Saturday, 4 July 2015

The God's Script




Bodoh, sudah hampir seharian dirinya berada di luar rumah, Luna Caroline sadar bahwa dirinya meninggalkan rumah setelah ayahnya berpamitan keluar untuk membeli tiket pesawat untuknya. Saat itu matahari baru saja menyambut semesta, lagi-lagi untuk kesekian kalinya ia gagal untuk menutup matanya saat petang. Luna merasa siklus tidur dan rasa kantuknya sudah tak normal lagi. Setiap malam, ia selalu berharap keajaiban datang padanya walaupun itu hanya datang pada mimpinya. Namun kenyataannya, untuk bermimpi pun ia tak sanggup. Ada apa dengannya? Apa ini berhubungan dengan masa lalunya?

Masa lalu?

Sebuah kenangan pahit tengah menghantuinya. Berawal dari sebuah rasa cinta yang membutakan matanya hingga mematikan syaraf pada otaknya. Malam itu, Luna tak ingat apapun, ia hanya merasakan dirinya yang sedang bahagiakebahagiaan semu. Sampanyeminuman anggur putih bergelembung dari Perancisitu membuat rasa gugupnya hilang dan menghadirkan ilusi-ilusi dalam otaknya. Terbodohi. Pandangannya mulai kabur, ia berjalan sempoyongan dengan senyuman kebahagiaan yang terus mengembang hingga ia lupa apa yang terjadi setelahnya. Dengan setengah sadar dan samar-samar, Luna seperti mendapati kekasihnya hadir di dalam mimpinya. Ia juga tak melupakan bisikan dari kekasihnya yang terdengar lirih di telinganya secara berulang-ulang. Malam itu terasa sangat bahagia untuknya, Luna tengah merasa menjadi wanita sempurna yang lepas dengan segala masalahnya di dunia ini.

Pagi itu, sinar mentari menembus kaca jendela hingga menyengat tubuh Luna Caroline. Ia baru tersadar dari ilusinya semalam, ia juga baru tersadar bahwa sengatan sinar mentari itu sangat menusuk kulitnya. Hingga ia baru saja hendak tersadar kembali dengan hal lain, ketika ia merasakan seseorang menggenggam tangannya. Napasnya terhenti sejenak, degup jantungnya terasa cepat. Hal yang paling ia takuti, telah terjadi pada awal harinya. Sambutan semesta yang cukup mengejutkan untuknya.

"Halo, Babe! Kau sudah bangun dari tidur nyenyakmu? Love you...,

Suara itu... sapaan itu... Luna sangat mengenalnya.

"Derrick? Apa yang kau lakukan di sini?" ucapnya gemetaran sembari mengubah posisi tubuhnya hingga ia tersadar bahwa tak ada sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Ia merebut selimut yang dikenakan kekasihnya itu.

Pria itu mendekati Luna perlahan, senyumnya mengembang. "Hei tenanglah, kau akan bahagia bersamaku, tak ada yang harus dipermasalahkan, honey..." ucap Derrick dengan cukup tenang. Tak lama, ia mendapati air mata Luna yang menetes keluar. "Hei Luna, dengarkan aku... sesekali bersenang-senang itu tak ada salahnya, bukan?" tambahnya kemudian.

Luna sedikit menjauh dari kekasihnya, terlihat jijik. "Mudah sekali kau mengatakan itu padaku? Mudah sekali kau menyetubuhiku dalam semalam? Apa dengan mudah orang tuamu mendidikmu hingga seperti itu, Derrick? Ternyata, dari awal aku salah menilaimu, kukira kau pria yang bisa membantuku untuk menjaga prinsipku, ternyata kau pria biadab, Derrick!" seru Luna yang tak sadar air matanya sudah bercucuran deras. Tanpa komando, tamparan pun melayang menuju pipi Derrick.

