Davin, meyakinkan.

Roy terkesiap dan bingung dengan pernyataannya sendiri, ia merasa seakan-akan ada dalam cerita Davin. "Maksudku, aku ingin bertanya dengan kekasihmu tentang mimpi itu, Vin," jelasnya masih ambigu.

Davin mengerutkan keningnya. "Bertanya apa? Aku yang kekasihnya saja, selalu tak bisa mendapatkan jawaban darinya, apalagi kau yang bukan siapa-siapanya...," ucap Davin menyangkal.

"Dia tinggal bersama siapa saja, Vin?" tanya Roy kembali, membuat Davin semakin curiga.

"Mengapa kau menanyakan hal itu, Roy? Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Tolong jawab pertanyaanku tadi..."

"Bersama kakeknya."

"Itu saja? Di mana kerabat lainnya?"

"Tak tahu, dulu kakeknya pernah sedikit bercerita bahwa hampir delapan tahun lalu Rhea adalah korban kecelakaan mobil yang merenggut nyawa ayah, ibu dan adiknya. Namun, setelah aku tanya lebih lanjut, beliau tak mau menceritakan lagi, ada rahasia keluarga yang terjadi di masa lalu, begitu katanya. Jadi aku tak berani menyentuh masa lalu Rhea, aku hanya mencintai Rhea untuk sekarang dan masa depannya."

Kecelakaan. Amnesia. Rahasia. Masa lalu... Bohong! Ah, apa yang ada dalam pikiran Roy? Seakan-akan ada skenario dalam karakter Rhea. Tak lama, Roy meyakini sesuatu. Ia menghubungkan fakta-fakta dalam dirinya dan kenyataan masa lalu itu pada Davin. Setelah semuanya terhubung, terungkap sudah sebuah hipotesa yang memaksa Davin untuk kembali ke negaranya.


*

Luapan rindu tumpah di hari kedatangan Davin kembali. Rhea tak kuasa menahan tangisnya, walaupun merasa kecewa dan menyesal Davin meninggalkannya dengan cara seperti itu. Hari itu Rhea kembali berulang tahun, bertambah satu tahun usianya, bertambah pula kejutan dari kekasihnya. Namun, raut wajah Davin tak menunjukkan kebahagiaan saat itu hingga membuat Rhea curiga. Apalagi yang akan terjadi? Apakah Davin ingin memberi kejutan lagi? Begitu pikirnya. Ternyata benar setelah pria asing berkulit sawo matang muncul dan berjalan mendekati mereka. Kejutan? Tapi siapa pria ini? Kepalanya seperti berputar-putar, pria asing itu membuatnya sakit kepala.

"Ehm, iya... Ini perkenalkan Roy Wijaya, dia adalah partner kerjaku di Indonesia..."

Partner kerja?

Indonesia?

Jadi selama ini Davin memiliki pekerjaan lain? Di Indonesia? Saking terkejutnya, ternyata kedatangan Davin berhasil membuat Rhea lupa untuk menanyakan kepergian kekasihnya selama setahun itu. Bodoh. Kembali beralih fokus pada hal lain...

Siapa tadi nama pria itu? Roy... Wijaya....



Sembari menyebutkan nama lengkap Roy, pandangan Rhea berkunang-kunang, tangannya mulai memegang kepala yang kali ini benar-benar terasa sakitnya. Ada apa ini? Tak biasa Rhea seperti ini. Pingsan.

Siuman. "Roy Wijaya.....," ucap Rhea lirih, setangah sadar. Setelah beberapa kali ia menyebut nama itu dan sudah sepenuhnya sadar, tubuhnya tersentak, napasnya terengah-engah setelah kembali melihat wajah Roy.

Roy menghadapinya dengan tenang. "Hai, Nadine Liesbeth...," sapa Roy, membuat kakek Rhea yang ternyata daritadi menyaksikan hingga tersentak.

***

Ternyata, mimpi itu nyata. Davin bukan kembali dengan tangan kosong, ia berani kembali dengan menggengam janjinya. Terungkap sudah, skenario tak berlogika namun nyata adanya yang didalangi oleh kakek yang mengaku memiliki cucu bernama Rhea. Amnesia itu merupakan bukti ambigu dari masa lalu sepasang kekasih yang menjadi korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501Roy Wijaya dan Nadine Liesbeth. 

Dulu, tepatnya sebelas tahun yang lalu, Nadine masih berumur 17 tahun. Ia memiliki kekasih bernama Roy Wijaya tersebut. Hingga suatu hari, dalam perjalanannya menuju Singapore bersama kedua orang tua Nadine, Roy berjanji akan selalu menjaga Nadine dengan memasang cincin ke jari Nadine sebagai tandanya. Belum sampainya terpasang cincin itu, naas pesawat yang ditumpanginya mengalami kehilangan kontak hingga jatuh di sekitar Teluk Kumai, Selat Karimata.

Sehari setelah kejadian itu, seorang pelaut menemukan sosok wanita yang mengambang di atas serpihan pesawat. Setelah menyelamatkannya dengan keadaan hidup, membawanya pulang, dan berpindah tempat tinggal, skenario itu dimulai.

Terciptalah kembali nama Rhea Aleensetelah nama istrinya yang tewas tenggelam di samuderauntuk nama samaran Nadine Liesbeth yang ditemukannya dalam keadaan amnesia. 

"Lantas bagaimana kau bisa selamat?" 

"Maafkan aku.....," sela kakek itu sembari bersujud dalam tangisan di hadapan Roy. "Aku juga menemukan Roy, namun aku tak membawanya pergi bersama Nadine...," tambahnya mengaku.

"Dan akhirnya pertanyaanku terjawab sudah, itulah mengapa aku bisa selamat seorang diri di Pulau Kalimantan," ucapnya sembari menaikkan tubuh kakek itu. "Aku dan Nadine selamat karena kakek dan berpisah karena kakek, itu artinya....."


"Ketika titik temu dapat berjalan dengan waktu, dapatkah cinta berjalan dengan masa lalu?"




#PrayForQZ8501

"Flight attendants don't die, they just fly higher..."


THE END

-----------------------------------
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

-baws-
Black Moustache