Derrick mengerutkan dahinya, ia menegakkan tubuhnya dan menatap tajam mata Luna. "Berani-beraninya kau mengatakan itu padaku, berani-beraninya kau menyangkut-pautkan orang tuaku? Masa bodoh dengan prinsipmu, wanita kuno! Anggap kau tak pernah mengenalku, bitch!" balas Derrick dengan nada yang lebih tinggi dari ucapan Luna sebelumnya. Kemudian ia mendorong kasar tubuh Luna dan meninggalkannya begitu saja.

Semenjak itulah Luna menganggap dirinya sebagai sampah. Ia jarang berhubungan kembali dengan orang-orang di sekitarnya. Hingga suatu ketika, ia mempercayai sahabatnyaMary Clairesebagai tempat mencurahkan hatinya. Ia tertutup pada semua orang, namun tidak untuk seorang Mary Claire.

***

Luna kembali menyesap banana smothies minuman favoritnya di kafe ujung kota sembari menatap mata sayu Mary. Selalu saja, perbincangan tentang diri Luna yang hina keluar dari mulut mereka berdua. Masalah, solusi, masalah kembali, solusi kembali tanpa akhir yang tepat. Hingga di ujung malam, mereka terbuyarkan oleh dering ponsel milik Luna. 

Ayah?

"Halo, Papa?"

"Hei, kau ke mana saja, ma sweetie?"

Luna belum menjawab pertanyaan itu, ia melirik sahabatnya dan memberitahunya dengan lirih bahwa ayahnya yang sedang menelpon. 

"Ehmm...hei...halo, Papa... Aku sedang menginap di rumah Mary...," ucapnya, membuat Mary serontak menginjak kaki Luna, kemudian Luna memberitahunya kembali untuk tetap tenang melalui isyarat.

"Ma sweetie, apa kau lupa kita harus pindah ke Colorado esok hari dan kau masih sempat kelayapan?" tanya ayahnya.

"What the...." mulut Luna seakan kaku tak percaya. "Kita jadi pindah, Pa? Besok?"

"Aku minta kau pulang sekarang..."

Tanpa penjelasan lebih lanjut, ayahnya langsung menutup panggilan itu. Luna tahu betul karakter ayahnya, jika dirinya tak pulang sekarang, hukuman telah menantinya. Apa yang harus ia perbuat sekarang? Lemas rasanya mendengar keputusan mendadak dari ayahnya itu, Luna tak mungkin bisa meninggalkan kota kelahirannya, ia sudah terlalu mencintai kota dan memori-memori di dalam kota ini. Harapannya sekarang hanyalah menunggu ayahnya untuk berubah pikiran walaupun harus menghadirkan keajaiban.

Semenjak panggilan itu terhenti, Luna masih terdiam dan menatap kosong sekitar. Matanya sekedar formalitas yang terpasang, semua sistem syarafnya sudah memusat pada pertanyaan-pertanyaan yang membebani otaknya. Luna pun sempat lupa atas keberadaan Mary di sampingnya, itulah yang membuat perhatian sahabatnya itu tertuju padanya.

Mary menampar pelan pipi Luna, bermaksud menyadarkan lamunannya. "Hei Luna, kau kenapa? Kau tidak kerasukan, kan? Hei! Aku berbicara padamu, Luna...," ucap Mary sembari menyadarkan sahabatnya.

Tiba-tiba dalam lamunannya, mulut Luna mengeluarkan kata secara lirih. "Mary... Bagaimana menurutmu jika tiba-tiba aku menghilang?" ucapnya ambigu.

"Apa maksudmu? Sadarlah, Luna..."

"Aku bicara dengan sadar, Mary...," ucap Luna kemudian, air mata menetes tanpa sadar. "Inilah hal yang kutakuti, kau tau karakter ayahku, bukan?" tambahnya kemudian.

Terlihat raut muka Mary yang tengah berpikir. "Ayahmu? Yang selalu kutahu dari ayahmu adalah hukuman tak wajar jika kau melakukan kesalahan, hanya itu. Benarkah begitu?" jawab Mary, menebak dan ragu dengan ucapannya.

Luna mengangguk yang berarti membenarkan tebakan sahabatnya. "Sebelum pergi entah kemana, Derrick merekam kejadian denganku pada malam itu, ia membagikan video itu melalui email ayahku, itulah intinya aku menyuruhmu untuk menemaniku seharian itu, aku takut ayahku menghukumku kembali...," jelas Luna.

"Lantas?"

"Hukuman itu sudah dipersiapkannya untuk esok, aku harus meninggalkan kota ini beserta semua kenangan yang ada di dalamnya, tak kecuali aku juga harus meninggalkanmu. Aku tak yakin bisa menjalankan hukuman itu, aku berniat untuk lari dan menghilang, Mary...," jelas Luna kembali yang semakin panik dengan keadaannya sekarang.

"Luna, dengar aku sebagai sahabatmu... Dengan lari kau bisa apa? Dengan menghilang, apa kau bisa menghapus semua masalahmu? Apakah kau akan bisa menghapus semua kejadian malam itu? Masa lalu tetaplah masa lalu, waktu tak akan pernah berjalan mundur. Lupakan hal itu, tugas yang harus kau selesaikan secepatnya adalah menjadikan luka saat terjatuh untuk senjata di masa depan. Luka itulah yang menjadi tolak ukur kedewasaanmu sekarang...," ucap panjang lebar dari Mary yang mencoba menenangkan sahabatnya itu. "Jadi, kau tinggal menuruti saja apa kata ayahmu dan menunggu kejutan hari esok untukmu. Aku yakin kau akan mendapatkan yang terbaik, percayalah padaku, Luna..."

***

Colorado, 13 Juni 2014.

Sepanjang perjalanan dari bandara menuju tempat yang katanya akan menjadi tempat tinggal barunya, Luna hanya berharap satu... Ia sangat ingin mengubah hidupnya di sini, sesederhana itu. Keningnya berkerut saat ia memasuki wilayah yang penuh dengan pohon dan lahan yang masih luas. Ini perdesaan, ia yakin itu. Mungkinkah ia akan tinggal di desa? Jangan sampai, kini ia memiliki dua harapan. Ia tak suka orang desa, ia juga berpikir tak akan berkembang apabila tinggal di desa. Pusing dengan pikiran yang menghantuinya itu, ia tertidur dalam perjalanan.

"Hei, ma sweetie.... bangunlah, kita sudah sampai...," seru ayahnya sembari menarik pelan tubuh Luna.

Perlahan-lahan mata Luna terbuka, ia belum sepenuhnya sadar. Hal pertama yang ia lakukan adalah membuka ponselnya. "Papa, kita ada di mana? Apa tempat tinggal kita masih jauh? Atau kita harus menginap dulu di desa tanpa sinyal ini?" tanyanya setelah ia mendapati sinyal pada ponselnya hilang, pertanyaan itu seperti menginterogerasi karena penasaran dengan tempat asing di sekitarnya. 

Dalam bola matanya terpantulkan bayangan rumah dengan bahan bangunan dominan dari kayu dan cukup mewah untuk ukuran tempat ini. Di belakangnya, terdapat danau lengkap dengan kanoperahu kecilyang menganggur di tepian. Di sisi lain ada beberapa rumah yang sejenis, Luna menghitungnya dengan setengah sadar, namun ia yakin hitungannya tepat. Ada empat rumah yang tertangkap matanya saat ini, termasuk rumah yang kini berada di depannya.

Tiba-tiba ayahnya tertawa kecil. "Kau seperti wartawan saja tanya begitu, ini bukan tempat menginap, inilah rumah baru kita..."

"Papa?!!!!"

***

Dear Anonymous,

Harus bagaimana lagi aku? Hidupku memang sudah seperti sampah, terlalu tak berharga untuk dilahirkan dan terlalu hina untuk mati nanti. Katanya kejutan itu selalu membahagiakan dan setiap orang menantikan orang spesial memberinya. Nyatanya, kejutan untukku hanya seperti sebuah tong sampah yang dapat menempatkanku dan membuangku kembali ke tong sampah lain. Tak ada keadilan untuk hidupku.

Bagaimana bisa kembali adil? Kini aku harus tinggal di perdesaan yang antah berantah ini, hanya ada kicau burung, pemandangan alam yang membosankan. Tak ada manusia normal lagi yang bisa aku ajak bicara saat ini. Hanya ada tiga tetangga gila yang mengelilingi rumah ini. Ada pasangan suami istri yang mungkin psikopat selalu bertengkar satu sama lain, ada juga kakek tua menyebalkan yang ucapannya selalu memanaskan telinga dan yang terakhir pria gila senyum. Yang terakhir itu sepertinya benar-benar gila, nyatanya di mana ia berada ia selalu tersenyum. Menakutkan, tak ada yang normal.


Luna Caroline


Begitulah kesehariannya sekarang, hanya menulis tak jelas kemudian mengumpulkan semua tulisannya ke dalam kotak pribadi miliknya. Hingga suatu hari kebosanannya memuncak, ia keluar rumah menuju danau. Kano menjadi fokus matanya, namun ia tak tahu tentang danau itu, beberapa hal negatif hadir di dalam pikirannya saat ini. Mungkin saja ada buaya di dalamnya atau bisa saja danau itu memiliki cerita misteri yang dapat membawanya ke alam lain. Khayalan bodoh itu datang dan diikuti oleh kejutnya yang hadir secara tiba-tiba ketika ia merasakan seseorang ada di belakangnya. Ia takut, ia takut untuk menoleh, namun kepalanya sudah terhipnotis hingga akhirnya ia menoleh ke arah belakang.

Ia melompat terkejut setelah melihat seseorang benar-benar ada di belakangnya saat ini, cukup dekat dengannya. Pria ini... Seperti pernah mengenalnya. Ah bodoh, ini pria gila yang selalu tersenyum setiap kali ia melihatnya. Tetangga gila itu sekarang berada tepat di hadapannya, tanpa menghilangkan senyuman yang dianggapnya gila itu. 

"Apa yang kau lakukan di sini? Mengapa kau tiba-tiba ada di belakangku? Aku tak segan untuk berteriak jika kau berani menyentuhku, pria gila...," umpatnya tanpa kontrol, antara jijik dan ketakutan.

Pria itu mengembangkan senyumnya lebih lebar. "Bukankah seharusnya aku yang bertanya itu padamu? Aku setiap pagi berada di sini, sedangkan kau? Aku baru melihatmu keluar dari tempat tinggal barumu kali ini...," ucap pria itu dengan tenang. Tiba-tiba, ia menjulurkna tangan kanannya ke arah Luna, "Aaron Wijaya...," ucapnya bermaksud memperkenalkan diri.

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Pria gila itu berbicara padanya bahkan berusaha untuk mengenalnya. Pria gila? Tak akan ada pria gila berbicara setenang itu, ia salah menilainya, ternyata senyuman itu bukan gangguan kejiwaan. Senyuman itu selalu hadir untuknya, pria itu membuatnya gugup sekarang. 

Tiba-tiba...

"Luna....." Keputusannya bulat untuk menyambut juluran tangan pria itu, Luna berharap tak membuat kesalahan kembali untuk kesekian kalinya, ia berharap tak salah memutuskan untuk bersedia mengenal pria itu. Entahlah, rasanya ada hal yang membuatnya menjadi terlalu yakin kali ini.

Lupakan, jalani realitasmu, Luna...

Kini keduanya sudah benar-benar menjabat tangan satu sama lain. "Luna, tanganmu dingin...," ucap Aaron secara tiba-tiba setelah kulit telapak tangannya merasakan sesuatu yang berbeda dari tangan wanita itu.

Mendengar ucapan itu, serontak Luna melepaskan jabatan tangan itu, cukup terkejut mendengarnya. "Ehm... iya? Tanganku selalu dingin saat aku gugup...," ucapnya terbata-bata.

"Jadi sekarang kau sedang gugup?"

Skak!

Pertanyaan itu membuatnya seperti orang bodoh. Memalukan. Bisa-bisanya ia kelepasan di depan pria yang baru saja ia kenal. Apa yang terjadi padanya?

"Hei, kau suka sekali melamun...," ucap Aaron membuatnya cukup terkejut untuk kedua kalinya. "Aku melihatmu memandangi kano itu? Kau ingin menaikinya? Aku tak keberatan untuk menemanimu," tambahnya kemudian.

Lagi-lagi Aaron membuat Luna seperti orang bodoh yang tak bisa menolak dan mengelak setiap ucapan bahkan ajakannya. Luna semakin merasa pernah mengenal pria itu, mungkin hanya khayalannya kembali.

"Kau yakin danau itu tak ada buaya atau binatang semacamnya? Kau yakin danau itu baik-baik saja dari dulu?" tanya Luna seperti anak kecil yang sedang membodohi dirinya sendiri di depan orang tuanya.

Aaron tertawa kecil, ia suka kepanikan wanita, bahagia itu sederhana untuknya. "Mengapa kau tidak sekalian mengiraku sebagai siluman buaya putih, Luna?" ucapan Aaron menutup perbincangan mereka di satu latar yang sama dengan canda tawa dari keduanya. Tak lama, Aaron meraih tangan Luna kemudian menariknya menuju kano di tepi danau. Luna turut mengekor saja.

Hari itu Luna merasakan hal baru dalam hidupnya, teori-teorinya tentang perdesaan seakan-akan luntur begitu saja. Di tengah danau, matanya menjadi saksi akan indahnya semesta. Pemandangan Pegunungan Rocky yang jauh di sana tepantul jelas dalam binar bola matanya. Di sini semuanya terasa megah, bersih dan murni adanya. Bahkan ia dapat melupakan sejenak segala kerumitan yang ada di kota. Tak ada bau asap yang menusuk hidung, hanya ada jernihnya air danau yang damaikan relung. Tak ada deru kendaraan yang awali pagi, hanya kicauan burung yang menandai hari. Tanpa sadar dan dengan nyamannya, Luna meletakkan kepalanya di atas bahu pria itu. Bernyanyi, tertawa bahkan berbagi cerita menjadi lembaran baru pertemuan mereka, terlihat seperti dua orang yang telah saling mengenal cukup lama.

"Luna, aku ingin bertanya padamu..."

"Silahkan..."

"Apa hal yang kau takuti selama hidupmu?"

Tak langsung menjawab, Luna kembali tercengang setelah mendengarkan pertanyaan pria itu. Ia menggerakkan tubuhnya sekaligus mengubah posisi kepalanya yang semula berada di bahu Aaron, kini ia mengangkatnya tegak. Luna mendapati raut wajah Aaron yang terlihat serius dengan pertanyaannya, ia masih terdiam dengan menatap tajam mata pria itu. Tak lama, raut wajah Aaron pun mengisyaratkan 'apa ada yang salah dengan pertanyaannya' dan terlihat pula ia menunggu jawaban dari wanita yang menatapnya itu.

Tatapan tajam itu berubah, kepalanya yang tegak pun menjadi tertunduk lesu. "Mengapa kau tiba-tiba tanya begitu padaku?" tanya Luna.

"Aku hanya ingin tahu, aku suka cerita tentang kehidupan, semoga kau mengerti itu..."

Tiba-tiba...

"Masa lalu...," ucap Luna dengan tegas dan yakin itu adalah jawaban yang tepat.

Aaron mendengar pernyataan dari Luna, tangannya meraih dagu wanita itu dan memposisikan wajah wanita itu untuk sejajar di hadapannya, Luna sengaja membiarkannya. "Hei, kenapa kau menangis?" Ternyata perlakuan Aaron itu terjadi setelah melihat Luna tanpa sadar meneteskan air mata di tengah senyuman semunya. "Aku tak perlu tahu masa lalumu, tapi aku perlu memberimu satu ingatan bahwa masa lalu itu hanyalah sebuah ilusi. Seburuk apapun masa lalumu, aku yakin suatu hari nanti ilusi itulah yang menjadi cerita kecil saat kau dapat melupakannya...," jelas pria itu panjang lebar bermaksud menenangkan hati Luna.

Luna mengerutkan dahinya. "Mengapa sekarang kau mengguruiku? Lantas, kau sendiri... Apa yang kau takuti selama hidupmu?" balasnya untuk bertanya.

"Diriku sendiri?"

Luna terlihat semakin kebingungan, kerutan pada dahinya terlihat semakin jelas.

Aaron tersenyum saat mendapati ekspresi itu. "Ya, kau pantas untuk kebingungan. Kenapa aku takut dengan diriku sendiri? Karena aku tahu musuh terbesar manusia itu ada pada dirinya sendiri. Manipulasi sosial dan manusiawi telah membodohinya dalam bentuk emosi. Saat kau tak dapat mengontrol emosi yang ada dalam dirimu sendiri, itu artinya kau kalah. Untuk apa kau hidup sementara dirimu sendiri berhasil mengalahkanmu?" jelas Aaron.

"Mungkinkah ketakutanku akan masa lalu itu juga terikat dengan diriku sendiri?" tanya Luna.

Aaron kembali tersenyum, ia lega wanita itu memiliki pemikiran yang sejalan dengannya. "Kau tahu... Tak semua berlian itu sempurna, namun pada nyatanya ketidaksempurnaan berlian masih bernilai tinggi dibanding kesempurnaan batu. Semesta bicara tanpa bersuara, jangan pernah sesali yang ada pada dirimu sekarang karena kau tak akan tahu kejutan apa yang akan dibawa hari esok untukmu. Kadang terjatuh itu perlu untuk mengukur tingkat kedewasaanmu...," jelas Aaron kembali, terlihat sekali ia berambisi untuk berbagi cerita dengan wanita itu.

Kali ini Luna berhasil tersenyum dibuatnya. "Aku baru saja tersadar bahwa hari ini telah memberiku kejutan, kau tahu kejutan apa itu?"

"Apa?"

"Kau... Semesta mengirim dirimu sebagai kejutan untukku, senang bertemu denganmu, Aaron..."

Siapa yang menyangka, pria yang dianggapnya gila ternyata malah berhasil memberinya kisah yang lebih indah di lingkungan barunya. Semesta memang lucu dengan segala kejutannya. Luna merasa lebih nyaman hidup di tempat ini. Bahkan hal itu sudah dirasakannya semenjak Aaron mengajaknya untuk menaiki kano ke tengah danau. Semuanya berubah setelah itu, ia seperti menemukan kembali arti hidupnya yang cukup hina. Luna yakin, ia tak salah percaya dengan pria itu.

"Sebelum kau pulang, aku ingin menantangmu. Jika kau dapat bertahan hidup di tempat tinggal barumu ini selama setahun, aku akan memberimu kejutan yang lebih indah dari kejutan yang kau dapatkan hari ini. Bagaimana? Kau berani?" tantang Aaron sebelum mereka meninggalkan danau,

"Lihat saja nanti..."

Akhir dari sebuah awal perjalanan hidupnya yang baru. Pertemuan inilah yang menjadikan awal kisah persahabatan antara Luna dengan Aaron. Setiap hari Luna tetap menuliskan kisahnya dalam sebuah kertas yang terkumpul dalam sebuah kotak pribadi miliknya. Dan setiap hari pula Aaron membuat coretan baru dalam kisah nyatanya. Seakan-akan Luna memiliki dua kehidupannya sekarang. Tak akan ada yang menyangka sebelumnya.

***

Colorado, 17 Juni 2015.

Satu tahun berlalu. Luna lupa bagaimana rasanya menunggu kemacetan di kota, lupa bagaimana rasanaya melihat langsung perampok mencuri bank bahkan lupa bagaimana rasanya sampanye yang hampir berhasil membunuh karakternya. Yang terpenting, selama satu tahun di sini Luna berhasil melupakan apa yang terjadi pada masa lalunya, ia menghapus kenangan pahit itu secara perlahan. Memang benar, saat hidup kita harus belajar untuk mengenal proses, tak ada yang instan di dunia ini. Proses berkaitan dengan waktu yang entah berapa lamanya dan juga berkaitan dengan karakter-karakter baru yang hadir selama waktu itu. Kau tak akan bisa menolak hadirnya karakter tersebut dalam hidupmu, karena semua telah terjadi dan tertulis pada naskah skenario milik Tuhan. Kita hanya memiliki hak untuk mengubah alurnya tanpa mengubah akhir ceritanya.

Hari itu, hari yang ditunggu-tunggu oleh Luna. Sejak lama ia berusaha bertahan di tempat itu, ternyata waktu satu tahun itu tak terasa seperti yang ia kira sebelumnya. Tak lepas dari peran Aaron yang memotivasinya untuk bertahan dalam satu tahun itu. Kini, Luna berhak menagih janji yang telah Aaron lontarkan satu tahun silam.

"Aku ingin menagih janjimu...,"

Seperti biasa Aaron tetap tak berubah, senyuman itu selalu hadir di mata Luna. Bukan gila, sekali lagi bukan gila. "Tenang, aku bukan tipikal pria yang suka mengingkari janji, dan aku yakin kau pasti percaya padaku, Luna," ucapnya dengan percaya diri.

"Lantas?"

"Ikut aku..."

Luna membiarkan Aaron menarik tangannya dan membawa tubuhnya ke suatu tempat. Tak butuh waktu yang lama, mereka sudah berada pada tempat tujuannya. Wait, apa maksudnya? Aaron membawa Luna ke depan rumahnya sendiri. Lantas, apa kejutannya? Rumah Aaron? Terlihat sama, tak ada yang berbeda dari sebelumnya. Luna curiga Aaron hanya mempermainkannya saja.

"Apa maksudnya?"

Masih dalam senyumnya, pria itu menariknya kembali menuju pintu masuk rumah Aaron, kemudian langkahnya terhenti tepat di depan pintu tersebut. "Kejutan untukmu, ada di dalamnya... Aku tak memaksamu untuk membukanya sendiri, tapi aku berharap kau sendiri lah yang pertama kali melihat apa yang berada di dalamnya setelah kau buka nanti. Silahkan, Luna..."

Tubuh Luna gemetar, ia merasa tak siap untuk membukanya, perasaan takut pun menghinggapi tubuhnya. Namun, rasa penasaran lah yang berhasil menggerakkan tangannya untuk meraih gagang pintu hingga daun pintu pun terdorong dan terbuka lebar.

Shock!

Ayah?

Mary?

Apa maksudnya semua ini? Mengapa tiba-tiba ia bisa berada di sini? Apa ada hubungannya dengan kejutan dari Aaron? Mereka berdua mengenal Aaron sebelumnya?

Siapa Aaron sebenarnya?

Terlihat senyuman seorang Mary Claire seorang sahabat lama yang tiba-tiba kini berada tepat di depannya, tak lebih mengejutkan saat ia mengalihkan perhatian pada fokus lain. Ayahnya. Mengapa mereka berdua tersenyum seperti itu? Apa ini mimpi?

Mary beranjak dari tempat duduknya, kini terlihat ia sedang melangkahkan kakinya menuju sahabatnya itu. Tepat berada dekat di depannya sekarang. "Hai, Luna... Sudah lama tak berjumpa denganmu, apa kabar? Aku yakin tempat ini telah mengubah hidupmu, bukan?"

"Apa maksudmu? Apa maksudnya semua ini?"

"Tenang, Luna... Dengarkan aku dan ingatlah sesuatu. Kau ingat, dulu kau sempat tinggal di Indonesia selama tiga tahun untuk tinggal bersama ibumu sebelum beliau meninggalkanmu dengan tenang di sana? Semoga kau ingat juga saat kau akan kembali ke ayahmu yang berada di Perancis, di kota kelahiranmuParis. Saat itu pesawat yang kau tumpangi mengalami kecelakaan, beruntungnya kau selamat dari peristiwa itu. Namun, semenjak itulah kau tak ingat apapun, ingatanmu sangat kacau bahkan kau tak mengenali dirimu sendiri...," jelas Mary, ia sadar sahabatnya sudah meneteskan air mata sembari barhasil memulihkan memori-memori itu. "Aaron Wijaya? Kau melupakan seseorang dengan nama itu?" tanya Mary kemudian.

Air mata Luna semakin deras berlinangan di pipinya. Pertanyaan itu membuatnya berat untuk menatap pria yang beridir di sampingnya, walaupun pada akhirnya mereka berdua harus saling bertatapan. "Maaf, aku baru tersadar sekarang. Lantas, ke mana saja kau setelah peristiwa itu?" tanyanya untuk pria itu.

Senyuman yang selalu mengembang di bibir Aaron, untuk pertama kalinya berubah bersamaan dengan jatuhnya air mata haru pria itu. "Satu tahun yang lalu, aku pernah bercerita padamu bahwa aku takut dengan diriku sendiri. Itu alasannya, kenapa aku meninggalkanmu... Aku tak bisa mengontrol emosiku sendiri di tengah dirimu yang melupakanku. Aku memilih untuk pergi menghilang darimu, maafkan aku...," jelas Aaron, menyesal.

"Cukup, kau terlambat, apa kau tahu tentang....." ucap Luna terputus.

"Tak perlu kau jelaskan lagi, aku sudah tahu semuanya tentangmu dari Mary... Aku sudah pernah mengatakan padamu bahwa masa lalu hanylah sebuah ilusi, tak semua berlian itu sempurna... Aku tak pernah sekalipun keberatan menerima semua kekuranganmu, Luna...," sahut Aaron yang memutus ucapan Luna. Tak lama, Aaron meraih sesuatu yang ada dibalik shofa, terlihat ia memberikan sebuah bingkisan yang ditujukan untuk Luna.

"Apa ini?"

"Kejutan yang sebenarnya..."

Luna membuka bingkisan itu, kembali membuka sendiri kejutan untuknya. Sebelum terbuka sempurna... "Di dalam bingkisan itu, kau akan melihat karakter yang membantuku untuk mengalahkan diriku sendiri...," ucap Aaron.

Sebuah sketsa wajah Luna yang terlukis sangat indah terpantul di bola mata wanita itu lengkap dengan bingkainya. "Dan aku berharap saat kau membalikkan dan membaca tulisan di belakang lukisan itu, kau akan melupakan masa lalumu seperti saat kau melupakanku saat itu...,"





Ajari aku menggunakan pena,
Akan kutulis gemercik air, udara dingin, kabut senja sampai daun gugur...

Pasti akan ada...
Pasti ada orang yang mampu menerimamu,
Seburuk apapun masa lalu yang kamu miliki.
Orang yang bisa dengan lapang menerima masa lalu itu,
Dan menenangkanmu dengan kata-katanya,
Bahwa itu tidak masalah baginya,
Karena ia melihatmu hari ini dan mengajakmu ke masa depan...

Pasti ada orang yang akan menerima segenap kekuranganmu,
Ketika kamu sibuk untuk menutupinya,
Ia akan tersenyum dan mengatakan kepadamu,
Untuk menjadi dirimu sendiri saja, apa adanya...

Akan ada orang yang rela memberi segenap perhatian hidupnya untukmu,
Meski kamu pada dasarnya bukan siapa-siapa,
Dia ada untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu di atas,
Apa ada orang yang bisa menerimamu?
Jawabnya...
Ada...

Akan ada dan pasti ada,
Orang yang bisa menerimamu sedemikian rupa.
Kamu akan menemukannya hanya bila kamu berani mengungkap dengan jujur tentang siapa dirimu, bagaimana masa lalumu, apa saja ketakutanmu?

Kau akan menemukannya saat kau berani jujur tentang dirimu sendiri...

Kuharap kau kembali bersamaku,

Aku mencintaimu, Luna...



THE END

-----------------------------------
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

-baws-

Black Moustache